Aku mendesah, membuka sabuk
pengaman, dan mematikan mesin mobil. Aku membuka pintu mobil dan seketika udara
bercampur bau rumput basah menari-nari di hidungku. Aku meraupnya dengan rakus.
Tarik, hembuskan. Aku rindu bau ini, rindu sekali. Aku melepaskan sepatu dan
memijakkan kakiku di rumput hijau yang lembab dan dingin. Syaraf-syarafku
tergelitik oleh teksturnya. Aku rindu pijakan ini, rindu sekali.
Aku turun dari mobil dengan bertelanjang kaki meski
udara dingin menyapu kulit. Matahari bersinar lembut dengan graduasi warna
merah muda dan oranye, hangat, mengimbangi dinginnya hembusan udara. Aku rindu
perpaduan ini, rindu sekali.
“Kau selalu
berkata begitu walau tiap minggu kita kemari.”
Kau akan tersenyum jahil dan mulai menggoaku setiap
aku berkata seperti itu.
Aku tersenyum tipis, lalu mulai berjalan menyusuri
rumput pendek, dan berhenti di batas yang ditumbuhi ilalang. Aku menarik nafas,
memasuki padang ilalang, menyusurinya dengan ujung jari dan memetik sebatang.
Aku melambaikannya ke arah matahari senja, menikmati dispersi warna yang
diuraikan tiap helainya. Putih, ringan; anggun bergoyang mengikuti angin.
Aku berjalan terus, semakin ke tengah padang ilalang
itu, dimana terdapat sebuah kursi kayu panjang yang tersembunyi di tingginya
ilalang, tempat kita biasa menghabiskan senja kita bersama. Bangku itu masih di
sana, seakan tidak tersentuh putaran jam. Aku ulurkan tanganku menyusuri
lekuk-lekuk bangku, mencari gema keberadaanmu, yang dulu bersamaku. Kuhempaskan
badanku ke atasnya.
“Angkat
ponimu, ribet sekali.”
Kau baru akan tersenyum kalau kuikat rambutku
seluruhnya, kutarik keatas, hingga kau bisa bebas memandangi dan mencium
dahiku.
Tanpa sadar aku buru-buru mengikat rambutku
seluruhnya, seakan kau masih ada disitu, mengamatiku ketika aku menyisir
rambutku dengan jari dan menyatukannya dengan karet gelang.
“Nah
begitu, kan cantik.”
Lalu kau akan membelai pipiku dan membuka lenganmu
agar aku bisa bersandar di sana.
“Kalau kau
begitu suka melihat wajahku bersih dari rambut, lain kali akan kubotakkan saja
kepalaku.” Aku mendengus.
Kau
tertawa. “Dengan nama yang sudah mirip laki-laki, kau nekat ingin menggunduli
rambutmu? Bisa-bisa kau benar-benar jadi laki-laki.”
“Hei, dasar
seksis. Kalaupun aku jadi laki-laki, memangnya kenapa? Kau kan tidak berhak
mencampuri urusan gender-ku.”gerutuku.
“Kalau kau
jadi laki-laki, itu akan membuatku bingung.”
“Jadi kau
tidak akan mencintaiku lagi kalau aku menjadi laki-laki?”
Kau tertawa
lagi. Meski suaramu kasar dan berat, kau tertawa dengan merdu.
“Kau
sungguh-sungguh ingin membuatku berpikir tentang hal itu ya?”
Aku merengut.
“Kau yang memulai.”
Kau terdiam
sejenak, lalu mengangkat daguku. Matamu mencari mataku, dan untuk beberapa saat
kita hanya terdiam, saling menatap.
“Aku
mencintaimu bukan karena fisikmu, atau
gendermu. Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar seratus persen
perempuan atau laki-laki. Kita semua manusia, tidak ada konsep yang mutlak,
apalagi konsep laki-laki dan perempuan dalam gender. Jadi, argumen bahwa aku
tidak akan mencintaimu lagi kalau kau memutuskan untuk menjadi laki-laki sama
sekali tidak valid untukku, karena aku mencintaimu bukan karena fisikmu, dan
bukan atas suatu konsep yang abstrak untukku, melainkan karena kau…adalah kau.”
Aku
mengerjap beberapa kali dan tersenyum. Lalu kau tertawa, tawa yang menular
padaku.
“Tapi
bagaimanapun juga aku tentu akan bingung jika kau tiba-tiba memutuskan untuk
menjadi laki-laki.”
Aku tertawa
lagi. Untuk beberapa saat yang terdengar hanya letupan tawa kita. Tiba-tiba kau
menatapku lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih serius dan teduh.
“Kali ini
aku ingin bicara serius denganmu.”
“Kapan kau
tidak serius?”
“Kapan saja
aku mau. Nah sekarang kau harus mendengarkanku.”
“Memangnya
dari tadi apa yang kulakukan?”
Kau menghela
nafas. “aku sudah menyatakan dengan jelas bahwa aku mencintaimu, bukan?”
Aku mengangguk
sedikit. Tolonglah. Aku tidak mau membicarakannya.
“Kenapa kau
tidak ingin mengakui..” kau menghela nafas “kalau kau juga..”
“Tolonglah,
Ken, aku tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang.”
Kau menghela
nafas lagi, menutup tanganmu. Mau tidak mau aku mengangkat kepalaku. Kau menutup
mata. “Aku tidak tahu, Re. Aku merasa kau begitu…entahlah. Kau menghindar dari
masalah, kau tidak ingin menyelesaikannya.”
Aku berdiri
perlahan, membelakangimu. Kutarik nafas, lalu menutup mataku. “Ya, aku memang
lari darinya. Ya, aku pengecut, tidak ingin mengakuinya. Aku tidak bisa. Nah,
sekarang, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mari kita pulang.”
Aku mendengar
kau menghembuskan nafas, dan merasakan kau membungkuk, menutup wajahmu dengan
kedua tanganmu. “Yang hanya perlu kau lakukan adalah mengatakan bahwa kau
mencintaiku. Kau mencintaiku.” Gumammu dibalik tanganmu.
Kau lalu
berdiri, berjalan mendahului aku ke mobil. Sepanjang jalan kita hanya
mendengarkan deruan angin yang dibelah mobilmu.
Aku ingat bunyi sunyi itu. Sangat hampa, terlalu hampa
hingga rasanya aku terdampar di tempat tak beruang, tanpa suara. Aku merasa
dilipat, dipadatkan, ditekan ke dalam satu dimensi; sunyi. Bernafas saja
rasanya sulit. Gumpalan kata sudah di pangkal, tapi tak bisa dimuntahkan. Menyiksa.
Kita tak
lagi bicara, sepatahpun kata tak kau ucapkan dihadapaku, hingga saat kau naik
ke pelaminan, bersanding dengan kakakkku. Kaupun tetap diam saat kupandang; bingung,
marah, mungkin sepercik rasa kecewa aku dapati di kedua bening matamu.
Aku menatap senja di kejauhan, seakan sorot matamu
masih tersirat disana, sehangat senja.
Dua hari
setelah itu, aku meninggalkan Indonesia, tanpa pamit.
Dan sampai saat ini, kita tak pernah lagi saling
bicara.
Aku menutup mata, angin membelai rambutku, wajahku. Aku
mengangkat kakiku, membaringkan punggungku di bangku. Aku menatap langit senja,
mengingat kembali dering telepon yang pagi itu terus berbunyi meski berulang
kali aku matikan.
Telepon darimu.
Dua tahun kau tidak sama sekali mencariku, dan
pagi-pagi sekali jam tiga pagi di Australia, kau menelepon. Benakku langsung
dipenuhi bermacam pikiran. Aku marah. Menyesal. Malu. Sedih. Satu sisi aku
ingin mengangkatnya, mendengarkan suaramu yang sungguh-sungguh aku rindukan,
satu sisi aku hendak membanting telepon itu yang tiba-tiba mengingatkanku
padamu. Ketika telepon berhenti berdering, aku menghembuskan nafas yang tak
sadar kutahan, tidak tahu harus lega atau kecewa.
Lima jam kemudian, aku sedang menyeduh kopi untuk
kuliah pagiku ketika telepon kembali berbunyi. Kali ini dari kakakku, Jenny. Dengan
was-was aku menekan tombol untuk menjawab.
“Ken sedang
kritis sekarang, tumor otaknya ternyata ganas. Pulanglah, kata terakhirnya
sebelum ia hilang kesadaran adalah namamu.” Nadanya getir, tertekan, putus asa.
Tergesa-gesa aku mencegat taksi dan memesan
penerbangan paling pertama ke Indonesia. Sepanjang perjalanan tak henti aku menghapus
air mataku yang terus meleleh meski aku tak menangis.
Aku mengusap air mataku yang mulai turun lagi.
Senja semakin merah, ilalang semakin merunduk terpijak angin, matahari semakin
turun di cakrawala, tertarik keanggunan malam. Aku memalingkan wajahku ke arah
sandaran bangku, menatap serat-serat kayu yang seakan mengeja namamu.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke sudut bangku. Sesuatu
terselip disana, tidak banyak terlihat. Aku meraih ujung kecil itu, menariknya
keluar, dan mengangkat punggungku ke posisi duduk.
Sepucuk surat. Putih, sedikit mengkerut di ujungnya
yang tersembul keluar. Dengan kaku aku menyobek sampulnya dan membuka
lipatannya yang rapi. Sungguh khas dirimu, rapi, teliti.
Di kepalaku menyeruak kenangan-kenangan kita, hingga
saat aku melihatmu di tempat tidur dimana nafasmu akhirnya meninggalkan
tubuhmu.
“Kenapa
tidak kau katakan sebelumnya?” suaraku sengau. Aku berbicara padamu, tetapi kau
tidak menjawabku. Kau begitu pucat bagai tembok ruangan itu.
“Sebelum
operasi ia meneleponmu. Ia bersikeras, namun kau tidak mengangkatnya. Ada apa
sebenarnya antara kau dan dia?” Jenny berkata pelan disampingku. “Katakan
padaku. Apa sebenarnya yang terjadi?”. Sorot matanya penuh emosi,
mengintimidasi. Sedetik aku terpaku, tidak tahu harus berkata apa.
“Aku
mencintainya.” Setelah sekian lama aku pendam, ini kali pertama aku mengatakan
ini dengan gamblang. Aku bergetar, ujung-ujung jariku ngilu, namun rasanya
sungguh benar.
“Apa?”
“Aku
mencintainya. Ia mencintaiku. Aku mencintai Ken, Jen. Aku mencintainya.”
Kata-kata itu meluncur dari mulutku, pelan namun tegas.
Kemudian
Jenny menamparku. Di depanmu, di depan orangtua kita, di depan orang-orang di
ruangan itu. Aku diam, tidak merasa harus berbicara.
“Kenapa kau
tidak pernah bilang?” Suara Jenny cukup jelas untuk didengar tiang-tiang marmer
kaku di ruangan itu.
“Kenapa?”
Jenny kembali histeris, kemudian jatuh terduduk. Semua orang sibuk
menenangkannya, memapahnya sambil melempar pandangan penuh tanda tanya padaku.
Aku kembali
terdiam.
Kalau aku
bisa, aku sudah mengatakannya. Dari dulu. Dari saat pertama kita bertemu. Seandainya
aku punya cukup keberanian. Seandainya kau dan Jenny tidak pernah dijodohkan. Seandainya
saja Jenny tidak tergila-gila padamu. Seandainya aku tega melukai hati Jenny
dari dulu.
Aku memulai membaca lipatan kertas putih itu. Tulisan tanganmu
agak sedikit berbeda, lemah dan agak bergetar. Mungkin surat itu kau buat
dengan tenaga terakhirmu.
Dear Reza,
Hei, sudah lama kita tidak berjumpa. Sampai saat kau
membaca surat ini, kau pasti sudah tamat kuliah.
Seandainya saja kau bertahan selama itu.
…Aku tidak tahu seperti apa rupamu sekarang, yang
pasti hari terakhir aku melihatmu, bayanganmu masih terpatri di benakku. Jujur saja,
aku berharap kau tak berubah.
Jadi, apa kabarmu sekarang? Baik-baik, kan? Aku disini
juga baik-baik saja, meski aku tidak yakin. Ya, tanpamu aku memang tidak pernah
baik-baik saja. Langsung saja, tujuanku membuat surat ini sebenarnya..aku minta
maaf. Atas segala hal yang aku lakukan.
Maaf aku tidak berusaha cukup keras untuk
mempertahankan dirimu.
Aku yang salah, maaf.
Maaf aku terlalu lemah sampai-sampai aku tidak bisa
memperjuangkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Kau selalu kuat. Aku, akulah yang lemah.
Maaf aku sudah membuatmu pergi.
Kau tidak membuatku pergi, aku sendiri yang pergi.
…dan maaf sudah membuatmu menghadapi
masa sulit.
Kau yang dipersulit, maafkan aku.
Aku tidak tahu apakah kau
merindukanku atau tidak, tetapi aku sangat-sangat-sangat merindukanmu. Aku yakin
kau tahu itu.
Aku merindukanmu sampai-sampai nadiku rasanya berhenti
berdenyut, terhimpit rindu.
…dan mungkin aku sangat pengecut,
hanya bisa mendatangi tempat ini untuk melampiaskannya.
Akupun begitu.
Keadaan tidak mendukung, takdir juga
tidak bisa meluluskan sedikit saja konspirasi untuk mempertemukan kita lagi.
Jujur, aku juga tidak bisa lagi
berharap untuk merangkulmu seperti saat-saat kita dulu bersama. Aku ingin,
tetapi aku tidak bisa. Tapi setidaknya, tolong izinkan aku untuk berharap kau
tidak akan melupakanku. Boleh, kan?
Aku tidak akan bisa meskipun aku ingin.
Tentang Jenny dan pernikahanku
dengannya, mungkin bodoh aku mengakuinya sekarang, tapi aku tidak pernah
mencintai dirinya seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon kau percaya. Satu-satunya
alasan yang benar-benar membuatku akhirnya menikahinya adalah dirimu. Tapi aku
tidak berhak menyalahkanmu karena lagi-lagi inipun karena kelemahanku sendiri.
Tentu kau tahu, 19 tahun perbedaan umur kita tidak
sama sekali bermasalah bagiku. Justru 19 tahun itu angka yang menurutku sudah
Tuhan suarakan untukku. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku selalu bersyukur kau
tercipta 19 tahun setelahku. Kau belum tentu kau yang kucintai jika kau
tercipta sebelum atau setelahnya. Tapi, aku tidak perlu lagi peduli.
Yang kuketahui sekarang, sebening kristal, aku mencintaimu.
Aku juga mencintaimu.
…dan tidak ada yang bisa
mengubahnya.
Tak ada pula yang bisa mengubah perasaanku padamu.
Semestaku berpusar padamu.
Setiap helaan nafasku bertumpu padamu.
Kau adalah bagian dari hidupku, yang
paling istimewa.
Kau, bagian jiwaku yang sangat berharga.
Saat-saat kita bersama adalah saat-saat yang paling
indah.
Oh, apapun akan kulakukan untuk mengulangnya.
Mungkin cuma itu yang ingin aku
sampaikan. Yang jelas, aku berharap kau
tahu bahwa cintaku, untuk selamanya, hanya untukmu. Sampai bertemu di kehidupan
yang lain, Reza.
Dari Ken, yang
mencintaimu.
P.S: Aku yakin aku tetap akan mencintaimu jika kau
menjadi laki-laki.
Aku tertawa membaca kalimat terakhir suratmu, tawa
yang sesaat kemudian mengalirkan kepahitan ke sekujur tubuhku. Tawaku berubah
menjadi tangis, secepat kau pergi dari hadapanku; begitu saja.
Aku melihatmu di kepalaku, menutup surat dengan
hati-hati, melipatnya menjadi empat bagian, dan memasukkannya ke dalam amplop. Kemudian
sambil menarik nafas panjang kau meraba celah di bangku kayu lalu mendorongnya
masuk. Kau berdiri, menatap senja untuk yang terakhir kali, dan melangkah
pergi.
Langit sudah gelap, malam telah melahap senja. Aku memandang
suratmu dibawah sinar rembulan sebagian, menutupnya, dan meletakkannya di atas
bangku. Aku menghapus air yang meleleh di pipiku. Mataku menyusuri padang
ilalang kita untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan tentang kita, menyimpan
sisa bayangan dirimu di sudut terdalam hatiku, dan membawa cintamu bersamaku
untuk menjalani kehidupan yang baru tanpa dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar