Sabtu, 14 Maret 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi (Written in 2012, revised)

Cindy
“Aku menyukai seseorang.” Aku memainkan rambutku, berhenti pada ujungnya, berpura-pura mencari bagian yang bercabang.
Seketika aku merasakan aktivitas di ruangan ini berhenti. Aku nyaris bertanya dalam hati apakah hal ini adalah keputusan yang benar. Aku memang bermaksud lebih pada pertanyaan itu, untuk menarik simpati salah satu dari mereka.
Paul yang sedang memakai kemeja di atas lapisan kaos putih polosnya berdeham, kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi. Jonathan yang baru saja meraih novel di pojok meja belajar Paul kembali membuka-buka buku setebal satu inci tersebut.
Aku memutar bola mata.
“Halo, tak adakah yang ingin bertanya?” dengan agak kesal aku merobohkan badan ke kasur king size milik Paul, meraba seprai barunya yang masih berbau pewangi pakaian.
Biar kuperjelas.
Aku bukannya sedang berada di kamar om-om kaya bernama Paul dan Jonathan, berbaring di ranjangnya, dan melakukan apalah itu yang mungkin terlintas di pikiranmu. Kami bertiga adalah sahabat, dan kebetulan hari ini sepulang sekolah kami memutuskan untuk ke belajar bersama. Itulah sebabnya aku berada di rumahnya; tepatnya kamarnya Paul sekarang. Kami baru saja selesai makan siang dan akan mengerjakan tugas kami, tapi aku tidak tahan untuk tidak melancarkan rencanaku yang sebenarnya sudah aku susun dari jauh-jauh hari.
“Bukannya apa Cin, sudah berapa kali bulan ini kamu mengucapkan kalimat itu?” Jonathan berdiri dan meletakkan kembali novel itu ke tempatnya semula, tampaknya memutuskan bahwa novel tersebut tidak terlalu menarik.
Oh, sial. Sekarang aku mengutuki label playgirl-ku.
Baiklah, aku menyampaikan hal barusan bukan untuk sekedar curhat seperti yang biasanya aku lakukan, tetapi untuk memancing reaksi tertentu dari Jonathan, salah satu orang yang berada di ruangan ini bersamaku. Sahabatku.
Ya, sudah lama aku menyukai Jonathan, dan hal itulah yang membuatku memacari selusin laki-laki lain; hanya untuk melupakan satu-satunya orang yang sebenarnya memenuhi seluruh tempat di hatiku. Begitu dekat, sekaligus begitu jauh. Klise, namun kenyataanya memang begitu.
Kadang aku merasa tidak adil pada Paul. Jonathan baru kami kenal sejak SMP, namun sekarang aku berani mengatakan seluruh hatiku terisi olehnya.
Jangan takut Paul. Pasti masih ada ruang di hatiku untuk seorang sahabat sepertimu.
Rasanya pikiran barusan hanya kusisipkan sebagai penegas.
Paul tertawa. “Ya Cin, sekarang siapa lagi yang akan kamu angkat jadi dayang?” Paul sudah selesai mengancingkan kemejanya. Ia mendekati dan duduk di tepi ranjang. Aku menggeser pantatku lebih kedalam dan menyandarkan punggungku di dinding.
“Tapi kali ini berbeda.” Aku bersikeras. Jonathan harus menangkap sinyalku. Harus.
“Beda? Setiap kali kamu mengatakan kamu menyukai seseorang dan kalian akhirnya berpacaran, kamu selalu mengatakan dia berbeda, dan sebagainya, dan sebagainya. Namun kenyataanya? Mereka tak ubahnya bagai dayang yang mengikuti yang mulia ratu, setia mengemban kewajiban.” Jonathan berdecak sebal dan mengambil tempat di samping Paul.
“Aku tidak pernah menyuruh mereka melakukan hal tersebut! Mereka yang mau sendiri.” protesku. Aku meraih bantal di pinggir ranjang dan memeluknya tanpa rasa canggung. Aku dan Paul sudah bersahabat sejak… hm kapan ya? Mungkin sejak TK. Sejak kami masih bau bayi. Jangan tanya padaku definisi bau bayi, karena aku sendiri tidak bisa menjelaskan.
“Kamu yakin?” Alis kanan Jonathan naik, memberikanku pandangan sarkatis. Darahku langsung berdesir. Jonathan sangat tampan. Oh tidak. Melihatnya seperti ini saja aku bisa mati.
Paul tertawa. “Jadi, apa beda dia dengan orang-orang yang kamu pacari selama ini? ” dia merapikan rambutnya dengan jari. Aku berdecak. Paul mungkin saja tampan, tapi entah mengapa aku tetap tidak bisa menaruh perasaan padanya. Mungkin kami sudah terlalu lama berteman. Entahlah. Yang jelas, aku yakin kami memang murni hanya berteman. Setampan apapun Paul, aku tetap melihatnya sebagai sahabatku dan aku yakin Paul pun begitu.
“Dia…ya dia baik, tampan, kaya….mungkin. Tapi aku sangat menyukainya.” Aku berdeham sekali. “Dan, ya, yang kali ini, aku sudah cukup lama mengenalnya.” Aku menunduk, tak kuasa menatap wajah dua orang di depanku. Bagaimanapun juga aku sedang menguak sedikit demi sedikit kartuku, dan jika Jonathan tidak mempunyai rasa yang sama denganku, habislah aku. Habislah pertemanan yang kami rajut selama ini. Maksudku, apakah kau masih mau berteman dengan seseorang yang kenyataannya menyukaimu setengah mati, dan akan berpura-pura tidak tahu setelah ia mengungkapkan semuanya padamu? Apa semuanya masih akan sama? Tentu tidak.
Paul
Dadaku berdegup makin kencang. Oh, apa tadi yang barusan di katakannya? Dia sudah cukup lama mengenalnya? Apakah mungkin…aku?
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kenyataan bahwa Cindy baru saja menyatakan ia menyukai seseorang yang sudah ia kenal lama membuatku hampir melonjak meskipun aku sendiri tidak yakin kalau ia sedang membicarakan diriku.
Tapi kau yakin itu kau? Memangnya cuma kau saja yang sudah ia kenal cukup lama? Dan lagi, ia tidak menyatakan seberapa lama ‘cukup lama’ itu, bukan? Bisa saja itu berarti sebulan, dua bulan… bukan belasan tahun. Lagipula ia akan mengatakan bahwa ia mengenal orang itu sudah sangat lama kalau begitu. Belasan tahun itu waktu yang sangat lama, bukan?
Kurang ajar. Pikiran logisku mengacau pikiran indahku barusan. Yang satu ini memang agak liar dan sulit di kendalikan. Aku menghembuskan nafas sebal. Tak bisakah kau, wahai pikiran, berhenti menjatuhkan angan-anganku sekali saja?
“Langsung saja Cindy, siapa dia?” Jonathan langsung menembak Cindy dengan pertanyaannya. Sahabatku itu memang seperti itu. Dalam kamusnya tidak ada basa-basi, apalagi ngalor-ngidul. Sekarang aku dapat menebak bahwa Jonathan sebenarnya ingin mengatakan “Langsung saja Cindy, tidak perlu bertele-tele. Katakan segera siapa orang itu, dan kita bisa mulai mengerjakan tugas kita yang seharusnya sedang kita kerjakan sekarang.” Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Cindy, yang juga sahabatnya.
Tanpa kuduga Cindy langsung salah tingkah. Oke ini tidak biasa. Biasanya dia akan mengangkat tangannya, meniupi kuku jarinya yang lentik, kemudian dengan bangga menyebutkan salah satu nama cowok-cowok yang populer, dan biasanya, tidak sampai seminggu kemudian ia akan datang ke kami menggandeng dayangnya itu untuk mengenalkannya kepada kami sebagai pacarnya.
Cindy memang hampir selalu mendapatkan apa yang di inginkannya, termasuk dalam hal memilih cowok. Tentu saja, dengan bermodal muka cantik dan prestasi akademik dan non akademik yang membanggakan, hanya cowok gila atau homo yang tidak mau menjadi pacarnya.
Memikirkan semua mantan Cindy membuatku merinding. Mereka semua tampan, kaya, dan populer. Sedangkan aku? Aku memang tampan, pintar, dan populer di mata cewek-cewek di sekolahan, namun Cindy tak pernah membuatku merasa tampan. Pintar? Cindy selalu menduduki ranking diatasku. Populer? Cindy sepertinya tidak peduli berapa ratus pernyataan cinta yang kutolak demi dirinya.
“Cindy? Jadi siapa orang itu?” Aku berusaha terlihat biasa saja saat melontarkan pertanyaan itu meskipun sebenarnya jantungku seperti mau pecah. Oh, okelah, cinta bisa membuatmu hiperbolis.
“Ayo katakan.” Jonathan kemudian menggeser bokongnya mendekat pada Cindy, kemudian merangkulnya. Sesuatu yang sebenarnya sering aku dan Jonathan lakukan pada Cindy, namun entah mengapa kali ini kulihat reaksi aneh pada Cindy.
“Ehm, ya, seperti yang kukatakan tadi. Dan juga..ia adalah orang yang dekat denganku, dan…aku sangat, sangat menyukai bagaimana ia memperlakukanku. Bukan sebagai ratu, tetapi sebagai sahabat yang baik.” Suara Cindy lebih pelan dari biasanya.
“Oke. Sekarang, siapa dia? Apa aku mengenalnya? Apakah itu..aku?” Jonathan tertawa kecil. Sekarang aku merasakan sesuatu yang tidak beres.
Cindy meremas pinggiran bantal yang ia pegang. Kemudian dengan senyum malu dan muka merah, ia mengangkat wajahnya dan menatap Jonathan, dengan pandangan yang sulit aku artikan.
Uh, oh. Jangan bilang dia yang kau maksud itu Jonathan, Cindy. Jangan.
Jonathan
Aku melepas rangkulan ku pada Cindy, lalu tertawa kecil.
“Aku hanya bercanda, Cindy. Jangan salah tingkah begitu dong. Jadi, siapa yang kamu maksud itu?” Aku tidak ingin memperburuk situasi. Oke. Aku tahu Cindy diam-diam menyukai aku, dan Paul diam-diam menyukai Cindy. Jangan tanya kenapa, yang jelas aku memang sedikit lebih peka terhadap hal-hal seperti itu.
Senyum Cindy tadi yang sempat mengembang, mengempis lagi. Mukanya perlahan-lahan berubah warna menjadi normal kembali, tidak semerah barusan.
“Kamu benar benar… tidak tahu?” Aku mendengar getaran rasa tak percaya di suaranya dan sesisip rasa kecewa.
Aku memang menyukai Cindy, tetapi murni hanya dalam konteks sahabat, karena aku memang tidak bisa mempunyai perasaan lebih padanya. Mungkin Cindy salah mengartikan perhatian ku selama ini kepadanya. Tsk.
“Tidak. Tentu tidak. Apa itu seseorang di antara kami?” kataku sambil memberikan mimik lucu. Aku melihat bahu Paul yang sempat merosot tadi menegang lagi.
Cindy terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan, seakan tidak yakin dengan jawabannya. “Tidak, bukan salah satu dari kalian.” Katanya pada akhirnya, dengan desah nafas yang berusaha disembunyikan olehnya. Dari ekor mataku aku melihat bahu Paul merosot lagi.
“Baiklah, jadi kamu tidak ingin memberitahu kami?” Aku menggeser lagi bokongku ke samping Paul, dan merangkulnya. Setengah mati berusaha kusembunyikan degupan jantungku yang tiba-tiba memutuskan untuk berdansa dengan irama cha-cha. Aku tidak merasakan ada reaksi dari Paul sedikitpun. Aku rasa dia terlalu syok. Dengan lembut ku usap-usap bahunya. Sial, malah aku yang bergetar.
Cindy menggeleng. “Tidak. Aku rasa tidak penting. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita. Aku harus pulang lebih cepat.” Cindy bangkit dari duduknya, menuju meja belajar Paul, meraih tas sekolahnya dan mengeluarkan bukunya. Paul ikut bangkit, dan dengan tidak rela aku melepaskan rangkulanku padanya.
Aku mendesah lagi. Aku tidak ingin Paul pergi. Posisi tadi sudah pas, tak bolehkah aku merasakannya lebih lama lagi? tanyaku kepada diri sendiri. Aku menatap punggung Paul yang melangkah maju mendekati meja. Begitu kokoh, begitu indah…. Mungkin memang sulit bagiku untuk bahagia. Tapi, bisa berada sedekat ini dengan Paul dan tidak merasakan penolakan darinya rasanya sudah cukup buatku sekarang. Ya, setidaknya sebelum dia tahu aku yang sebenarnya dan bagaimana sesungguhnya perasaanku terhadapnya, aku rasa aku aman.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar