Jadilah
kekasihku, wahai dikau yang cantik bukan kepalang.
Bulan takut kau saingi, matahari
takut sinarnya kau tandingi.
Apa yang kau harapkan dari
lelaki? Aku bisa memberikan semuanya. Semua. Harta, tahta, pelukan yang hangat
di malam yang dingin, rumah dengan perapian? Pesiar ke negara tetangga, atau
inginkah kau menjenguk planet nun jauh di sana?
Sayang, jadilah kekasihku.
Matamu, sinarnya yang indah,
bolehkah kuabadikan? Kalau perlu di wadah kaca yang indah itu, yang tetap tak seindah
senyummu.
Rambutmu, helaian-helaian yang
selalu aku punguti tiap satu jatuh dari pundakmu. Aku simpan; harta berharga. Jangan
kau buang apapun, sayang. Terlalu indah.
Senyummu, tujukanlah hanya
untukku. Hanya aku yang pantas kau berikan. Jangan tersenyum pada pria lain,
aku benci itu. Kau tak mau aku cemburu, kan?
Katakanlah apa yang kau mau.
Cantumkanlah aku. Jadikanlah aku kekasihmu dan dapatkan semua yang kau mau. Kau
takkan menyesal. Kau tak akan lagi kesepian, aku akan selalu ada. Disisimu,
didepanmu, dibelakangmu, di sudut-sudut gelapmu, agar kau aman.
Jangan ragukan aku; aku tahu,
akan selalu tahu apa yang kau mau. Selalu, tanpa kau beri tahu, aku akan
mencari tahu. Aku selalu memperhatikanmu, kau tahu?
Jangan menangis sayang, dicintai
memang indah, namun dirimu tetap yang paling indah. Kemarilah, menarilah
denganku. Apa? Kau terikat sesuatu? Kemarilah, akan aku lepaskan ikatan itu dan
mengikatkan dirimu padaku. Kita tidak boleh terpisahkan, bukan?
Dengan begini, maukah kau
jadikan aku kekasihmu? Ayolah sayang, jangan melawan. Hiduplah bersamaku,
seminggu saja, kujadikan kau ratu, sementara kau jadikan aku rajamu.
Jangan berteriak sayang, terima
saja.
Jadikan aku kekasihmu.
*****
“Kau diam saja. Masihkah kau marah
sayang?”
Perempuan itu tidak menjawab, terhalang
tali yang melingkari mulutnya. Air matanya kering di pipi, keringat membusuk di
lehernya yang lelah mencoba berteriak. Dia hanya menatap tajam lelaki itu yang
sedari tadi mencoba mengelap tubuhnya yang dibungkus kain sisa pakaiannya. Kakinya
yang bebas menendang-nendang udara.
Kalau saja bisa, perempuan itu ingin
membunuh lelaki itu. Atau membunuh dirinya sendiri saja. Dua pilihan tersebut
terasa lebih melegakan dibanding saat ini.
“Jangan berontak seperti itu, sayang. Kau
harus mandi dulu. Apa yang lebih romantis dari seorang lelaki yang memandikan
kekasihnya?”
Kembali lelaki itu mencoba membungkuk
dan membasuh kakinya.
Perempuan itu menendang lagi, kali ini
tepat mengenai selangkangannya.
Lelaki itu terdiam, wajahnya datar. Rasa
sakit seperti tidak tertera dalam kamusnya. Giliran lelaki itu yang kini
menatap tajam.
Rasa sakit yang tajam menusuk, pipi
yang memerah akibat tamparan untuk yang kesekian kali tidak lagi membuat
perempuan itu menangis.
“Kau, gadis nakal! Untung saja aku
mencintaimu....kalau tidak, nasibmu akan sama seperti lelaki terkutuk itu yang
mengaku sebagai kekasihmu.” Ia tertawa seperti maniak.
“Kau kira, siapa yang mengirimimu
bunga-bunga itu? Lelaki pengecut itu? Aduh sayang, dia hanya pengecut yang
hanya bisa mengklaim hasil kerja orang lain! Siapa yang mengawasimu tiap kau
berjalan sendirian? Aku! Siapa yang mematahkan leher laki-laki yang mencoba
merampokmu? Aku! Lihat, aku selalu ada kan! Bahkan saat kau menangis karena
pembeli bangsat itu menghina daganganmu, siapa yang membuatnya menyesal? Aku!”
Perempuan itu menangis lagi. Kali ini
bukan karena sakit fisiknya.
“Kekasihmu? Mana kekasihmu itu? Oh ya,
aku lupa dia sudah terkubur di halaman belakang.”
Ia tertawa lagi, lebih keras. Gaungnya tersisa
di pojok-pojok ruangan, mencekam jiwa siapapun yang mendengar.
Perempuan itu menelan airmatanya tak
lagi asin. Ia tak lagi mengharap bantuan. Mati saja lebih baik.
“Bicara, sayang. Bicara!”
Gadis itu menatap nanar. Dengan seringai,
lelaki itu mengambil pisau dan mengacungkannya tepat di wajah gadis itu.
Gadis itu tidak bereaksi. Mati rasa. Mati
raga.
Lelaki itu mengatup seringainya dan
memotong tali yang melingkari mulut gadis itu.
“Kau
bangsat!” diludahinya lelaki itu.
“Wah, aku suka perempuan garang. Kau bahkan
lebih garang dari lelakimu itu. Tahu tidak? Dia menangis memohon ketika aku akan
memotong telinganya yang tidak pernah mendengarkanmu.”
“Dimana suamiku?” teriaknya.
“Mati!”
“Bohong. Kau bohong! Dasar kau lelaki
gila! lepaskan aku!”
“Jangan berontak!” Suaranya panik,
menahan diri, menggeram kesal. Dijambaknya rambutnya sambil berkeliling
ruangan. “Diam! Diam! Atau harus kau mati baru aku bisa memilikimu?”
“Kau tidak akan pernah memiliki aku! Bunuh
saja aku!”
“Argh! Diam!” Lelaki itu mengayunkan
pisaunya. Pintu didobrak terbuka.
****
Aku tidak
tahu sejak kapan, tapi sekarang Dion jadi rajin sekali bekerja. Aku senang dia
berusaha, tapi apa harus aku ditinggal sendiri di rumah terus?
Tiap pulang
dan kuajak bercengkrama, dia hanya tersenyum lelah dan jatuh tertidur. Seringkali
aku ingin menegurnya, namun aku tidak bisa berbuat banyak karena hasil kerjanya
terlihat. Kami hidup lebih baik, tidak lagi makan dua hari sekali. Bahkan kini,
harta kami berlimpah.
Aku bahagia. Dion
memang tidak lagi seromantis dulu, namun ia tetap manis dan mencintai aku. Meskipun
kami sudah kaya, dia tidak pernah menyentuh wanita lain selain diriku.
Aku sangat,
sangat mencintainya, meskipun aku sering dibuat bingung dengan tingkah lakunya.
Seperti saat dia tiba-tiba memutuskan untuk pindah ke sebuah desa kecil, yang
dia katakan sebagai desa kelahirannya, tanpa alasan yang jelas.
Kita sudah
punya banyak harta, katanya. Aku lelah dengan hiruk-pikuk kota, katanya.
Aku menurut
saja. Toh, tinggal di desa tidak seburuk itu. Namun satu yang mengganggu
pikiranku. Ibu-ibu itu. Ya. Beraninya mereka menggunjingkan suamiku di depanku.
Suamiku mantan premanlah, nggak tau diri lah, kasian istrinya lah. Padahal aku
disini hidup bahagia, tanpa perlu dikasihani.
Hal tersebut
terngiang-ngiang di kepalaku, sampai suatu saat aku tidak tahan dan
mengatakannya pada suamiku.
“Sudah, lain kali hiraukan
saja. Atau bila perlu, hampiri dan katakan bahwa kau istriku, untuk
selama-lamanya. Selesai perkara.”
Senyumnya yang teduh
membuatku tiba-tiba rindu. Heran, mengapa aku merindukan seseorang yang
nyata-nyatanya terus berada disisiku setiap waktu? Seakan ada penghalang
diantara kami....ah tidak, hanya perasaanku saja.
Yang jelas, yang aku tahu,
aku mencintainya. Selalu, selamanya. Bahkan maut tak akan memisahkan kami. Aku
yakin itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar