Pernah tau rasanya jadi
berbeda tidak?
I mean, bukan berbeda seperti ketika semua anak di
sekolah kalian menggunakan OS, kalian menggunakan android. Atau ketika hari
seharusnya kalian menggunakan kaos kaki hitam, kalian menggunakan kaos kaki
putih. Dalam kasus pertama, itu pilihan. Dalam kasus kedua, itu kelalaian.
Kita tidak sedang
membicarakan perbedaan karena dua hal tersebut.
Kita sedang membicarakan
perbedaan yang kalian rasakan ketika teman kalian terlahir dengan rambut lurus
yang hitam dan indah, sedangkan kalian terlahir dengan rambut gimbal yang
kering dan sekusut headset yang baru dikeluarkan dari kantong.
Sesering apapun disisir, semahal apapun perawatan yang kalian lakukan,
folikel-folikel rambut kalian akan tetap menghasilkan untaian rambut sarang
burung yang kasar dan sulit diatur. Bukan pilihan kalian, bukan pula kelalaian.
Perbedaan yang tidak kalian
inginkan, tidak pula terjadi karena kalian melakukan kesalahan; perbedaan yang,
sekeras apapun kalian berusaha, tidak akan bisa kalian ubah, karena memang
adanya seperti itu.
“Bagaimana?” Paul mengaduk kopi hitamnya dengan bersemangat,
matanya bergantian menatapku dan Cindy.
Aku tersenyum dan membiarkan
jeda di antara kami mengambang sembari aku menyeruput teh hitamku.
Cindy terdiam sejenak, salah tingkah, tapi akhirnya meraih makaron coklat yang berada di
tengah meja sambil menahan tawa.
“Paul, I don't think being blonde suits you."
"Ah, shit! Aku kira kalian akan bilang aku terlihat seperti oppa-oppa." Ia mengacak-acak rambutnya sambil berusaha berkaca di pantulannya di jendela. "I'm dyeing it back black then. I spent six hours on the salon for this!"
Suara tawa kami berderai menyaingi hujan di luar. "Hey! but you do you! I'm the last person that's qualified to tell you what you should and shouldn't do!"
Hampir dua tahun berlalu sejak kejadian di kamar Paul, ketika Cindy hampir “mengungkapkan perasaannya” padaku, dan setelah setahun aku came out kepada mereka berdua tentang identitasku.
“Paul, I don't think being blonde suits you."
"Ah, shit! Aku kira kalian akan bilang aku terlihat seperti oppa-oppa." Ia mengacak-acak rambutnya sambil berusaha berkaca di pantulannya di jendela. "I'm dyeing it back black then. I spent six hours on the salon for this!"
Suara tawa kami berderai menyaingi hujan di luar. "Hey! but you do you! I'm the last person that's qualified to tell you what you should and shouldn't do!"
Hampir dua tahun berlalu sejak kejadian di kamar Paul, ketika Cindy hampir “mengungkapkan perasaannya” padaku, dan setelah setahun aku came out kepada mereka berdua tentang identitasku.
Aku mengungkapkan keadaanku
kepada mereka sehari sebelum kami berpisah, pada saat kami akan melanjutkan
pendidikan ke universitas yang berbeda; aku melanjutkan kuliah di Bandung,
Cindy di Depok dan Paul di Colorado. Hari itu kami berencana akan nonton di
bioskop lalu berkaraoke, namun semua rencana kami gagal karena pengakuanku.
Cindy terlihat terpukul, Paul menatapku tidak percaya, dan aku hampir saja
menyesal melakukan hal tersebut. Cindy langsung berniat pulang, dan Paul, tentu
saja, menawarkan diri mengantarkannya.
Esoknya Paul mengantarkan
kepergianku ke bandara. Cindy tidak terlihat.
“Kamu masih mau berteman
denganku?”
Paul terdiam sejenak lalu
tersenyum tipis.
“Memang sulit untuk
mempercayainya, dan sejujurnya otakku masih berjuang memrosesnya. Tapi
sudahlah, kita sudah lama berteman, kan? Hal seperti itu tak akan mengubah
fakta tersebut, Nat.”
Air mataku tumpah begitu
pesawat lepas landas.
Hari ini
kami memutuskan untuk bertemu dan berbincang-bincang, setelah sekian lama kami
tidak bertemu dan benar-benar betegur sapa. Aku dan Cindy sedang dalam masa
libur semester genap, dan Paul kebetulan kembali ke Indonesia untuk mengurus
sesuatu. Urusan keluarga, katanya. Kami bertemu di sebuah café di di Bandung
yang letaknya cukup terpencil di atas bukit, sekalian liburan dan jalan-jalan,
kata Cindy.
Selama
setahun belakangan ini hubunganku dengan Cindy menjadi renggang, sesuatu yang
sudah kuduga dari pertama kali aku melontarkan kata-kata bahwa aku menyukai
sesama jenis kepada mereka. Kami berbincang sekali-dua kali melalui aplikasi
internet, tetapi hanya itulah interaksi yang kami lakukan. Aku dan Paul lebih
banyak bertukar cerita dibandingkan aku dan Cindy, meskipun tidak bisa dibilang
sering. Tampaknya kuliah di Colorado merupakan keputusan yang tepat baginya,
dia jadi banyak melakukan kegiatan sosial yang membuatnya sangat sibuk.
Hujan
rintik-rintik malah membuat suasana café yang kami singgahi lebih nyaman. Meja
dan tempat duduknya yang terbuat dari kayu menambah kehangatan tempat ini.
Ruangannya tidak terlalu luas, tetapi tiap meja mempunyai space yang cukup untuk tidak melanggar ruang privasi orang di meja
lain. Di dinding diatas bar tergantung poster-poster vintage bergambar wanita-wanita muda dengan riasan tahun 70an, dan
di sudut ruangan, disamping bar, berseberangan dengan meja kami sekarang,
terdapat sebuah perapian, yang, kuduga hanya hiasan. Jendelanya besar-besar dan
memenuhi sebagian besar dinding, ada yang menghadap ke jalan raya, dan yang
berada di dekat kami menghadap lembah yang dihiasi pepohonan yang daunnya mulai
menguning. Tempat yang sangat indah, pilihan kami memang tidak salah.
“Jadi, Nat. Bagaimana
kehidupanmu disana? Maksudku, sebagai seorang gay?”
Cindy akhirnya mengarahkan perhatiannya padaku untuk pertama kalinya malam ini.
Aku bersiap untuk menemukan nada mengejek dalam perkataanya, tapi ekspektasiku
salah. Dia benar-benar bertanya kepadaku, setelah sekian bulan berlalu tanpa ia
terlihat menerima kenyataan itu.
Aku terdiam sejenak,
sebagian karena aku sedang memikirkan jawabannya, dan sebagian karena aku, yang
baru aku sadari, tidak siap dipanggil seorang gay oleh Cindy. Aku baru sadar bahwa
selama ini, tanpa kusadari, aku masih menghindari penggunaan kata tersebut atau menggantinya dengan penyebutan yang lain. Wow, ternyata aku sendiri belum sesiap
mengakui bahwa aku adalah seorang gay, terutama di depan orang-orang yang kukenal sejak lama. Di depan Cindy. Di depan Paul.
“Life’s good, Cin. Luckily, most people don’t judge. Orang-orang
sadar dan mulai menerima kalau some people are gays. Really makes our life easier.”
Aku berhenti untuk menyeruput
tehku lagi, seraya
menahan sarkasme-ku yang bisa mencuat kapan saja. Orang-orang bertanya banyak
padamu ketika mereka tahu kau adalah gay,
dan percayalah, menjawab itu lama-lama melelahkan dan kelamaan kau akan
menjadikan sarkasme sebagai coping
mechanism. Tetapi yang bertanya ini Cindy, dan jika dia belum berubah, dia
tidak akan sengaja bertanya untuk menggangguku saja.
“Kami sadar bahwa kami
berbeda secara orientasi seksual. Memang beginilah kami. Kami tidak memilih kehidupan
seperti ini, kami juga tidak menjadi seperti ini karena kesalahan kami maupun
orang lain.”
Paul terkekeh. “Kudengar
kaum kalian lebih bebas kalau berhubungan. Benarkah itu? Apa semua gay seperti itu?” Paul menaikkan sebelah
alisnya.
Aku ikut terkekeh.
“Well, karena kamu adalah temanku, kamu kumaafkan. That question is insensitive. The thing is,
kami sama saja seperti kalian yang normal.
Tidak semuanya seperti itu, kok. Memang ada yang gampang aja masuk kamar. Tapi, kan, gay ataupun hetero juga banyak yang
seperti itu.”
“Kita itu sama, sama-sama
manusia. Kita dibesarkan dengan etika dan norma, juga peraturan-peraturan.
Sama. Yang akhirnya membuat kita berbeda adalah siapa yang kita...cintai.”
Pelayan datang dan membawa caramel salt frappe milik Cindy. Cindy tersenyum dan
mengucapkan terimakasih.
“Tapi Nat, akuilah, ada
perbedaan antara kalian dan kami yang bisa dilihat selain itu. Seperti misalnya, hmm, cara berpakaian?” Cindy mencolek whipped cream
diatas minumannya dengan sedotan dan menjilatnya, meninggalkan jejak krim di
pinggir bibirnya. Paul tertawa, mengambil serbet dan mengelap sisa tersebut
sambil bergumam tentang bagaimana berantakannya Cindy dan bahwa dia tidak
berubah dari dulu.
Ah, jadi Paul memang masih
menyukai Cindy.
“Sulit didefinisikan sih... It’s all beyond the sight, should I
say. Gak ada yang pasti. Ada
kok, yang gay tapi gak pernah grooming, trus punya bodi kayak abang-abang bangunan.” Aku tersenyum geli pada jawabanku sendiri, teringat
pria terakhir yang aku kencani. Melihatnya sekilas, tidak akan ada yang
menyangka kalau dia menyimpan perasaan kepadaku. Tubuhnya berotot, tetapi bukan
otot yang dilatih secara khusus,
kulitnya terbakar matahari akibat bermain sepak bola, mukanya tidak mulus
sepertiku, dan rahangnya dihiasi rambut-rambut yang dibiarkan tumbuh kasar.
“Pacarku sekarang,
misalnya. Melihatnya sekilas mungkin kalian akan menyangka dia adalah womanizer kelas berat.”
Cindy tertawa mendengar
rujukanku barusan. Aku baru sadar, aku sedikit merindukan tawanya.
“Kamu punya
pacar sekarang? Siapa lelaki beruntung itu?”
“Namanya
Eli. Dia tampan dan sangat macho, persis versi Indonesianya Bradley Cooper.”
Aku tersenyum geli mendengar jawabanku sendiri. Aku melanjutkan cerita tentang Eli,
bagaimana kami bertemu, saat kami kencan, dan bagaimana akhirnya Eli menyatakan
perasaannya padaku, dan aku yang masih ragu-ragu karena belum percaya pada
kenyataan yang terjadi.
“Cukuplah
tentang aku. Pokoknya, kami sama dengan kalian, cuma sedikit berbeda. Bagaimana
dengan kalian? How’s life in uni?”
Di luar,
hujan bertambah deras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar