“Bodoh!”
“Kau tidak
mengerti!”
“Aku
mengerti! Kau yang tidak!”
Diam.
“Kau tahu aku
mencintainya?”
Ia
mengangguk. Rambutnya tergerai lepas ke bahunya.
“Dan kau tahu
aku sudah banyak berkorban untukmu? Aku bahkan membiarkan dia mencintaimu!”
“Tapi aku
hanya mencintaimu!”
“Tolol! Kau
tidak mengerti? Dia mencintaimu setengah mati!”
“Aku tahu!
Aku hanya tidak bisa membalas cintanya.” Ia menghela nafas.”aku mencintaimu.”
Dengan
frustasi ia menjambak rambutnya.
“Argh! Kau
benar-benar tak tahu apa yang kau sia-siakan!”
“Cintailah
aku seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon. Cobalah.” Air mata mulai mengalir
di pipinya yang kemerahan.
“Tidak!
Karena kau sudah mengatakan bahwa kau tidak mencintainya, aku akan mengambilnya
darimu.”
“Jangan!
Tetaplah denganku!”
“Lepaskan
aku!”
“Tolonglah…Aku
mencintaimu. Sepenuh hati. Segenap jiwa!”
“Kau tidak
punya hati! Kau bahkan memakai jiwaku!” tudingnya. Menunjuk dengan ganas.
Ia merosot ke
lantai dan terisak.
“Aku
mencintaimu! Tetaplah denganku, jadilah seperti dulu!”lolongnya. Suaranya
membuat perih dan menyakitkan jiwa.
“Kau!” ia
menunjuk tepat tulang hidungku. “Kau merebut dia dariku! Lebih baik mati saja
kau!”
Ia merangsek
maju dan meraih sebilah pisau dari atas mejanya yang keropos.
“TIDAK! Kau
yang mati!”. Ia melompat dan menerjang.
“Lepaskan!
Kita baik-baik saja sebelum ia datang! Ia ingin mengubah semuanya!”
“Kau gila!”
Ia mencakar kesana kemari.
“Cintailah
aku!” raungnya.
“Tidak ! Aku
mencintainya!”
“Ia ingin
mengubahmu! Lihatlah kau sekarang! Kau hanya terpesona sesaat! Kau berubah
karenanya! Aku tidak suka itu! Kau hanya milikku!”
Nafasnya
terengah-engah ketika ia menggerakan tenaganya untuk bertahan dan mendorong.
“Aku akan
membunuhnya!” dengan sekali sentakan ia berdiri tegak dan mengacungkan pisaunya
di atas kepalaku.
“JANGAN!” Ia
menerjang, aku menghindar. Ia terjatuh, dan terkapar di lantai; tak bergerak.
Pisau menembus tepat di ulu hatinya.
*# * #*
Dia gila;
jelas-jelas gila. Aku menghembuskan
nafas terburu-buru, mencoba tenang. Bulir-bulir keringat mengucur di seluruh
tubuhku, seakan-akan pori-pori kulitku berdiameter satu senti. Aku mengerjap beberapa kali dan menyadari
bahwa isi perutku ingin keluar. Aku menendang dengan liar, mencoba mengendurkan
ikatan di kakiku. Tanganku terikat erat di belakang badanku dan sebuah plester
berbau ban karet menempel di sekliling mulutku, menahan bibirku dari
jeritan-jeritan yang sebenarnya tanpa di tutup seperti ini pun akan sulit
keluar.
Aku
mengedarkan pandangan, mencari apapun yang bisa mengeluarkan atau setidaknya
melepaskan aku sekarang. Mataku tertumbuk pada sesosok tubuh itu di lantai dan
kembali merasakan isi perutku bergejolak.
Namanya
Stefani; setidaknya itu yang kutahu. Aku pikir ia manis, dapat di andalkan dan
satu-satunya wanita yang mau menuruti apapun kataku. Aku pikir aku
mencintainya; aku sempat menciumnya beberapa kali di bibir. Tapi memikirnya
sekarang menghentakkan rasa muak tak terkira ke ujung-ujung syarafku.
Aku rasa aku
mulai tak sadarkan diri semenjak dari bar yang biasa kami kunjungi. Terakhir
kali aku melihat wajah inosennya menatapku ketika aku menghabiskan gelas
terakhir long-islandku; sebelum aku menyadari dia tidak minum apa-apa seperti
biasanya, hanya segelas minuman bersoda. Aku terbangun ketika aku mendengar
suara ribut-ribut tadi; dua orang wanita yang cekcok, atau setidaknya aku pikir
begitu; dengan tangan terikat di belakang badanku dan simpul di kakiku.
Aku tersadar
dengan leher pegal; terlalu lama menunduk; dan ketika aku mendongak untuk
melihat siapa yang sedang adu mulut itu, aku terdiam. Itu bukan dua, tapi satu.
Stefani.
Stefaniku yang berbicara. Sendiri.
Dengan dua suara yang berbeda.
Dia gila;
jelas-jelas gila.
Ia mengamuk
dan menjambaki rambutnya sendiri. Memaki-maki. Menunjukku. Menangis dan
mengamuk pada saat yang bersamaan. Menyerangku, dan hampir membunuhku.
Menerjang hingga dia sendiri yang jatuh menimpa pisau yang tegak lurus tubuhnya
sekarang; tertancap.
Aku menyeret
bokongku mendekatinya, mencoba memotong tali di tanganku. Bau anyir darah
menusuk; bercampur bau pengap. Aku perkirakan ini kamarnya. Kasurnya terparkir
di ujung ruangan, kusam, lecek, dan kekuningan. Lampu pijar menyala di atasnya,
satu-satunya penerangan di ruangan ini. Aku menutup mata dan menggesekkan
taliku ke pisaunya, mencoba bertahan untuk tidak muntah.
Tali itu
akhirnya putus. Dengan segera aku melepas plester dan mengeluarkan isi
lambungku hingga habis. Aku melihat lagi tubuh itu, lalu muntah lagi hingga
yang keluar hanya cairan kuning yang berbau asam dan menjijikkan. Nafasku menderu dan buru-buru aku melepas
ikatan di kakiku dan berdiri. Aku terjatuh dan mencoba berdiri lagi. Kaki
kiriku mati rasa. Tapi aku berhasil berdiri dan menyeret kakiku menuju
satu-satunya pintu yang berada di sana. Aku menarik nafas dan meraih kenopnya.
Terkunci.
Aku mencoba lagi
dan menekan kenopnya, memutarnya ke kanan. Tidak bergeming. Aku mencoba lagi
dan menendang pintu itu. Rupanya di ruangan yang membusuk ini, pintu itu masih
terlalu kokoh. Aku merosot di depan pintu dan mengerjapkan mataku. Panas. Aku
rasa aku menangis. Bahuku bergetar dan kakiku lemas tanpa bisa ku cegah.
Aku takut.
Aku hampir
saja mati. Hampir.
Aku melipat
kakiku. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa dingin. Aku memutar badan dan kembli
menatap tubuh itu. Aku muntah lagi. Bau asam menguar di udara bercampur anyir
darah dan pengap ruangan.
Aku menyeret
kakiku yang lemas ke arah Stefani dan membalikkan badannya. Matanya terpejam
dan bibirnya membiru.
Stefaniku
telah mati.
Stefaniku
yang mencintai dirinya sendiri.
Stefaniku
yang mencintai aku.
Stefani yang
tidak ingin berubah demi aku.
Stefani yang
rela dibentuk olehku.
Entah
kekuatan apa yang membuatku menarik pisau itu dan melemparnya ke belakangku.
Bagaimanapun,
aku pernah mencintainya. Entah dia yang mana.
Kuulurkan
tanganku yang bergetar dan mengelus pipinya.
Aku menutup
mataku dan membiarkan airmataku mengalir turun.
Aku membuka
mata. Mata Stefani terbuka, menyambutku.
Aku terlompat
ke belakang. Nafas Stefani menderu dan ia bangkit seperti tak terjadi apapun
pada tubuhnya.
“Kau..”tudingnya.
“harus mati.”
Ia menerjang
dan mencekik leherku. Aku melawan. Entah aku yang lemas atau Stefani yang
terlalu kuat, aku bagaikan kucing yang dijepit anjing.
Pandanganku
menggelap. Satu hal yang terakhir ku ingat adalah pandangan Stefaniku yang
mengerikan. Stefaniku yang sudah gila…
*#*#*
Aku tidak
boleh menyerah, enak saja. Stefani tentu tidak mengira bahwa aku bisa melakukan
hal yang sama seperti yang ia lakukan. Aku melawan dan menendang perutnya
dengan cukup keras hingga ia melepaskan cekikannya.
Stefani
mendelik tak percaya dan menatapku. Dengan wajah yang tadinya sudah membiru,
dia pasti tidak menyangka aku bisa menendang seperti barusan.
“Kau…”
Desisnya tak percaya.
Aku meludah
dan mengusap ujung bibirku.
Dengan
sedikit menyeringai aku menikmati wajahnya yang ketakutan. Dengan gerakan lambat ia mundur perlahan dan
menempel di dinding. Aku meraih pisau yang tadinya menancap di tubuhnya dan
menimang-nimangnya di tanganku. Stefani mengerut di depanku.
Aku tersenyum
dan mengayunkan tanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar