Jumat, 28 Agustus 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi - Reza (Side Story)



            Aku mendesah, membuka sabuk pengaman, dan mematikan mesin mobil. Aku membuka pintu mobil dan seketika udara bercampur bau rumput basah menari-nari di hidungku. Aku meraupnya dengan rakus. Tarik, hembuskan. Aku rindu bau ini, rindu sekali. Aku melepaskan sepatu dan memijakkan kakiku di rumput hijau yang lembab dan dingin. Syaraf-syarafku tergelitik oleh teksturnya. Aku rindu pijakan ini, rindu sekali.
Aku turun dari mobil dengan bertelanjang kaki meski udara dingin menyapu kulit. Matahari bersinar lembut dengan graduasi warna merah muda dan oranye, hangat, mengimbangi dinginnya hembusan udara. Aku rindu perpaduan ini, rindu sekali.
“Kau selalu berkata begitu walau tiap minggu kita kemari.”
Kau akan tersenyum jahil dan mulai menggoaku setiap aku berkata seperti itu.
Aku tersenyum tipis, lalu mulai berjalan menyusuri rumput pendek, dan berhenti di batas yang ditumbuhi ilalang. Aku menarik nafas, memasuki padang ilalang, menyusurinya dengan ujung jari dan memetik sebatang. Aku melambaikannya ke arah matahari senja, menikmati dispersi warna yang diuraikan tiap helainya. Putih, ringan; anggun bergoyang mengikuti angin.
Aku berjalan terus, semakin ke tengah padang ilalang itu, dimana terdapat sebuah kursi kayu panjang yang tersembunyi di tingginya ilalang, tempat kita biasa menghabiskan senja kita bersama. Bangku itu masih di sana, seakan tidak tersentuh putaran jam. Aku ulurkan tanganku menyusuri lekuk-lekuk bangku, mencari gema keberadaanmu, yang dulu bersamaku. Kuhempaskan badanku ke atasnya.
“Angkat ponimu, ribet sekali.”
Kau baru akan tersenyum kalau kuikat rambutku seluruhnya, kutarik keatas, hingga kau bisa bebas memandangi dan mencium dahiku.
Tanpa sadar aku buru-buru mengikat rambutku seluruhnya, seakan kau masih ada disitu, mengamatiku ketika aku menyisir rambutku dengan jari dan menyatukannya dengan karet gelang.
“Nah begitu, kan cantik.”
Lalu kau akan membelai pipiku dan membuka lenganmu agar aku bisa bersandar di sana.
“Kalau kau begitu suka melihat wajahku bersih dari rambut, lain kali akan kubotakkan saja kepalaku.” Aku mendengus.
Kau tertawa. “Dengan nama yang sudah mirip laki-laki, kau nekat ingin menggunduli rambutmu? Bisa-bisa kau benar-benar jadi laki-laki.”
“Hei, dasar seksis. Kalaupun aku jadi laki-laki, memangnya kenapa? Kau kan tidak berhak mencampuri urusan gender-ku.”gerutuku.
“Kalau kau jadi laki-laki, itu akan membuatku bingung.”
“Jadi kau tidak akan mencintaiku lagi kalau aku menjadi laki-laki?”
Kau tertawa lagi. Meski suaramu kasar dan berat, kau tertawa dengan merdu.
“Kau sungguh-sungguh ingin membuatku berpikir tentang hal itu ya?”
Aku merengut. “Kau yang memulai.”
Kau terdiam sejenak, lalu mengangkat daguku. Matamu mencari mataku, dan untuk beberapa saat kita hanya terdiam, saling menatap.
“Aku mencintaimu bukan karena  fisikmu, atau gendermu. Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar seratus persen perempuan atau laki-laki. Kita semua manusia, tidak ada konsep yang mutlak, apalagi konsep laki-laki dan perempuan dalam gender. Jadi, argumen bahwa aku tidak akan mencintaimu lagi kalau kau memutuskan untuk menjadi laki-laki sama sekali tidak valid untukku, karena aku mencintaimu bukan karena fisikmu, dan bukan atas suatu konsep yang abstrak untukku, melainkan karena kau…adalah kau.”
Aku mengerjap beberapa kali dan tersenyum. Lalu kau tertawa, tawa yang menular padaku.
“Tapi bagaimanapun juga aku tentu akan bingung jika kau tiba-tiba memutuskan untuk menjadi laki-laki.”
Aku tertawa lagi. Untuk beberapa saat yang terdengar hanya letupan tawa kita. Tiba-tiba kau menatapku lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih serius dan teduh.
“Kali ini aku ingin bicara serius denganmu.”
“Kapan kau tidak serius?”
“Kapan saja aku mau. Nah sekarang kau harus mendengarkanku.”
“Memangnya dari tadi apa yang kulakukan?”
Kau menghela nafas. “aku sudah menyatakan dengan jelas bahwa aku mencintaimu, bukan?”
Aku mengangguk sedikit. Tolonglah. Aku tidak mau membicarakannya.
“Kenapa kau tidak ingin mengakui..” kau menghela nafas “kalau kau juga..”
“Tolonglah, Ken, aku tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang.”
Kau menghela nafas lagi, menutup tanganmu. Mau tidak mau aku mengangkat kepalaku. Kau menutup mata. “Aku tidak tahu, Re. Aku merasa kau begitu…entahlah. Kau menghindar dari masalah, kau tidak ingin menyelesaikannya.”
Aku berdiri perlahan, membelakangimu. Kutarik nafas, lalu menutup mataku. “Ya, aku memang lari darinya. Ya, aku pengecut, tidak ingin mengakuinya. Aku tidak bisa. Nah, sekarang, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mari kita pulang.”
Aku mendengar kau menghembuskan nafas, dan merasakan kau membungkuk, menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. “Yang hanya perlu kau lakukan adalah mengatakan bahwa kau mencintaiku. Kau mencintaiku.” Gumammu dibalik tanganmu.
Kau lalu berdiri, berjalan mendahului aku ke mobil. Sepanjang jalan kita hanya mendengarkan deruan angin yang dibelah mobilmu.
Aku ingat bunyi sunyi itu. Sangat hampa, terlalu hampa hingga rasanya aku terdampar di tempat tak beruang, tanpa suara. Aku merasa dilipat, dipadatkan, ditekan ke dalam satu dimensi; sunyi. Bernafas saja rasanya sulit. Gumpalan kata sudah di pangkal, tapi tak bisa dimuntahkan. Menyiksa.
Kita tak lagi bicara, sepatahpun kata tak kau ucapkan dihadapaku, hingga saat kau naik ke pelaminan, bersanding dengan kakakkku. Kaupun tetap diam saat kupandang; bingung, marah, mungkin sepercik rasa kecewa aku dapati di kedua bening matamu.
Aku menatap senja di kejauhan, seakan sorot matamu masih tersirat disana, sehangat senja.
Dua hari setelah itu, aku meninggalkan Indonesia, tanpa pamit.
Dan sampai saat ini, kita tak pernah lagi saling bicara.
Aku menutup mata, angin membelai rambutku, wajahku. Aku mengangkat kakiku, membaringkan punggungku di bangku. Aku menatap langit senja, mengingat kembali dering telepon yang pagi itu terus berbunyi meski berulang kali aku matikan.
Telepon darimu.
Dua tahun kau tidak sama sekali mencariku, dan pagi-pagi sekali jam tiga pagi di Australia, kau menelepon. Benakku langsung dipenuhi bermacam pikiran. Aku marah. Menyesal. Malu. Sedih. Satu sisi aku ingin mengangkatnya, mendengarkan suaramu yang sungguh-sungguh aku rindukan, satu sisi aku hendak membanting telepon itu yang tiba-tiba mengingatkanku padamu. Ketika telepon berhenti berdering, aku menghembuskan nafas yang tak sadar kutahan, tidak tahu harus lega atau kecewa.
Lima jam kemudian, aku sedang menyeduh kopi untuk kuliah pagiku ketika telepon kembali berbunyi. Kali ini dari kakakku, Jenny. Dengan was-was aku menekan tombol untuk menjawab.
“Ken sedang kritis sekarang, tumor otaknya ternyata ganas. Pulanglah, kata terakhirnya sebelum ia hilang kesadaran adalah namamu.” Nadanya getir, tertekan, putus asa.
   Tergesa-gesa aku mencegat taksi dan memesan penerbangan paling pertama ke Indonesia. Sepanjang perjalanan tak henti aku menghapus air mataku yang terus meleleh meski aku tak menangis.
  Aku mengusap air mataku yang mulai turun lagi. Senja semakin merah, ilalang semakin merunduk terpijak angin, matahari semakin turun di cakrawala, tertarik keanggunan malam. Aku memalingkan wajahku ke arah sandaran bangku, menatap serat-serat kayu yang seakan mengeja namamu.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke sudut bangku. Sesuatu terselip disana, tidak banyak terlihat. Aku meraih ujung kecil itu, menariknya keluar, dan mengangkat punggungku ke posisi duduk.
Sepucuk surat. Putih, sedikit mengkerut di ujungnya yang tersembul keluar. Dengan kaku aku menyobek sampulnya dan membuka lipatannya yang rapi. Sungguh khas dirimu, rapi, teliti.
Di kepalaku menyeruak kenangan-kenangan kita, hingga saat aku melihatmu di tempat tidur dimana nafasmu akhirnya meninggalkan tubuhmu.
“Kenapa tidak kau katakan sebelumnya?” suaraku sengau. Aku berbicara padamu, tetapi kau tidak menjawabku. Kau begitu pucat bagai tembok ruangan itu.
“Sebelum operasi ia meneleponmu. Ia bersikeras, namun kau tidak mengangkatnya. Ada apa sebenarnya antara kau dan dia?” Jenny berkata pelan disampingku. “Katakan padaku. Apa sebenarnya yang terjadi?”. Sorot matanya penuh emosi, mengintimidasi. Sedetik aku terpaku, tidak tahu harus berkata apa.
“Aku mencintainya.” Setelah sekian lama aku pendam, ini kali pertama aku mengatakan ini dengan gamblang. Aku bergetar, ujung-ujung jariku ngilu, namun rasanya sungguh benar.
“Apa?”
“Aku mencintainya. Ia mencintaiku. Aku mencintai Ken, Jen. Aku mencintainya.” Kata-kata itu meluncur dari mulutku, pelan namun tegas.
Kemudian Jenny menamparku. Di depanmu, di depan orangtua kita, di depan orang-orang di ruangan itu. Aku diam, tidak merasa harus berbicara.
“Kenapa kau tidak pernah bilang?” Suara Jenny cukup jelas untuk didengar tiang-tiang marmer kaku di ruangan itu.  
“Kenapa?” Jenny kembali histeris, kemudian jatuh terduduk. Semua orang sibuk menenangkannya, memapahnya sambil melempar pandangan penuh tanda tanya padaku.
Aku kembali terdiam.
Kalau aku bisa, aku sudah mengatakannya. Dari dulu. Dari saat pertama kita bertemu. Seandainya aku punya cukup keberanian. Seandainya kau dan Jenny tidak pernah dijodohkan. Seandainya saja Jenny tidak tergila-gila padamu. Seandainya aku tega melukai hati Jenny dari dulu.
Aku memulai membaca lipatan kertas putih itu. Tulisan tanganmu agak sedikit berbeda, lemah dan agak bergetar. Mungkin surat itu kau buat dengan tenaga terakhirmu.


Dear Reza,
Hei, sudah lama kita tidak berjumpa. Sampai saat kau membaca surat ini, kau pasti sudah tamat kuliah.
Seandainya saja kau bertahan selama itu.
…Aku tidak tahu seperti apa rupamu sekarang, yang pasti hari terakhir aku melihatmu, bayanganmu masih terpatri di benakku. Jujur saja, aku berharap kau tak berubah.
Jadi, apa kabarmu sekarang? Baik-baik, kan? Aku disini juga baik-baik saja, meski aku tidak yakin. Ya, tanpamu aku memang tidak pernah baik-baik saja. Langsung saja, tujuanku membuat surat ini sebenarnya..aku minta maaf. Atas segala hal yang aku lakukan.
Maaf aku tidak berusaha cukup keras untuk mempertahankan dirimu.
Aku yang salah, maaf.
            Maaf aku terlalu lemah sampai-sampai aku tidak bisa memperjuangkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Kau selalu kuat. Aku, akulah yang lemah.
            Maaf aku sudah membuatmu pergi.
Kau tidak membuatku pergi, aku sendiri yang pergi.
            …dan maaf sudah membuatmu menghadapi masa sulit.
Kau yang dipersulit, maafkan aku.
            Aku tidak tahu apakah kau merindukanku atau tidak, tetapi aku sangat-sangat-sangat merindukanmu. Aku yakin kau tahu itu.
Aku merindukanmu sampai-sampai nadiku rasanya berhenti berdenyut, terhimpit rindu.
            …dan mungkin aku sangat pengecut, hanya bisa mendatangi tempat ini untuk melampiaskannya.
Akupun begitu.
            Keadaan tidak mendukung, takdir juga tidak bisa meluluskan sedikit saja konspirasi untuk mempertemukan kita lagi.
            Jujur, aku juga tidak bisa lagi berharap untuk merangkulmu seperti saat-saat kita dulu bersama. Aku ingin, tetapi aku tidak bisa. Tapi setidaknya, tolong izinkan aku untuk berharap kau tidak akan melupakanku. Boleh, kan?
Aku tidak akan bisa meskipun aku ingin.
            Tentang Jenny dan pernikahanku dengannya, mungkin bodoh aku mengakuinya sekarang, tapi aku tidak pernah mencintai dirinya seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon kau percaya. Satu-satunya alasan yang benar-benar membuatku akhirnya menikahinya adalah dirimu. Tapi aku tidak berhak menyalahkanmu karena lagi-lagi inipun karena kelemahanku sendiri.
Tentu kau tahu, 19 tahun perbedaan umur kita tidak sama sekali bermasalah bagiku. Justru 19 tahun itu angka yang menurutku sudah Tuhan suarakan untukku. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku selalu bersyukur kau tercipta 19 tahun setelahku. Kau belum tentu kau yang kucintai jika kau tercipta sebelum atau setelahnya. Tapi, aku tidak perlu lagi peduli.
Yang kuketahui sekarang, sebening kristal, aku mencintaimu.
Aku juga mencintaimu.
            …dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
Tak ada pula yang bisa mengubah perasaanku padamu.
            Semestaku berpusar padamu.
Setiap helaan nafasku bertumpu padamu.
            Kau adalah bagian dari hidupku, yang paling istimewa.
Kau, bagian jiwaku yang sangat berharga.
            Saat-saat kita bersama adalah saat-saat yang paling indah.
Oh, apapun akan kulakukan untuk mengulangnya.
            Mungkin cuma itu yang ingin aku sampaikan. Yang  jelas, aku berharap kau tahu bahwa cintaku, untuk selamanya, hanya untukmu. Sampai bertemu di kehidupan yang lain, Reza.
           
                                                           
                                                                                                Dari Ken, yang mencintaimu.
           
P.S: Aku yakin aku tetap akan mencintaimu jika kau menjadi laki-laki.   
           
Aku tertawa membaca kalimat terakhir suratmu, tawa yang sesaat kemudian mengalirkan kepahitan ke sekujur tubuhku. Tawaku berubah menjadi tangis, secepat kau pergi dari hadapanku; begitu saja.
Aku melihatmu di kepalaku, menutup surat dengan hati-hati, melipatnya menjadi empat bagian, dan memasukkannya ke dalam amplop. Kemudian sambil menarik nafas panjang kau meraba celah di bangku kayu lalu mendorongnya masuk. Kau berdiri, menatap senja untuk yang terakhir kali, dan melangkah pergi.
Langit sudah gelap, malam telah melahap senja. Aku memandang suratmu dibawah sinar rembulan sebagian, menutupnya, dan meletakkannya di atas bangku. Aku menghapus air yang meleleh di pipiku. Mataku menyusuri padang ilalang kita untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan tentang kita, menyimpan sisa bayangan dirimu di sudut terdalam hatiku, dan membawa cintamu bersamaku untuk menjalani kehidupan yang baru tanpa dirimu.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar