Sabtu, 26 Oktober 2013

Maut Memang Tak Mampu, Sayang. (Terinspirasi dari JB- Boyfriend)

 Jadilah kekasihku, wahai dikau yang cantik bukan kepalang.
Bulan takut kau saingi, matahari takut sinarnya kau tandingi.
Apa yang kau harapkan dari lelaki? Aku bisa memberikan semuanya. Semua. Harta, tahta, pelukan yang hangat di malam yang dingin, rumah dengan perapian? Pesiar ke negara tetangga, atau inginkah kau menjenguk planet nun jauh di sana?
Sayang, jadilah kekasihku.
Matamu, sinarnya yang indah, bolehkah kuabadikan? Kalau perlu di wadah kaca yang indah itu, yang tetap tak seindah senyummu.
Rambutmu, helaian-helaian yang selalu aku punguti tiap satu jatuh dari pundakmu. Aku simpan; harta berharga. Jangan kau buang apapun, sayang. Terlalu indah.
Senyummu, tujukanlah hanya untukku. Hanya aku yang pantas kau berikan. Jangan tersenyum pada pria lain, aku benci itu. Kau tak mau aku cemburu, kan?
Katakanlah apa yang kau mau. Cantumkanlah aku. Jadikanlah aku kekasihmu dan dapatkan semua yang kau mau. Kau takkan menyesal. Kau tak akan lagi kesepian, aku akan selalu ada. Disisimu, didepanmu, dibelakangmu, di sudut-sudut gelapmu, agar kau aman.
Jangan ragukan aku; aku tahu, akan selalu tahu apa yang kau mau. Selalu, tanpa kau beri tahu, aku akan mencari tahu. Aku selalu memperhatikanmu, kau tahu?
Jangan menangis sayang, dicintai memang indah, namun dirimu tetap yang paling indah. Kemarilah, menarilah denganku. Apa? Kau terikat sesuatu? Kemarilah, akan aku lepaskan ikatan itu dan mengikatkan dirimu padaku. Kita tidak boleh terpisahkan, bukan?
Dengan begini, maukah kau jadikan aku kekasihmu? Ayolah sayang, jangan melawan. Hiduplah bersamaku, seminggu saja, kujadikan kau ratu, sementara kau jadikan aku rajamu.
Jangan berteriak sayang, terima saja.
Jadikan aku kekasihmu.
*****

“Kau diam saja. Masihkah kau marah sayang?”
Perempuan itu tidak menjawab, terhalang tali yang melingkari mulutnya. Air matanya kering di pipi, keringat membusuk di lehernya yang lelah mencoba berteriak. Dia hanya menatap tajam lelaki itu yang sedari tadi mencoba mengelap tubuhnya yang dibungkus kain sisa pakaiannya. Kakinya yang bebas menendang-nendang udara.
Kalau saja bisa, perempuan itu ingin membunuh lelaki itu. Atau membunuh dirinya sendiri saja. Dua pilihan tersebut terasa lebih melegakan dibanding saat ini.
“Jangan berontak seperti itu, sayang. Kau harus mandi dulu. Apa yang lebih romantis dari seorang lelaki yang memandikan kekasihnya?”
Kembali lelaki itu mencoba membungkuk dan membasuh kakinya.
Perempuan itu menendang lagi, kali ini tepat mengenai selangkangannya.
Lelaki itu terdiam, wajahnya datar. Rasa sakit seperti tidak tertera dalam kamusnya. Giliran lelaki itu yang kini menatap tajam.
Rasa sakit yang tajam menusuk, pipi yang memerah akibat tamparan untuk yang kesekian kali tidak lagi membuat perempuan itu menangis.
“Kau, gadis nakal! Untung saja aku mencintaimu....kalau tidak, nasibmu akan sama seperti lelaki terkutuk itu yang mengaku sebagai kekasihmu.” Ia tertawa seperti maniak.
“Kau kira, siapa yang mengirimimu bunga-bunga itu? Lelaki pengecut itu? Aduh sayang, dia hanya pengecut yang hanya bisa mengklaim hasil kerja orang lain! Siapa yang mengawasimu tiap kau berjalan sendirian? Aku! Siapa yang mematahkan leher laki-laki yang mencoba merampokmu? Aku! Lihat, aku selalu ada kan! Bahkan saat kau menangis karena pembeli bangsat itu menghina daganganmu, siapa yang membuatnya menyesal? Aku!”
Perempuan itu menangis lagi. Kali ini bukan karena sakit fisiknya.
“Kekasihmu? Mana kekasihmu itu? Oh ya, aku lupa dia sudah terkubur di halaman belakang.”
Ia tertawa lagi, lebih keras. Gaungnya tersisa di pojok-pojok ruangan, mencekam jiwa siapapun yang mendengar.
Perempuan itu menelan airmatanya tak lagi asin. Ia tak lagi mengharap bantuan. Mati saja lebih baik.
“Bicara, sayang. Bicara!”
Gadis itu menatap nanar. Dengan seringai, lelaki itu mengambil pisau dan mengacungkannya tepat di wajah gadis itu.
Gadis itu tidak bereaksi. Mati rasa. Mati raga.
Lelaki itu mengatup seringainya dan memotong tali yang melingkari mulut gadis itu.
 “Kau bangsat!” diludahinya lelaki itu.
“Wah, aku suka perempuan garang. Kau bahkan lebih garang dari lelakimu itu. Tahu tidak? Dia menangis memohon ketika aku akan memotong telinganya yang tidak pernah mendengarkanmu.”
“Dimana suamiku?” teriaknya.
“Mati!”
“Bohong. Kau bohong! Dasar kau lelaki gila! lepaskan aku!”
“Jangan berontak!” Suaranya panik, menahan diri, menggeram kesal. Dijambaknya rambutnya sambil berkeliling ruangan. “Diam! Diam! Atau harus kau mati baru aku bisa memilikimu?”
“Kau tidak akan pernah memiliki aku! Bunuh saja aku!”
“Argh! Diam!” Lelaki itu mengayunkan pisaunya. Pintu didobrak terbuka.
****
Aku tidak tahu sejak kapan, tapi sekarang Dion jadi rajin sekali bekerja. Aku senang dia berusaha, tapi apa harus aku ditinggal sendiri di rumah terus?
Tiap pulang dan kuajak bercengkrama, dia hanya tersenyum lelah dan jatuh tertidur. Seringkali aku ingin menegurnya, namun aku tidak bisa berbuat banyak karena hasil kerjanya terlihat. Kami hidup lebih baik, tidak lagi makan dua hari sekali. Bahkan kini, harta kami berlimpah.
Aku bahagia. Dion memang tidak lagi seromantis dulu, namun ia tetap manis dan mencintai aku. Meskipun kami sudah kaya, dia tidak pernah menyentuh wanita lain selain diriku.
Aku sangat, sangat mencintainya, meskipun aku sering dibuat bingung dengan tingkah lakunya. Seperti saat dia tiba-tiba memutuskan untuk pindah ke sebuah desa kecil, yang dia katakan sebagai desa kelahirannya, tanpa alasan yang jelas.
Kita sudah punya banyak harta, katanya. Aku lelah dengan hiruk-pikuk kota, katanya.
Aku menurut saja. Toh, tinggal di desa tidak seburuk itu. Namun satu yang mengganggu pikiranku. Ibu-ibu itu. Ya. Beraninya mereka menggunjingkan suamiku di depanku. Suamiku mantan premanlah, nggak tau diri lah, kasian istrinya lah. Padahal aku disini hidup bahagia, tanpa perlu dikasihani.
Hal tersebut terngiang-ngiang di kepalaku, sampai suatu saat aku tidak tahan dan mengatakannya pada suamiku.
“Sudah, lain kali hiraukan saja. Atau bila perlu, hampiri dan katakan bahwa kau istriku, untuk selama-lamanya. Selesai perkara.”
Senyumnya yang teduh membuatku tiba-tiba rindu. Heran, mengapa aku merindukan seseorang yang nyata-nyatanya terus berada disisiku setiap waktu? Seakan ada penghalang diantara kami....ah tidak, hanya perasaanku saja.

Yang jelas, yang aku tahu, aku mencintainya. Selalu, selamanya. Bahkan maut tak akan memisahkan kami. Aku yakin itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar