Aku mulai menjadi perokok ketika masuk kuliah.
Sebenarnya aku sudah pernah menghisap gulungan nikotin dan tar itu beberapa
kali waktu SMA; akibat pergaulan dengan para korban iklan rokok yang selalu
menggambarkan pria macho dan dewasa. Sebagai salah satu anak lelaki yang sedang
diserang hormon, dan keinginan untuk membuktikan diri tanpa tahu apa yang harus
kami buktikan sedang dalam titik puncaknya, rokok dirasa sebagai media yang
tepat untuk menjadi penentu kedewasaan kami.
Waktu itu, aku
belum menemukan kenikmatannya. Rokok hanyalah gulungan yang keluar dari kantong
di belakang sekolah seusai bel pulang berbunyi. Dihisap secara
sembunyi-sembunyi, berganti-ganti. Aku ingat lagak kami seperti sedang
menghisap ganja, padahal hanya rokok kretek yang perbatang harganya dua ribu
rupiah. Ritual itu kemudian diakhiri dengan menyemprotkan parfum yang berbau
feminim untuk menutupi aroma rokok agar baunya tidak terdeteksi orang tua kami.
Selepas SMA,
aku melanjutkan kuliah di luar kota. Barulah ketika aku tidak tinggal dengan
orang tuaku dan menghabiskan sebagian besar waktuku tanpa pengawasan, aku
menyentuh benda itu lagi, kali ini tidak dengan tujuan yang konyol seperti yang
kulakukan saat SMA. Aku merokok karena aku ingin. Semakin tinggi intensitas
pengepulanku, semakin memikat rasanya racun jahanam itu.
Waktu SMA, aku pernah berpikir bahwa aku terlalu
pintar untuk terjatuh pada adiksi terhadap rokok. Diluar rendesvouz kecil bersama teman-temanku, aku berpikir bahwa rokok
hanyalah untuk bapak-bapak paruh baya yang stress
karena terlilit hutang atau para tukang bangunan yang meminum kopinya tanpa
gula, yang pandangannya terhadap kehidupan sama dengan selera kopinya; hitam,
pahit, kental dan mencekik.
Awalnya benda itu hanya menjadi temanku diatas jam sepuluh
malam, ketika aku sedang sibuk menyelesaikan laporan yang harus diserahkan esok
pagi pukul delapan, atau ketika jiwa melankoliku mengambil alih dan benakku
terisi pemikiran filosofis tentang kehidupan. Dua bulan pertama, aku
menghabiskan delapan kotak rokok isi enam belas; ekuivalen 128, ekuivalen 64
rokok sebulan, ekuivalen enam belas rokok seminggu, ekuivalen minimal dua
batang sehari.
Aku tidak pernah merokok di tempat lain selain di
kamar kosanku dan ketika aku sendiri. Sebagian besar temanku adalah perokok
sosial, para perokok indesisif yang menjadikan rokok sebagai katalis pergaulan. Sebagian lainnya tampak seperti perokok pasif; tapi aku tau beberapa
orang yang benar-benar seorang perokok sejati: perokok yang tidak memantik di
tempat umum, perokok yang merokok karena mereka memang menikmatinya, perokok
yang tidak perlu diketahui semua orang sebagai seorang perokok, dan tidak perlu
menggunakannya sebagai alasan untuk memulai percakapan. Perokok, yang seperti
aku, menjadikan setiap hembusan asap sebagai teman dalam memroses
pikiran-pikiran liar mereka.
Mereka adalah Adit dan Cindy.
Adit adalah teman pertama yang kutemui pada masa
ospek. Ia bertubuh kurus, tinggi, dengan kulit sawo matang. Rahangnya tegas,
hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya tajam. Rambutnya ikal, sesuatu
yang baru kuketahui belakangan ketika ia membiarkannya tumbuh panjang. Ia tidak
tampan secara konvensional, tetapi ada sesuatu pada dirinya yang bisa menarik
para wanita. Mungkin matanya yang memancarkan kharisma dan memberikannya kuasa
atas jalan pikiran orang lain, aku tak tahu.
Aku ingat, saat itu kami sedang dimarahi oleh para
senior divisi komisi disiplin karena kami memakai sepatu selain warna hitam.
Aku memakai sepatu berwarna abu-abu muda, sedangkan Adit memakai sepatu
berwarna merah bata. Aku tidak punya sepatu berwarna hitam dan belum sempat
membelinya, alasanku. Adit diam saja ketika ia ditanya, sambil pandangannya
menatap lurus kedepan. Kami disuruh berdiri di tengah lapangan dan menyanyikan
mars mahasiswa keras-keras. Aku, layaknya seorang anak baik cenderung pengecut,
meminta maaf dan mulai menyanyikan mars mahasiswa. Adit hanya diam.
Seluruh angkatan menyaksikan hukuman kami dan mulai berkasak-kusuk
ketika salah satu senior komisi disiplin yang paling ditakuti berjalan menuju Adit.
“Kenapa bung diam saja? Bisukah bung?” teriaknya di
depan wajah Adit.
Adit perlahan mengalihkan pandangannya yang tadinya sedang
menatap lurus ke mata senior tersebut, mengunci pandangannya selama beberapa
detik, dan dengan santainya berjalan ke pinggir lapangan, mengangkat tasnya,
dan melangkah ke luar area ospek.
Semua orang terdiam.
Aku mengecilkan volume suaraku, salah menyanyikan
lirik, tetapi tidak ada yang peduli; semua mata tertuju kepada sesosok tubuh
kurus yang sedang melenggang ke luar lapangan, menuju parkiran motor. Ia
memakai helmnya, menghidupkan mesin motornya dan memacu motornya keluar kampus.
Semua orang tidak ada yang berani bergerak. Semua
orang terpukau atas pertunjukan barusan.
Senior galak itu berang, mencoba mengejar motor Adit,
tetapi berakhir menjadi suatu pertunjukkan konyol bagi para mahasiswa baru.
Setelah itu para komdis lain sibuk menenangkan keriuhan para maba, dan acara
dilanjutkan seperti seharusnya. Senior galak itu pergi entah kemana, dan Adit
tidak pernah terlihat lagi sepanjang ospek dan hari-hari ospek berikutnya.
Semenjak itu Adit menjadi semacam legenda di kalangan
para mahasiswa angkatan kami dan angkatan yang mengospek kami. Para lelaki
ingin menjadi temannya, dan para wanita ingin mengenalnya lebih dalam. Para
senior yang tidak menyukai senior galak itu diam-diam senang, dan untungnya
senior galak itu tidak bisa berlama-lama mengurusi kesumatnya pada Adit karena
dia harus segera menyelesaikan skripsi dan keluar dari kampus itu. Rupanya dia
mempunyai cukup akal sehat untuk tidak melakukan hal-hal yang akan
mempermalukan dirinya sendiri kelak.
Adit dan aku sekelas dalam mata kuliah wajib universitas.
Rupanya ia adalah seorang yang humoris, kritis, dan brilian. Dosen-dosen dengan
cepat menentukan anak kesayangannya, dan para perempuan-perempuan langsung
mengukur jarak target dan bersiap meluncurkan panah cinta mereka ke Adit.
Popularitasnya menanjak.
Ia mengenaliku dari hari pertama masuk kelas sebagai
si sepatu abu-abu, karena hal itulah yang membuatnya sadar pertama kali atas
keberadaanku. Kami menjadi cukup akrab, dan seringkali mengerjakan tugas
bersama.
Saat pertama kali mengunjungi kosannya untuk
mengerjakan tugas, aku dikagetkan dengan bau asap rokok yang cukup menyengat
dari kamarnya. Aku, hingga saat itu, tidak pernah melihat ia merokok, baik
ketika kami hanya berdua maupun ketika kami sedang nongkrong dengan anak-anak
yang lainnya.
“Iya, gue merokok.” Ucapnya singkat ketika aku
menanyakan perihal bau rokok tersebut.
“Tetapi gue gak pernah liat lo ngerokok sebelumnya. Baru?”
Adit terkekeh dan meraih laptop dari dalam tasnya.
“Gue ngerokok sejak SMP, Bram. Gue bisa aja ngeabisin
satu kotak satu hari.”
“Tapi.. lo nggak terlihat seperti perokok, lo bahkan
gak bau perokok.”
“Jangan bodoh, Bram, ilmu pengetahuan sekarang tuh
udah canggih. Air freshner udah banyak,
jendela udah bisa dibuka-tutup, pewangi pakaian udah bisa ganti-ganti bau kalau
di sentuh, dan pasta gigi udah disatuin sama mouthwash.”
Adit menyalakan laptopnya dan menyalakan lagu Bob
Dylan. Aku tahu dia adalah fans beratnya Bob Dylan, terkadang tanpa sengaja ia
mengimplikasikannya dalam percakapan kami.
“Dan gue tahu lo juga ngerokok, Bram. Keliatan kok,
meski lo gak pernah ngerokok di luar.”
“Iya, gue ngerokok. Gue akuin kadang gue ke kampus
masih pake baju yang bau rokok. Gue gak nutup-nutupin kok, cuma males aja
ngerokok di luar.” Aku memperhatikan ruangan kamar Adit. “Lo, kenapa lo
nutup-nutupin fakta kalau lo ngerokok? Lo takut ketahuan orang?”
Adit tertawa.
“Gue emang males ketahuan orang, tapi bukan dengan
alasan apapun yang saat ini lo pikirin.” Ia menghela napas, “Bagi gue momen
ngerokok itu personal, suatu hal yang gak perlu dicampurin sama orang lain. Gue
ngerokok bukan untuk nyari perhatian, bukan untuk gaya-gayaan. Ngerokok udah
jadi placebo buat gue. Masalah gue
rasanya jadi bisa diselesaikan. Cue
gue buat mikir lebih dalam. Mungkin bukan bener-bener nikotin dan racun-racun
itu yang gue butuhin, tetapi menghisap dan mengepulkan asap itu.”
“Lo tau gak sih ini gak sehat?”
“Gue tau, dan
gue yakin lo juga tau. Makanya gue berusaha mengimbanginya dengan pola makan
dan olahraga yang sehat, biar gak cepet mati aja.”
Giliran aku yang tertawa.
“Lo tau gak sih kenapa kita bisa cepet akrab gini?”
“Hm?”
“Gue rasa kita anak kembar yang dipisah sejak lahir.”
“Ngaco lu.”
Tawa kami berderai disela-sela latunan suara Bob
Dylan.
Kami bergaul dengan banyak anak-anak lintas fakultas,
karena dengan tidak lulusnya ospek Adit membuat ia tidak bisa mengikuti
kepanitiaan di dalam jurusan kami, sehingga kepanitiaan yang dia jalankan
semuanya bertingkat universitas yang notabene akan diikuti anak-anak dari
berbagai macam fakultas.
Cindy adalah salah satu staff kepanitiaan yang kami
ikuti. Aku dan Adit bersama dalam divisi perlengkapan, sementara Cindy di
divisi publikasi dan dokumentasi. Dari awal aku sudah melihat ketertarikan Adit
pada Cindy. Kami mulai sering nongkrong bersama, mengobrol, dan bermain kartu.
Cindy adalah tipe perempuan yang akan dengan mudah
menjadi populer; tubuhnya tidak terlalu tinggi tetapi langsing dan berisi di
tempat yang tepat, rambutnya cokelat tua sebahu, hidungnya tidak mancung tetapi
juga tidak pesek, kulitnya putih, dan yang paling menonjol adalah matanya yang
penuh dengan kehidupan; bersinar dan cerah. Selain itu, Cindy juga aktif
berorganisasi, ramah, dan ia pernah dengan tak sengaja menyebutkan IPKnya yang
nyaris sempurna.
Kami semakin dekat dari hari ke hari. Kami hampir
setiap hari bersama, dan tak terpisahkan. Cindy mengetahui kebiasaan aku dan
Adit, merokok diam-diam, dan rupanya Cindy juga melakukan hal yang serupa;
merokok dan tidak mengungkapkannya ke siapa-siapa, meskipun awalnya dengan alasan
yang berbeda.
Cindy selalu menjadi anak yang dibanggakan
keluarganya. Dengan perfeksi sedemikian rupa, hal tersebut tidak mengherankan.
Ia tumbuh menjadi seseorang yang perfeksionis, tidak bisa menerima
kekurangannya, dan terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Tentu saja, merokok
merupakan suatu hal yang, awalnya ia haramkan.
“Apa yang buat lo akhirnya nyentuh rokok pertama lo?”
Adit bertanya di sela-sela sesi merokok dalam diam
yang mulai sering kami lakukan bersama.
Cindy menghembuskan asapnya ke udara dan menatap langit.
Kami sedang berada di lantai paling atas rumahnya. Kami sudah lumayan sering
berkunjung ke rumah Cindy, dan bahkan sudah mengenal kedua orang tuanya. Malam
ini rumah Cindy sedang kosong, karena kedua orang tuanya sedang berada di luar
negeri mengunjungi kakaknya. Cindy meminta kami untuk menemaninya malam ini,
tentu saja tanpa memberi tahu kedua orang tuanya.
“Jujur, temen-temen main gue di univ. Mereka maksa gue
buat nyoba, dan ternyata emang not bad.
Awalnya gue in denial, gue anak
baik-baik, rokok tuh cuma akan merusak hidup gue. Gue berusaha jadi liberal,
open minded, gue gak akan jadi preachy, dan gue juga gak akan jadi ikut-ikutan
ngerokok cuma gara-gara gue kebelet gaul.”
“Mereka sengaja ninggalin sekotak rokok di kamar gue,
sesuatu yang waktu itu gue sumpah gak akan gue sentuh. Suatu hari, gue lagi hethic banget sama salah satu
kepanitiaan gue. Gue, being as sensitive
as always, semua gue bawa overthinking. Gue gak bisa tidur. Disaat gue
sedang guling-guling gelisah di kasur gue, gue keinget sekotak rokok itu. Saat
itu gue berpikir, what harm can this
little piece do. Jadilah gue bawa rokok itu keatas sini diam-diam, dan
menyalakan rokok pertama gue disini.”
“Gue ingat malam itu langit cerah banget. Bintangnya
banyak. Gue nyalainlah rokok gue. Gue menarik nafas pendek-pendek awalnya,
karena gue emang gak terbiasa. Gue menikmati rokok gue sambil menatap bintang.
Makin lama makin panjang tarikan gue. Untuk pertama kali dalam minggu itu, gue
merasa tenang. Gue ngehabisin dua batang.”
“Gue gak ngerti kenapa ngerokok bisa bikin efek kayak
gitu. Mungkin ada hubungannya dengan kita yang bener-bener ngejaga irama nafas
kita waktu ngerokok, atau emang langit malam itu yang emang bagus banget, atau
gue menemukan sesuatu hal yang bisa gue jadikan kekurangan gue tanpa ada orang
yang tahu.”
“Orang tua lo
belom tau lo ngerokok?”
“Mereka udah tahu karena gue ngaku. Awalnya mereka
marah, memang. Tapi papa sendiri adalah seorang perokok berat, dan dia gak bisa
nyeramahin gue rokok-itu-berbahaya and
stuff. Mama juga kadang merokok, meski tidak sering dan dia tutupin. Gue
pernah mergokin mama ngerokok waktu lagi arisan sama temen-temennya. Akhirnya
mereka cuma bisa bilang jangan sering-sering, dan mereka nganjurin buat ngeganti
rokok gue dengan rokok elektrik. Tapi tetep aja, kadang rokok elektrik gak
nendang. Gue masih ngerokok biasa, kayak sekarang.”
Sisa malam itu kami habiskan dalam diam, tenggelam
dalam pikiran masing-masing, sambil menatap bintang.
***
Tidak lama
setelah itu, Adit dan Cindy berpacaran. Aku agak kaget dengan berita itu,
karena setiap kali kami bersama, tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi
secepat itu. Memang benar Adit menyukai Cindy sejak awal, tetapi Cindy tidak
menunjukkan hal yang sama, hingga aku tidak mengira hal itu akan terjadi dalam
waktu dekat.
Meski Adit dan Cindy telah resmi dalam status pacaran,
hubungan kami tidak berubah. Setiap kali ada yang bertanya apakah aku merasa
tereksklusi dalam hubungan itu, aku tidak dapat memberikan jawaban yang mereka
inginkan, karena semua hal tetap sama seperti dulu. Mereka tidak pernah
melakukan Public Display Affection
ketika kami bersama. Tentu saja ada kalanya mereka hanya menikmati waktu mereka
berdua tanpa aku di sana, tetapi kedekatan kami sama sekali tidak memudar. Kami
masih sering menikmati ritual kami bersama di atap rumah Cindy, dengan atau
tanpa diketahui kedua orang tua Cindy. Mereka adalah orang-orang baik dan
ramah, dan kami lebih daripada disambut di rumah itu. Mereka juga tahu kalau
Adit dan Cindy sudah berpacaran, karena Adit sekarang lebih sering berkunjung
tanpa diriku.
***
Tiga bulan kemudian, saat aku sedang menikmati rokokku
dalam diam seperti biasa, telponku berdering dari nomor yang tidak kukenal. Aku
tidak biasanya mengangkat nomer yang tidak kukenal, apalagi saat aku sedang
menikmati kesendirianku.
“Halo?”
“Selamat sore, apa anda kenal dengan saudara Aditya
Pradipta?” suara di ujung telepon terdengar tergesa-gesa. Di belakangnya
terdengar sirine meraung-raung dan bunyi besi-besi berdenting. Jantungku, tanpa
diperintah, langsung berdegup kencang.
“Iya benar, saya temannya. Saya Abraham.” Kataku
sedikit begetar.
Suara di ujung telepon kemudian menyebutkan nama
sebuah rumah sakit dan memerintahkanku untuk datang secepatnya.
Dengan tergesa aku mematikan rokokku, menekan nomor
Cindy, dan menyambar kunci motorku. Nomornya tidak aktif. Aku melompat ke
motorku dan membelah jalanan menuju rumah sakit tersebut.
Tidak sampai setengah jam kemudian aku telah sampai di
rumah sakit tersebut dan setengah berlari aku menghampiri meja resepsionis.
“Permisi, mbak, saya temannya Aditya Pradipta dan saya
dihubungi untuk segera kemari. Ada apa ya?” Aku kehabisan nafas, sebagaian
karena berlari, dan sebagian karena gugup.
Petugas resepsionis itu menatapku dengan iba dan
menyuruhku untuk menunggu sebentar. Tak berapa lama muncul seorang pemuda
berbaju biru dan menghampiriku. Ia mengulurkan tangan.
“Saya Eli, saya perawat yang sedang bertugas. Apa
benar anda mengenal saudara Aditya Pradipta?”
“Benar, pak. Ada apa dengan Adit, pak?” aku tidak bisa
menahan getaran di suaraku. Apapun yang terjadi, aku tidak menyukai rumah
sakit. Baunya selalu membuatku gugup, orang-orang didalamnya selalu berwajah
muram, dan suasananya membuatku merasa tercekik.
“Panggil saja Eli. Ayo ikut saya.”
Aku mengikutinya dengan patuh. Selama kami berjalan
Eli menjelaskan kepadaku apa yang terjadi terhadap Adit. Adit sedang mengendara
dengan motornya dan menerobos lampu merah. Sebuah truk menabraknya dari
samping, dan Adit terpental dari motornya beberapa meter. Kepalanya membentur
trotoar dengan keras, dan merupakan suatu keajaiban ia tidak meninggal di
tempat. Adit berada di ICU, denyut nadinya sangat lemah, dan dokter
memperkirakan ia tidak akan selamat dan bertahan lebih lama lagi. Semua
informasi itu berlalu di kepalaku, dan aku tidak tahu harus melakukan apa.
Tubuhku berjalan dalam autopilot. Yang sejatinya sedang menghadap ajal adalah
Adit, tetapi aku merasa dirikulah yang sedang mengalami rangkaian kilas balik
memoriku bersama Adit. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, yang jelas rasanya
dadaku mau pecah.
“Kami mencoba mencari kontak keluarganya, tetapi kami
tidak bisa menemukannya di handphonenya. Nomor anda, beserta satu nomor
lainnya, adalah nomor yang paling terakhir dihubunginya, tetapi satu nomor lain
itu tidak aktif. Kami masih mencari tahu yang harus dihubungi.”
Aku ingat bahwa handphone itu masih baru, dan mungkin
Adit belum memasukkan nama kontak di handphone tersebut. Adit tidak pernah
menyentuh sosial media, dan ia baru mengganti handphonenya karena Cindy
mendesaknya untuk memiliki setidaknya satu aplikasi chatting, untuk memudahkan
komunikasi mereka.
Ia membawaku ke suatu ruangan dengan sebuah TV yang
menyala. TV itu menampilkan orang-orang berjubah putih dengan masker dan
penutup kepala mengerumuni sebuah tempat tidur, yang kuasumsikan tempat Adit
berbaring.
“Para dokter masih berusaha menyadarkannya. Dia sudah
mengalami dua kali berhenti jantung. Dia kehilangan banyak darah, dan…” Eli
berdeham dan menatapku. “Maaf, apa perlu saya lanjutkan? Maaf apabila informasi
ini membuat anda tidak nyaman, saya belum terlalu berpengalaman untuk
menyampaikan berita.”
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap Eli. “Kapan
saya akan bisa menemuinya?”
Eli menatapku dengan iba dan mengalihkan pandangannya
ke TV tersebut. “Mungkin sebentar lagi.”
“Apa anda tahu nomor keluarga yang bisa dihubungi?”
Aku menggeleng. Selama delapan bulan aku mengenal
Adit, tidak satu kalipun dia menyebut tentang keluarganya. Selama ini aku
mengira Adit hanya tidak begitu dekat dengan mereka, dan aku belum berminat
untuk bertanya lebih lanjut.
“Baiklah, pihak rumah sakit akan mencari tahu lebih
lanjut. Untuk sementara, apakah anda bersedia menjadi wali dari yang
bersangkutan?”
Aku mengangguk lemah.
“Baiklah, saya akan pergi sebentar, apakah anda butuh
sesuatu?”
Aku menggeleng. Elipun berlalu.
Aku mengeluarkan handphone dan menekan tombol Cindy,
sambil tidak melepaskan pandangan dari layar TV.
“Nomor yang anda
tuju, sedang tidak aktif….”
Aku mencoba tiga kali, dan kali keempat aku merasakan
air membasahi pipiku. Air mata itu jatuh begitu saja tanpa kutahan, tanpa
kurasakan. Aku tidak tersedu, tapi airmata itu tidak berhenti mengalir.
Sudah empat jam berlalu, layar TV masih menunjukkan
segerombolan orang memakai baju putih melakukan sesuatu yang tidak aku
mengerti. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Eli telah datang beberapa kali
membawakanku minum, dan terakhir datang ia mengatakan telah mendapatkan kontak
salah satu keluarga Adit. Mataku sembab dan mulai terasa sakit. Aku memutuskan
untuk kembali mencoba menghubungi Cindy.
Kali ini nada sambung terdengar. Pada bunyi keenam,
telepon diangkat.
“Halo?” Suara Cindy terdengar pelan di seberang
telepon. Aku tidak sanggup berkata-kata.
“Halo? Bram? Ada Apa?”
Aku mengumpulkan suaraku. Aku menyebutkan nama rumah
sakit dan menyuruhnya datang segera. Suaraku tercekat.
“Ada apa? Ngapain lo di rumah sakit? Bram?” Cindy
terdengar panik.
“Adit…adit.” Aku tidak dapat melanjutkan kalimatku.
Tangisku pecah. Telepon ditutup.
Tidak berapa lama pintu terbuka, dan muncul muka
Cindy, pucat, dengan infus di tangan kiri dan pakaian serupa kain yang tidak
berbentuk. Di belakangnya Eli mengekor.
Cindy langsung menghambur ke pelukanku, tangisnya
pecah. Kami berdua saling berpelukan tanpa berkata-kata. Airmatanya membasahi
bagian depan kausku, dan aku tak punya cukup airmata lagi untuk membasahi
pakaiannya. Cindy melepas pelukannya dan terduduk menatap monitor. Gerombolan
orang-orang tadi sudah berkurang, dan aku melihat dua orang sedang mencabuti
alat-alat yang menempel di badan Adit. Aku melihat indikator jantungnya tak
lagi membentuk gelombang. Aku melihat para dokter terdiam sebentar di depan
Adit, kemudian mematikan monitor jantungnya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Cindy
pingsan, dan Eli dengan sigap memanggil perawat lainnya dan memindahkannya ke
ruangan lain. Aku jatuh terduduk; untuk beberapa saat panca inderaku berhenti
berfungsi. Tak berapa lama aku menyusul Cindy.
***
Aku terbangun beberapa saat kemudian di atas sebuah
sofa. Di seberangku terlihat Cindy sedang berbaring di ranjang, terbangun dan
menatap kosong langit-langit. Pintu terbuka dan masuk Tante Reza, mamanya
Cindy.
“Hai nak Bram, gimana keadaan kamu?” Otakku masih
memeroses kejadian beberapa jam kebelakang. Karena tidak mendapatkan jawaban dariku, Tante Reza melangkah menuju
anaknya dan mengelus rambutnya. Aku melihat airmata Cindy kembali mengalir.
Tante Reza bangkit dan mengisi sebuah gelas dengan air dan memberikannya
kepadaku. Aku mengambilnya dan meminumnya hingga habis; aku belum minum
beberapa jam terakhir.
“Nak Bram tidur disini aja dulu, ya. Besok pagi tante
anter balik kosan. Kamu mau ngabarin orang tua kamu?”
Jam diatas pintu menunjukkan hampir pukul sebelas
malam. Aku menggeleng.
“Besok aja. Makasih tante.” Kataku parau.
Tante Reza tersenyum. Tidak berapa lama beberapa orang
petugas rumah sakit datang membawakan tempat tidur ekstra.
“Kamu pake tempat tidur ini aja ya. Tante pake sofa
aja.”
“Gak usah tante, saya di sofa saja.”
“Tidak apa, nak. Tante juga akan segera pulang. Kamu
jagain Cindy ya. Tante akan datang besok pagi-pagi sekali.”
Akhirnya aku merangkak ke atas tempat tidur tersebut
dan terlelap hingga besok paginya.
***
Esoknya aku terbangun dan mendapati Tante Reza sedang
duduk sambil membaca koran di samping Cindy. Cindy berbaring membelakangiku,
jadi aku tidak tahu apakah dia benar-benar masih tidur.
Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri Tante
Reza.
“Saya pulang dulu ya, Tante.” Kataku pelan.
“Oh, kamu mau pulang sekarang? Tante bilang sopir
rumah sakit dulu, ya.”
“Gak usah, tante, saya pake motor saya aja. Saya bawa
motor kok.”
Ia terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya ia tersenyum.
“Yaudah, kamu hati-hati ya.”
“Makasih Tante, salam untuk Cindy kalau ia sudah
bangun ya.”
“Iya, terimakasih ya nak. Oh ya, jangan bilang
siapa-siapa soal Cindy sampe kamu ngomong sama Cindy ya.”
Aku mengernyit. Saat itu aku baru sadar bahwa Cindy
sedang diinfus dan, saat ia menemuiku di ruang pengawasan, sedang menggunakan
baju pasien. Berarti, Cindy sendiri merupakan pasien saat itu.
“Cindy sakit, tan?”
Ia menghela nafas. “Iya, tapi gak ada yang perlu tahu
ya, Bram. Nanti kalau Cindy udah baikan, kalian ngobrol aja dulu.”
Aku mengangguk patuh, tersenyum sopan, dan berlalu.
Di koridor aku bertemu Eli.
“Selamat pagi Bram. Sudah mau pulang?”
“Iya. Terimakasih ya. Bagaimana keluarga Adit, apakah
sudah ada yang datang?”
“Sudah, kakak laki-lakinya. Katanya mereka hanya
tinggal berdua. Dia sudah pulang untuk memberitahu keluarganya yang lain.”
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih sekali lagi,
dan menuju parkiran motor untuk pulang ke kosan.
***
Aku mengabarkan berita dukacita tersebut melalui SMS
ke salah satu teman kelasku. Aku juga mengirim kesan kepada orangtuaku,
sekaligus mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan tidak sedang ingin ditelpon.
Aku terlalu lelah untuk sekedar menelepon, dan aku sedang tidak ingin dirubungi
pertanyaan. Tentu saja detail bahwa Cindy juga dirawat tidak kuceritakan,
seperti pesan Tante Reza.
Sekitar pukul 11 masuk sebuah sms dari keluarga Adit,
yang mengucapkan terimakasih sekaligus mengabarkan pemakaman Adit akan diselenggarakan
lusa di pemakaman keluarga mereka. Aku meneruskan pesan itu ke Cindy dan
teman-temanku, dan mereka mengucapkan berbelasungkawa sekaligus berjanji untuk
mengumpulkan sumbangan saat menghadiri pemakaman tersebut.
Aku menghabiskan dua hari berdiam di dalam kamarku
merokok sambil mendengarkan lagu-lagu Bob Dylan. Airmataku sudah habis, dan aku
tidak punya hasrat untuk berbicara kepada siapapun. Aku hanya makan dua kali
selama dua hari itu, dan menghabiskan waktuku menatap dinding dan langit-langit
kamar. Pada pagi hari ketiga, aku mandi dan bersiap untuk mendatangi pemakaman
Adit. Aku membuka jendela dan menghirup udara bebas.
Aku sadar, setiap kali aku merokok, aku akan selalu
teringat Adit, dan aku tidak tahu apakah aku akan memutuskan untuk berhenti
atau tetap merokok untuk merasakan kehadirannya disisiku.
Aku meninggalkan jendela dalam keadaan terbuka,
berharap bau rokok yang kubakar selama dua hari terakhir akan berganti dengan
udara segar, dan pergi membelah jalanan menuju peristirahatan Adit yang
terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar