“Kau tau tetanggamu itu?”
“Si bapak tua itu? Dia cuma bilang namanya Dion.”
“Kau tak merasa dia aneh? Kemarin kulihat dia berbicara
dengan kembang di belakang halaman rumahnya.”
Kopi yang masih mengepul itu diseruputnya dengan semangat. Asap
rokoknya melebur bersama kepulan tersebut, berbaur dengan udara subuh nyaris
pagi.
“Masa? Apa yang dia katakan?”
“Tidak terlalu jelas. Aku hanya menangkap sekilas kata-kata
cantik...muda...selebihnya tidak kudengar gumamannya.”
“Mungkin dia hanya sekedar mengagumi bunga-bunga itu.”
Ditariknya sarungnya merapat ke tubuhnya. Udara subuh tidak
bersahabat pagi ini. Ralat, udara subuh memang tidak pernah bersahabat.
“Dia pindahan dari mana katamu?”
“Dari Jakarta. Menurut perbincangan ibu-ibu, istrinya
meninggal saat mereka baru saja menikah, dan sejak itu dia tak pernah menikah
lagi. Istri saya sampai bertanya, apa saya akan menikah lagi kalau dia mati.” Disulutnya
rokok keempat subuh ini, dan menarik nafasnya dalam-dalam.
“Wah, dia bisa jadi idola baru ibu-ibu kampung ini. Apalagi katanya
dia mantan preman yang bertobat, fisiknya masih pula bagus. Dengar-dengarpun,
sebenarnya dia itu kekayaannya membanjir. Tak tahu mengapa dia pindah ke dusun
miskin ini.”
“Untung saja dia sudah tua....kalau tidak, anak-anak gadis
kita bisa-bisa satu persatu di pingitnya.”
“Halah, kalau benar kaya begitu, apa kau sebagai bapak akan
menolak?”
Tawa mereka pecah, menyambut pagi yang terbit.
*******
“Mas, tadi pagi aku mendengar ibu-ibu di pasar membahas kamu,
masa.”
Kutolehkan kepalaku kearahnya, melepaskan pandanganku dari
koran pagi hari ini, dan tersenyum simpul.
“Memangnya apa yang mereka katakan?”
“Masa kata mereka kamu tampan, mas. Sementara aku ada disitu,
berdiri di belakang mereka. Mereka nggak sadar apa?”
Kuseruput kopiku dalam diam, menunggu apa yang akan dia
katakan selanjutnya.
“Mas...”
“Hmm..?”
“Aku cemburu. Mas gak tahu apa?”
Tawaku meledak diiringi tatapan bingungnya yang dalam waktu
singkat berubah menjadi pandangan dongkol.
“Kamu itu lucu..” tarikan nafas, “kenapa harus cemburu sih? Harusnya
kamu itu bangga suamimu dikatain cakep sama ibu-ibu kampung. Kok malah dongkol
begitu. Ayo senyum dong cantik, biar tetap awet muda.”
“ Tapi aku tetep gak suka mas, mereka ngomong begitu di depan
aku, seolah-olah aku gak ada, gak keliatan. Jangan-jangan mereka gak tahu kamu
punya istri dan gak tahu kalau aku ini istrimu mas?”
Aku menatapnya dalam diam, mengukur apa aku cukup tega untuk
membiarkannya terluka lagi, seperti dulu. Seperti saat itu.
“Mas, aku tahu cinta
saja gak akan cukup. Kita harus berusaha. Aku akan cari kerjaan mas. Biar kelak
kita bisa hidup bahagia.”
“Mas?”
Aku mendesah dan mengacak-acak rambutnya yang di sanggul rapi
sambil menyunggingkan senyum kecil.
“Tau lah. Mereka pasti tahu. Mereka harusnya tahu...”
“Mas, aku ini sudah
resmi istrimu. Tak tega aku lihat kamu kerja banting tulang tapi aku diam saja.”
“Mas, apa perlu kita ikrarkan janji sehidup semati kita
sekali lagi di depan orang-orang kampung ini supaya mereka tau bahwa kamu hanya
milikku dan aku hanya milikku?
“Buat apa, sayang? Kita selalu tahu bahwa kita saling
mencintai. Untuk apa ambil pusing pikiran orang? Bahkan maut sendiri takut
memisahkan kita, sayang.”
“Mas, matipun aku rela
untukmu. Karena aku tahu, kematianpun tak akan memisahkan kita.”
Ia tersenyum.
Begitu sempurna kau
tercipta, sayang. Bodoh sekali dulu kau kusia-siakan.
“Sudah, lain kali hiraukan saja. Atau bila perlu, hampiri dan
katakan bahwa kau istriku, untuk selama-lamanya. Selesai perkara.”
Ia terdiam sejenak, seakan mengingat sesuatu. Tak lama,
senyum kembali terukir di bibirnya yang pucat. Selalu, tetap selalu indah
bagiku.
“Ya sudah, aku masak dulu untuk makan siang ya. Baca koranmu
boleh diterusin mas.”
Dia mengecup dahiku lembut. Dadaku mencelos ketika yang
kurasakan hanya angin dingin.
Dia bangkit menatapku, dan kuberikan senyum terbaik yang bisa
kubuat. Selalu, tetap selalu saat-saat seperti ini yang sungguh membuatku mati
suri.
Kupandangi punggungnya yang ringkih berjalan menjauhiku, berharap
dia takkan kembali, namun pada saat yang sama berharap dia akan datang untuk merengkuhku
lagi.
****
“Eh, kau tahu tidak, ternyata dulu istri pak Dion itu
meninggal gara-gara dibunuh!”
“Hah? Malang sekali nasibnya. Kok bisa?”
“Iya, jadi ternyata dulu mereka berdua itu miskin sekali,
sampai makanpun nyaris dua hari sekali. Tapi, karena mereka katanya saling cinta,
jadi mereka tetap menikah.”
“Tololnya! mereka kira kenyang makan cinta?”
“Belum selesai, belum selesai. Setelah menikah, si istri itu
memutuskan untuk bekerja. Dan kau tahu? Karena kepepet terlibat hutang, dia
membiarkan istrinya itu melacur! Masyaallah! Gilakah dia?”
“Astagfirullah! Terus, bagaimana akhirnya dia bisa terbunuh?”
“Dia disekap seorang pelanggannya dan disiksa sampai mati! Kau
tahu! Kejamnya dunia ini! Hati-hatilah kau jaga anak gadismu, jangan sampai kau
nikahkan dia dengan orang yang salah macam dia itu.”
“Wah gila. Terus, kenapa si gila itu tidak menikah lagi?”
“Katanya setelah istrinya itu mati, dia bertobat, tak lagi
hutang sana-sini dan bekerja giat, hingga bisa hidup makmur. Lagipula,
tanggungannya hanya dirinya seorang. Ibu-bapaknya pun tak jelas sudah kemana,
adik-kakak tak punya.”
“Kasian sekali. Mungkin saja istrinya itu melacur bukan
keinginan suaminya itu. Pasti selama ini dia masih dibayangi perasaan bersalah,
sampai-sampai otaknya sedikit geser.”
“Geser bagaimana bu?”
“Itu, kau tak dengar kabar yang menyebar di kalangan
bapak-bapak yang sering ronda kalau dia pernah tertangkap basah bicara sendiri?”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar