Cindy
“Aku
menyukai seseorang.” Aku memainkan rambutku, berhenti pada ujungnya, berpura-pura mencari bagian yang bercabang.
Seketika
aku merasakan aktivitas di ruangan ini berhenti. Aku nyaris bertanya dalam hati
apakah hal ini adalah keputusan yang benar. Aku memang bermaksud lebih pada
pertanyaan itu, untuk menarik simpati salah satu dari mereka.
Paul
yang sedang memakai kemeja di atas lapisan kaos putih polosnya berdeham,
kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi. Jonathan yang baru saja meraih novel di
pojok meja belajar Paul kembali membuka-buka buku setebal satu inci tersebut.
Aku
memutar bola mata.
“Halo,
tak adakah yang ingin bertanya?” dengan agak kesal aku merobohkan badan ke
kasur king size milik Paul, meraba seprai
barunya yang masih berbau pewangi pakaian.
Biar
kuperjelas.
Aku
bukannya sedang berada di kamar om-om
kaya bernama Paul dan Jonathan, berbaring di ranjangnya, dan melakukan apalah
itu yang mungkin terlintas di pikiranmu. Kami bertiga adalah sahabat, dan
kebetulan hari ini sepulang sekolah kami memutuskan untuk ke belajar bersama. Itulah
sebabnya aku berada di rumahnya; tepatnya kamarnya Paul sekarang. Kami baru
saja selesai makan siang dan akan mengerjakan tugas kami, tapi aku tidak tahan
untuk tidak melancarkan rencanaku yang sebenarnya sudah aku susun dari
jauh-jauh hari.
“Bukannya
apa Cin, sudah berapa kali bulan ini kamu mengucapkan kalimat itu?” Jonathan
berdiri dan meletakkan kembali
novel itu ke tempatnya semula, tampaknya memutuskan bahwa novel tersebut tidak
terlalu menarik.
Oh,
sial. Sekarang aku mengutuki label playgirl-ku.
Baiklah,
aku menyampaikan hal barusan bukan untuk sekedar curhat seperti yang biasanya
aku lakukan, tetapi untuk memancing reaksi tertentu dari Jonathan, salah satu
orang yang berada di ruangan ini bersamaku. Sahabatku.
Ya,
sudah lama aku menyukai Jonathan,
dan hal itulah yang membuatku memacari selusin laki-laki lain; hanya untuk
melupakan satu-satunya orang yang sebenarnya memenuhi seluruh tempat di hatiku.
Begitu dekat, sekaligus begitu jauh. Klise, namun kenyataanya memang begitu.
Kadang
aku merasa tidak adil pada Paul. Jonathan baru kami kenal sejak SMP, namun
sekarang aku berani mengatakan seluruh hatiku terisi olehnya.
Jangan
takut Paul. Pasti masih ada ruang di hatiku untuk seorang sahabat sepertimu.
Rasanya
pikiran barusan hanya kusisipkan sebagai penegas.
Paul
tertawa. “Ya Cin, sekarang siapa lagi yang akan kamu angkat jadi dayang?” Paul
sudah selesai mengancingkan kemejanya. Ia mendekati dan duduk di tepi ranjang.
Aku menggeser pantatku lebih kedalam dan menyandarkan punggungku di dinding.
“Tapi
kali ini berbeda.” Aku bersikeras. Jonathan harus menangkap sinyalku. Harus.
“Beda?
Setiap kali kamu mengatakan kamu menyukai seseorang dan kalian akhirnya
berpacaran, kamu selalu mengatakan dia berbeda, dan sebagainya, dan sebagainya.
Namun kenyataanya? Mereka tak ubahnya bagai dayang yang mengikuti yang mulia
ratu, setia mengemban kewajiban.” Jonathan berdecak sebal dan mengambil tempat
di samping Paul.
“Aku
tidak pernah menyuruh mereka melakukan hal tersebut! Mereka yang mau sendiri.”
protesku. Aku meraih bantal di pinggir ranjang dan memeluknya tanpa rasa
canggung. Aku dan Paul sudah bersahabat sejak… hm kapan ya? Mungkin sejak TK.
Sejak kami masih bau bayi. Jangan tanya padaku definisi bau bayi, karena aku
sendiri tidak bisa menjelaskan.
“Kamu
yakin?” Alis kanan Jonathan naik, memberikanku pandangan sarkatis. Darahku
langsung berdesir. Jonathan sangat tampan. Oh tidak. Melihatnya seperti ini
saja aku bisa mati.
Paul
tertawa. “Jadi, apa beda dia dengan orang-orang yang kamu pacari selama ini? ”
dia merapikan rambutnya dengan jari. Aku berdecak. Paul mungkin saja tampan,
tapi entah mengapa aku tetap tidak bisa menaruh perasaan padanya. Mungkin kami
sudah terlalu lama berteman. Entahlah. Yang jelas, aku yakin kami memang murni
hanya berteman. Setampan apapun Paul, aku tetap melihatnya sebagai sahabatku dan
aku yakin Paul pun begitu.
“Dia…ya
dia baik, tampan, kaya….mungkin.
Tapi aku sangat menyukainya.” Aku berdeham sekali. “Dan, ya, yang kali ini, aku
sudah cukup lama mengenalnya.” Aku menunduk, tak kuasa menatap wajah dua orang
di depanku. Bagaimanapun juga aku sedang menguak sedikit demi sedikit kartuku,
dan jika Jonathan tidak mempunyai rasa yang sama denganku, habislah aku.
Habislah pertemanan yang kami rajut selama ini. Maksudku, apakah kau masih mau
berteman dengan seseorang yang kenyataannya menyukaimu setengah mati, dan akan
berpura-pura tidak tahu setelah ia mengungkapkan semuanya padamu? Apa semuanya masih
akan sama? Tentu tidak.
Paul
Dadaku
berdegup makin kencang. Oh, apa tadi
yang barusan di katakannya? Dia sudah cukup lama mengenalnya? Apakah
mungkin…aku?
Rasanya
aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kenyataan bahwa Cindy baru saja
menyatakan ia menyukai seseorang yang sudah ia kenal lama membuatku hampir
melonjak meskipun aku sendiri tidak yakin kalau ia sedang membicarakan diriku.
Tapi
kau yakin itu kau? Memangnya cuma kau saja yang sudah ia kenal cukup lama? Dan
lagi, ia tidak menyatakan seberapa lama ‘cukup lama’ itu, bukan? Bisa saja itu
berarti sebulan, dua bulan… bukan belasan tahun. Lagipula ia akan mengatakan
bahwa ia mengenal orang itu sudah sangat lama kalau begitu. Belasan tahun itu
waktu yang sangat lama, bukan?
Kurang
ajar. Pikiran logisku mengacau pikiran indahku barusan. Yang satu ini memang
agak liar dan sulit di kendalikan. Aku menghembuskan nafas sebal. Tak bisakah
kau, wahai pikiran, berhenti menjatuhkan angan-anganku sekali saja?
“Langsung
saja Cindy, siapa dia?” Jonathan langsung menembak Cindy dengan pertanyaannya.
Sahabatku itu memang seperti itu. Dalam kamusnya tidak ada basa-basi, apalagi
ngalor-ngidul. Sekarang aku dapat menebak bahwa Jonathan sebenarnya ingin mengatakan
“Langsung saja Cindy, tidak perlu bertele-tele. Katakan segera siapa orang itu,
dan kita bisa mulai mengerjakan tugas kita yang seharusnya sedang kita kerjakan
sekarang.” Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Cindy,
yang juga sahabatnya.
Tanpa
kuduga Cindy langsung salah tingkah. Oke ini tidak biasa. Biasanya dia akan mengangkat
tangannya, meniupi kuku jarinya yang lentik, kemudian dengan bangga menyebutkan
salah satu nama cowok-cowok yang populer, dan biasanya, tidak sampai seminggu
kemudian ia akan datang ke kami menggandeng dayangnya itu untuk mengenalkannya
kepada kami sebagai pacarnya.
Cindy
memang hampir selalu mendapatkan apa yang di inginkannya, termasuk dalam hal
memilih cowok. Tentu saja, dengan bermodal muka cantik dan prestasi akademik
dan non akademik yang membanggakan, hanya cowok gila atau homo yang tidak mau
menjadi pacarnya.
Memikirkan
semua mantan Cindy membuatku merinding. Mereka semua tampan, kaya, dan populer.
Sedangkan aku? Aku memang tampan, pintar, dan populer di mata cewek-cewek di
sekolahan, namun Cindy tak pernah membuatku merasa tampan. Pintar? Cindy selalu
menduduki ranking diatasku. Populer? Cindy sepertinya tidak peduli berapa ratus
pernyataan cinta yang kutolak demi dirinya.
“Cindy?
Jadi siapa orang itu?” Aku berusaha terlihat biasa saja saat melontarkan
pertanyaan itu meskipun sebenarnya jantungku seperti mau pecah. Oh, okelah,
cinta bisa membuatmu hiperbolis.
“Ayo
katakan.” Jonathan kemudian menggeser bokongnya mendekat pada Cindy, kemudian
merangkulnya. Sesuatu yang sebenarnya sering aku dan Jonathan lakukan pada
Cindy, namun entah mengapa kali ini kulihat reaksi aneh pada Cindy.
“Ehm,
ya, seperti yang kukatakan tadi. Dan juga..ia adalah orang yang dekat denganku,
dan…aku sangat, sangat menyukai bagaimana ia memperlakukanku. Bukan sebagai
ratu, tetapi sebagai sahabat yang baik.” Suara Cindy lebih pelan dari biasanya.
“Oke.
Sekarang, siapa dia? Apa aku mengenalnya? Apakah itu..aku?” Jonathan tertawa kecil. Sekarang aku
merasakan sesuatu yang tidak beres.
Cindy
meremas pinggiran bantal yang ia pegang. Kemudian dengan senyum malu dan muka
merah, ia mengangkat wajahnya dan menatap Jonathan, dengan pandangan yang sulit
aku artikan.
Uh,
oh. Jangan bilang dia yang kau maksud itu Jonathan, Cindy. Jangan.
Jonathan
Aku
melepas rangkulan ku pada Cindy, lalu tertawa kecil.
“Aku
hanya bercanda, Cindy. Jangan salah tingkah begitu dong. Jadi, siapa yang kamu
maksud itu?” Aku tidak ingin memperburuk situasi. Oke. Aku tahu Cindy diam-diam
menyukai aku, dan Paul diam-diam menyukai Cindy. Jangan tanya kenapa, yang
jelas aku memang sedikit lebih peka terhadap hal-hal seperti itu.
Senyum
Cindy tadi yang sempat mengembang, mengempis lagi. Mukanya perlahan-lahan berubah
warna menjadi normal kembali, tidak semerah barusan.
“Kamu
benar benar… tidak tahu?” Aku mendengar getaran rasa tak percaya di suaranya
dan sesisip rasa kecewa.
Aku
memang menyukai Cindy, tetapi murni hanya dalam konteks sahabat, karena aku
memang tidak bisa mempunyai perasaan lebih padanya. Mungkin Cindy salah
mengartikan perhatian ku selama ini kepadanya. Tsk.
“Tidak.
Tentu tidak. Apa itu seseorang di antara kami?” kataku sambil memberikan mimik
lucu. Aku melihat bahu Paul yang sempat merosot tadi menegang lagi.
Cindy
terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan, seakan tidak yakin dengan jawabannya.
“Tidak, bukan salah satu dari kalian.” Katanya pada akhirnya, dengan desah
nafas yang berusaha disembunyikan olehnya. Dari ekor mataku aku melihat bahu
Paul merosot lagi.
“Baiklah, jadi kamu tidak ingin memberitahu
kami?” Aku menggeser lagi bokongku ke samping Paul, dan merangkulnya. Setengah
mati berusaha kusembunyikan degupan jantungku yang tiba-tiba memutuskan untuk
berdansa dengan irama cha-cha. Aku
tidak merasakan ada reaksi dari Paul sedikitpun. Aku rasa dia terlalu syok.
Dengan lembut ku usap-usap bahunya. Sial, malah aku yang bergetar.
Cindy
menggeleng. “Tidak. Aku rasa tidak penting. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita.
Aku harus pulang lebih cepat.” Cindy bangkit dari duduknya, menuju meja belajar
Paul, meraih tas sekolahnya dan mengeluarkan bukunya. Paul ikut bangkit, dan
dengan tidak rela aku melepaskan rangkulanku padanya.
Aku
mendesah lagi. Aku tidak ingin Paul pergi. Posisi
tadi sudah pas, tak bolehkah aku merasakannya lebih lama lagi? tanyaku
kepada diri sendiri. Aku menatap punggung Paul yang melangkah maju mendekati
meja. Begitu kokoh, begitu indah…. Mungkin memang sulit bagiku untuk
bahagia. Tapi, bisa berada sedekat ini dengan Paul dan tidak merasakan
penolakan darinya rasanya sudah cukup buatku sekarang. Ya, setidaknya sebelum
dia tahu aku yang sebenarnya dan bagaimana sesungguhnya perasaanku terhadapnya,
aku rasa aku aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar