Minggu, 17 November 2013

Sabarlah Tak Berujung. ( Terinspirasi dari lagu Sabar - Afgan)

               Aku membelai pipinya yang halus seperti pualam, tempat ciuman-ciuman yang sering tiba-tiba kuhujamkan dimana saja, kapan saja.  Kususuri rahang kokoh yang membarikade geligi rapih dan putihnya, yang menyinggungkan senyumnya yang biasanya mampu melunturkan semua emosi negatifku. Hidung laksana paruh elangnya menghembuskan nafasnya yang hangat di leherku. Kuletakkan kepalaku di dadanya yang bidang, kuciumi aroma tubuhnya, dan dengan egois mengharapkan keindahan ini boleh kubawa pulang.
            “Dala?”
            “Hmm?”
            Kuangkat kepalaku, kutatap matanya yang memabukkan.
            “Maaf.”
            Matanya menyipit.
            “Jangan sekarang, sayang. Kau tidak ingin merusak malam ini bukan?”
            Aku meringis. Ada sesuatu yang perih di dalam tubuhku. Menyiksa.
            “Mengapa kau menangis?”
            “Aku mungkin tidak hanya merusak malam ini, Dala. Aku merusak hidupmu.” Perih, perih. Sakit, tenggorokkanku sakit mengakui kenyataan yang terkutuk ini.
            Dala menarik nafas dan mengalihkan pandangan.
            “Dala....”
            Ia menangkup kepalaku, merangkul aku dalam pelukannya. Kembali dengan bodohnya aku bersandar di dadanya, berputar dalam keindahan yang, aku tahu, tak akan bisa bertahan lama.
            “Kau yang paling aku cinta. Hanya kau yang paling aku mau. Seribu kali kuulang, tak juga kah kau akan mengerti?”
            “Aku mengerti dal, aku mengerti...”  
            Dala menatapku dan menciumi pipiku, menelan air mataku. Mencintai aku.
             “Seandainya kita bertemu lebih cepat...”
Waktu, kau memang kurang ajar. Bermainkah kau?
Nasib, kau memang berengsek. Kenapa kau pertemukan kami?
Perasaan, kau memang bangsat. Perlukah kau timbul pada orang yang salah?
Semesta, semua salahmu.
“Sabar, sayang. Hanya sementara...” Dala melepaskan pandangannya dariku, menerawang jauh. Nada suaranya ragu.
Aku ingin menipu diriku sendiri. Ingin sekali. Menganggap semua baik-baik saja, mengakui pada dunia bahwa aku mencintai dan ingin memiliki orang yang salah, dan pada akhirnya mengunci Dala seutuhnya untukku sendiri. Sangat ingin, sampai-sampai ujung-ujung jariku sakit memikirkannya.
“Dala, jangan bohong. Kau tidak bisa melepas mereka, bodoh.” Aku tertawa getir. Kuusap air mataku dan menarik selimut, memutar badanku membelakanginya.
Kurasakan Dala menciumi punggungku, mengusap bahuku. Kurasakan punggungku basah.
“ Sampai kapan, Dal?” aku memutar kembali badanku menghadapnya dan mengusap air yang menggenang di pelupuk matanya.
Ia menggeleng, meraih tanganku dan menciuminya.
Ah, Dala.
“Kalau kau harus memilih; kalau aku menyuruhmu memilih, siapa yang akan kau pilih?”
Dala menatapku tepat di manik mata.
“Aku...”
Aku memeluknya erat, tidak membiarkannya menjawab. Aku takut.
Aku takut ia akan bilang bahwa ia tidak memilihku.
Lebih baik begini. Aku mencintainya, dia mencintaiku. Begitu saja, buatku sudah cukup. Cinta tidak harus memilikki, kan?

****
Dala melepaskan sentuhan tangannya dari tanganku dan turun dari mobil. Kupasang senyum palsu, yang karena seringnya kupakai, tidak ada yang tahu kalau itu palsu. Aku menyusulnya, menyamakan langkah dengan kakinya yang panjang.
Ia mengetuk pintu. Tak lama, Khalya membuka pintu dan melonjak girang.
“Papa sudah pulang!” Ia memeluknya erat. Dala tertawa dan mengacak rambut putrinya. Aku ikut tersenyum.
“Dala, kamu sudah pulang sayang!” Mereka berpelukan, Dala dan wanita itu. Dala dan istrinya. Ini bukan kali pertama aku bertemu mereka, dan kali ini hatiku bukan saja remuk, tapi tergerus dan tertiup angin.
“Hai, Yan! Apa kabar?” Intan mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. Ah, maafkan aku, Tan.
“Baik Tan, kamu gimana?”
“Baik dong, cuma kangen saja dengan Dala. Eh, ayo masuk yuk!”
Intan menggandeng Khalya masuk.
“Aku tidak sanggup, Dal. Bolehkah aku pulang sekarang?” bisikku, nyaris memohon. Bagaimanapun juga, aku tidak mampu menghadapi keluarga dari laki-laki yang kucintai. Tidak sekarang.
“Jangan, Yan. Masuklah.”
“Om Ryan, ayo masuk! Ngapain di sana?” Khalya menghampiriku dan menarik tanganku. Ia tertawa riang.
Aku menatap Dala dan mencoba tersenyum.
Perih, perih. Hatiku sakit.
Tidakkah kau rasakan itu, Dala?



****

Sabtu, 26 Oktober 2013

Maut Memang Tak Mampu, Sayang. (Terinspirasi dari JB- Boyfriend)

 Jadilah kekasihku, wahai dikau yang cantik bukan kepalang.
Bulan takut kau saingi, matahari takut sinarnya kau tandingi.
Apa yang kau harapkan dari lelaki? Aku bisa memberikan semuanya. Semua. Harta, tahta, pelukan yang hangat di malam yang dingin, rumah dengan perapian? Pesiar ke negara tetangga, atau inginkah kau menjenguk planet nun jauh di sana?
Sayang, jadilah kekasihku.
Matamu, sinarnya yang indah, bolehkah kuabadikan? Kalau perlu di wadah kaca yang indah itu, yang tetap tak seindah senyummu.
Rambutmu, helaian-helaian yang selalu aku punguti tiap satu jatuh dari pundakmu. Aku simpan; harta berharga. Jangan kau buang apapun, sayang. Terlalu indah.
Senyummu, tujukanlah hanya untukku. Hanya aku yang pantas kau berikan. Jangan tersenyum pada pria lain, aku benci itu. Kau tak mau aku cemburu, kan?
Katakanlah apa yang kau mau. Cantumkanlah aku. Jadikanlah aku kekasihmu dan dapatkan semua yang kau mau. Kau takkan menyesal. Kau tak akan lagi kesepian, aku akan selalu ada. Disisimu, didepanmu, dibelakangmu, di sudut-sudut gelapmu, agar kau aman.
Jangan ragukan aku; aku tahu, akan selalu tahu apa yang kau mau. Selalu, tanpa kau beri tahu, aku akan mencari tahu. Aku selalu memperhatikanmu, kau tahu?
Jangan menangis sayang, dicintai memang indah, namun dirimu tetap yang paling indah. Kemarilah, menarilah denganku. Apa? Kau terikat sesuatu? Kemarilah, akan aku lepaskan ikatan itu dan mengikatkan dirimu padaku. Kita tidak boleh terpisahkan, bukan?
Dengan begini, maukah kau jadikan aku kekasihmu? Ayolah sayang, jangan melawan. Hiduplah bersamaku, seminggu saja, kujadikan kau ratu, sementara kau jadikan aku rajamu.
Jangan berteriak sayang, terima saja.
Jadikan aku kekasihmu.
*****

“Kau diam saja. Masihkah kau marah sayang?”
Perempuan itu tidak menjawab, terhalang tali yang melingkari mulutnya. Air matanya kering di pipi, keringat membusuk di lehernya yang lelah mencoba berteriak. Dia hanya menatap tajam lelaki itu yang sedari tadi mencoba mengelap tubuhnya yang dibungkus kain sisa pakaiannya. Kakinya yang bebas menendang-nendang udara.
Kalau saja bisa, perempuan itu ingin membunuh lelaki itu. Atau membunuh dirinya sendiri saja. Dua pilihan tersebut terasa lebih melegakan dibanding saat ini.
“Jangan berontak seperti itu, sayang. Kau harus mandi dulu. Apa yang lebih romantis dari seorang lelaki yang memandikan kekasihnya?”
Kembali lelaki itu mencoba membungkuk dan membasuh kakinya.
Perempuan itu menendang lagi, kali ini tepat mengenai selangkangannya.
Lelaki itu terdiam, wajahnya datar. Rasa sakit seperti tidak tertera dalam kamusnya. Giliran lelaki itu yang kini menatap tajam.
Rasa sakit yang tajam menusuk, pipi yang memerah akibat tamparan untuk yang kesekian kali tidak lagi membuat perempuan itu menangis.
“Kau, gadis nakal! Untung saja aku mencintaimu....kalau tidak, nasibmu akan sama seperti lelaki terkutuk itu yang mengaku sebagai kekasihmu.” Ia tertawa seperti maniak.
“Kau kira, siapa yang mengirimimu bunga-bunga itu? Lelaki pengecut itu? Aduh sayang, dia hanya pengecut yang hanya bisa mengklaim hasil kerja orang lain! Siapa yang mengawasimu tiap kau berjalan sendirian? Aku! Siapa yang mematahkan leher laki-laki yang mencoba merampokmu? Aku! Lihat, aku selalu ada kan! Bahkan saat kau menangis karena pembeli bangsat itu menghina daganganmu, siapa yang membuatnya menyesal? Aku!”
Perempuan itu menangis lagi. Kali ini bukan karena sakit fisiknya.
“Kekasihmu? Mana kekasihmu itu? Oh ya, aku lupa dia sudah terkubur di halaman belakang.”
Ia tertawa lagi, lebih keras. Gaungnya tersisa di pojok-pojok ruangan, mencekam jiwa siapapun yang mendengar.
Perempuan itu menelan airmatanya tak lagi asin. Ia tak lagi mengharap bantuan. Mati saja lebih baik.
“Bicara, sayang. Bicara!”
Gadis itu menatap nanar. Dengan seringai, lelaki itu mengambil pisau dan mengacungkannya tepat di wajah gadis itu.
Gadis itu tidak bereaksi. Mati rasa. Mati raga.
Lelaki itu mengatup seringainya dan memotong tali yang melingkari mulut gadis itu.
 “Kau bangsat!” diludahinya lelaki itu.
“Wah, aku suka perempuan garang. Kau bahkan lebih garang dari lelakimu itu. Tahu tidak? Dia menangis memohon ketika aku akan memotong telinganya yang tidak pernah mendengarkanmu.”
“Dimana suamiku?” teriaknya.
“Mati!”
“Bohong. Kau bohong! Dasar kau lelaki gila! lepaskan aku!”
“Jangan berontak!” Suaranya panik, menahan diri, menggeram kesal. Dijambaknya rambutnya sambil berkeliling ruangan. “Diam! Diam! Atau harus kau mati baru aku bisa memilikimu?”
“Kau tidak akan pernah memiliki aku! Bunuh saja aku!”
“Argh! Diam!” Lelaki itu mengayunkan pisaunya. Pintu didobrak terbuka.
****
Aku tidak tahu sejak kapan, tapi sekarang Dion jadi rajin sekali bekerja. Aku senang dia berusaha, tapi apa harus aku ditinggal sendiri di rumah terus?
Tiap pulang dan kuajak bercengkrama, dia hanya tersenyum lelah dan jatuh tertidur. Seringkali aku ingin menegurnya, namun aku tidak bisa berbuat banyak karena hasil kerjanya terlihat. Kami hidup lebih baik, tidak lagi makan dua hari sekali. Bahkan kini, harta kami berlimpah.
Aku bahagia. Dion memang tidak lagi seromantis dulu, namun ia tetap manis dan mencintai aku. Meskipun kami sudah kaya, dia tidak pernah menyentuh wanita lain selain diriku.
Aku sangat, sangat mencintainya, meskipun aku sering dibuat bingung dengan tingkah lakunya. Seperti saat dia tiba-tiba memutuskan untuk pindah ke sebuah desa kecil, yang dia katakan sebagai desa kelahirannya, tanpa alasan yang jelas.
Kita sudah punya banyak harta, katanya. Aku lelah dengan hiruk-pikuk kota, katanya.
Aku menurut saja. Toh, tinggal di desa tidak seburuk itu. Namun satu yang mengganggu pikiranku. Ibu-ibu itu. Ya. Beraninya mereka menggunjingkan suamiku di depanku. Suamiku mantan premanlah, nggak tau diri lah, kasian istrinya lah. Padahal aku disini hidup bahagia, tanpa perlu dikasihani.
Hal tersebut terngiang-ngiang di kepalaku, sampai suatu saat aku tidak tahan dan mengatakannya pada suamiku.
“Sudah, lain kali hiraukan saja. Atau bila perlu, hampiri dan katakan bahwa kau istriku, untuk selama-lamanya. Selesai perkara.”
Senyumnya yang teduh membuatku tiba-tiba rindu. Heran, mengapa aku merindukan seseorang yang nyata-nyatanya terus berada disisiku setiap waktu? Seakan ada penghalang diantara kami....ah tidak, hanya perasaanku saja.

Yang jelas, yang aku tahu, aku mencintainya. Selalu, selamanya. Bahkan maut tak akan memisahkan kami. Aku yakin itu. 

Kamis, 03 Oktober 2013

Mautpun Tak Mampu, Sayang.

“Kau tau tetanggamu itu?”
“Si bapak tua itu? Dia cuma bilang namanya Dion.”
“Kau tak merasa dia aneh? Kemarin kulihat dia berbicara dengan kembang di belakang halaman rumahnya.”
Kopi yang masih mengepul itu diseruputnya dengan semangat. Asap rokoknya melebur bersama kepulan tersebut, berbaur dengan udara subuh nyaris pagi.
“Masa? Apa yang dia katakan?”
“Tidak terlalu jelas. Aku hanya menangkap sekilas kata-kata cantik...muda...selebihnya tidak kudengar gumamannya.”
“Mungkin dia hanya sekedar mengagumi bunga-bunga itu.”
Ditariknya sarungnya merapat ke tubuhnya. Udara subuh tidak bersahabat pagi ini. Ralat, udara subuh memang tidak pernah bersahabat.
“Dia pindahan dari mana katamu?”
“Dari Jakarta. Menurut perbincangan ibu-ibu, istrinya meninggal saat mereka baru saja menikah, dan sejak itu dia tak pernah menikah lagi. Istri saya sampai bertanya, apa saya akan menikah lagi kalau dia mati.” Disulutnya rokok keempat subuh ini, dan menarik nafasnya dalam-dalam.
“Wah, dia bisa jadi idola baru ibu-ibu kampung ini. Apalagi katanya dia mantan preman yang bertobat, fisiknya masih pula bagus. Dengar-dengarpun, sebenarnya dia itu kekayaannya membanjir. Tak tahu mengapa dia pindah ke dusun miskin ini.”
“Untung saja dia sudah tua....kalau tidak, anak-anak gadis kita bisa-bisa satu persatu di pingitnya.”
“Halah, kalau benar kaya begitu, apa kau sebagai bapak akan menolak?”
Tawa mereka pecah, menyambut pagi yang terbit.

*******

“Mas, tadi pagi aku mendengar ibu-ibu di pasar membahas kamu, masa.”
Kutolehkan kepalaku kearahnya, melepaskan pandanganku dari koran pagi hari ini, dan tersenyum simpul.
“Memangnya apa yang mereka katakan?”
“Masa kata mereka kamu tampan, mas. Sementara aku ada disitu, berdiri di belakang mereka. Mereka nggak sadar apa?”
Kuseruput kopiku dalam diam, menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Mas...”
“Hmm..?”
“Aku cemburu. Mas gak tahu apa?”
Tawaku meledak diiringi tatapan bingungnya yang dalam waktu singkat berubah menjadi pandangan dongkol.
“Kamu itu lucu..” tarikan nafas, “kenapa harus cemburu sih? Harusnya kamu itu bangga suamimu dikatain cakep sama ibu-ibu kampung. Kok malah dongkol begitu. Ayo senyum dong cantik, biar tetap awet muda.”
“ Tapi aku tetep gak suka mas, mereka ngomong begitu di depan aku, seolah-olah aku gak ada, gak keliatan. Jangan-jangan mereka gak tahu kamu punya istri dan gak tahu kalau aku ini istrimu mas?”
Aku menatapnya dalam diam, mengukur apa aku cukup tega untuk membiarkannya terluka lagi, seperti dulu. Seperti saat itu.
“Mas, aku tahu cinta saja gak akan cukup. Kita harus berusaha. Aku akan cari kerjaan mas. Biar kelak kita bisa hidup bahagia.”     
“Mas?”
Aku mendesah dan mengacak-acak rambutnya yang di sanggul rapi sambil menyunggingkan senyum kecil.
“Tau lah. Mereka pasti tahu. Mereka harusnya tahu...”
“Mas, aku ini sudah resmi istrimu. Tak tega aku lihat kamu kerja banting tulang tapi aku diam saja.”
“Mas, apa perlu kita ikrarkan janji sehidup semati kita sekali lagi di depan orang-orang kampung ini supaya mereka tau bahwa kamu hanya milikku dan aku hanya milikku?
“Buat apa, sayang? Kita selalu tahu bahwa kita saling mencintai. Untuk apa ambil pusing pikiran orang? Bahkan maut sendiri takut memisahkan kita, sayang.”
Mas, matipun aku rela untukmu. Karena aku tahu, kematianpun tak akan memisahkan kita.”
Ia tersenyum.
Begitu sempurna kau tercipta, sayang. Bodoh sekali dulu kau kusia-siakan.
 “Sudah, lain kali hiraukan saja. Atau bila perlu, hampiri dan katakan bahwa kau istriku, untuk selama-lamanya. Selesai perkara.”
Ia terdiam sejenak, seakan mengingat sesuatu. Tak lama, senyum kembali terukir di bibirnya yang pucat. Selalu, tetap selalu indah bagiku.
“Ya sudah, aku masak dulu untuk makan siang ya. Baca koranmu boleh diterusin mas.”
Dia mengecup dahiku lembut. Dadaku mencelos ketika yang kurasakan hanya angin dingin.
Dia bangkit menatapku, dan kuberikan senyum terbaik yang bisa kubuat. Selalu, tetap selalu saat-saat seperti ini yang sungguh membuatku mati suri.
Kupandangi punggungnya yang ringkih berjalan menjauhiku, berharap dia takkan kembali, namun pada saat yang sama berharap dia akan datang untuk merengkuhku lagi.

****

“Eh, kau tahu tidak, ternyata dulu istri pak Dion itu meninggal gara-gara dibunuh!”
“Hah? Malang sekali nasibnya. Kok bisa?”
“Iya, jadi ternyata dulu mereka berdua itu miskin sekali, sampai makanpun nyaris dua hari sekali. Tapi, karena mereka katanya saling cinta, jadi mereka tetap menikah.”
“Tololnya! mereka kira kenyang makan cinta?”
“Belum selesai, belum selesai. Setelah menikah, si istri itu memutuskan untuk bekerja. Dan kau tahu? Karena kepepet terlibat hutang, dia membiarkan istrinya itu melacur! Masyaallah! Gilakah dia?”
“Astagfirullah! Terus, bagaimana akhirnya dia bisa terbunuh?”
“Dia disekap seorang pelanggannya dan disiksa sampai mati! Kau tahu! Kejamnya dunia ini! Hati-hatilah kau jaga anak gadismu, jangan sampai kau nikahkan dia dengan orang yang salah macam dia itu.”
“Wah gila. Terus, kenapa si gila itu tidak menikah lagi?”
“Katanya setelah istrinya itu mati, dia bertobat, tak lagi hutang sana-sini dan bekerja giat, hingga bisa hidup makmur. Lagipula, tanggungannya hanya dirinya seorang. Ibu-bapaknya pun tak jelas sudah kemana, adik-kakak tak punya.”
“Kasian sekali. Mungkin saja istrinya itu melacur bukan keinginan suaminya itu. Pasti selama ini dia masih dibayangi perasaan bersalah, sampai-sampai otaknya sedikit geser.”
“Geser bagaimana bu?”
“Itu, kau tak dengar kabar yang menyebar di kalangan bapak-bapak yang sering ronda kalau dia pernah tertangkap basah bicara sendiri?”

*****


Rabu, 13 Maret 2013

Dua. Atau empat ?


“Bodoh!”
“Kau tidak mengerti!”
“Aku mengerti! Kau yang tidak!”
Diam.
“Kau tahu aku mencintainya?”
Ia mengangguk. Rambutnya tergerai lepas ke bahunya.
“Dan kau tahu aku sudah banyak berkorban untukmu? Aku bahkan membiarkan dia mencintaimu!”
“Tapi aku hanya mencintaimu!”
“Tolol! Kau tidak mengerti? Dia mencintaimu setengah mati!”
“Aku tahu! Aku hanya tidak bisa membalas cintanya.” Ia menghela nafas.”aku mencintaimu.”
Dengan frustasi ia menjambak rambutnya.
“Argh! Kau benar-benar tak tahu apa yang kau sia-siakan!”
“Cintailah aku seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon. Cobalah.” Air mata mulai mengalir di pipinya yang kemerahan.
“Tidak! Karena kau sudah mengatakan bahwa kau tidak mencintainya, aku akan mengambilnya darimu.”
“Jangan! Tetaplah denganku!”
“Lepaskan aku!”
“Tolonglah…Aku mencintaimu. Sepenuh hati. Segenap jiwa!”
“Kau tidak punya hati! Kau bahkan memakai jiwaku!” tudingnya. Menunjuk dengan ganas.
Ia merosot ke lantai dan terisak.
“Aku mencintaimu! Tetaplah denganku, jadilah seperti dulu!”lolongnya. Suaranya membuat perih dan menyakitkan jiwa.
“Kau!” ia menunjuk tepat tulang hidungku. “Kau merebut dia dariku! Lebih baik mati saja kau!”
Ia merangsek maju dan meraih sebilah pisau dari atas mejanya yang keropos.
“TIDAK! Kau yang mati!”. Ia melompat dan menerjang.
“Lepaskan! Kita baik-baik saja sebelum ia datang! Ia ingin mengubah semuanya!”
“Kau gila!” Ia mencakar kesana kemari.
“Cintailah aku!” raungnya.
“Tidak ! Aku mencintainya!”
“Ia ingin mengubahmu! Lihatlah kau sekarang! Kau hanya terpesona sesaat! Kau berubah karenanya! Aku tidak suka itu! Kau hanya milikku!”
Nafasnya terengah-engah ketika ia menggerakan tenaganya untuk bertahan dan mendorong.
“Aku akan membunuhnya!” dengan sekali sentakan ia berdiri tegak dan mengacungkan pisaunya di atas kepalaku.
“JANGAN!” Ia menerjang, aku menghindar. Ia terjatuh, dan terkapar di lantai; tak bergerak. Pisau menembus tepat di ulu hatinya.


*# * #*

Dia gila; jelas-jelas gila.  Aku menghembuskan nafas terburu-buru, mencoba tenang. Bulir-bulir keringat mengucur di seluruh tubuhku, seakan-akan pori-pori kulitku berdiameter satu senti.  Aku mengerjap beberapa kali dan menyadari bahwa isi perutku ingin keluar. Aku menendang dengan liar, mencoba mengendurkan ikatan di kakiku. Tanganku terikat erat di belakang badanku dan sebuah plester berbau ban karet menempel di sekliling mulutku, menahan bibirku dari jeritan-jeritan yang sebenarnya tanpa di tutup seperti ini pun akan sulit keluar.
Aku mengedarkan pandangan, mencari apapun yang bisa mengeluarkan atau setidaknya melepaskan aku sekarang. Mataku tertumbuk pada sesosok tubuh itu di lantai dan kembali merasakan isi perutku bergejolak.
Namanya Stefani; setidaknya itu yang kutahu. Aku pikir ia manis, dapat di andalkan dan satu-satunya wanita yang mau menuruti apapun kataku. Aku pikir aku mencintainya; aku sempat menciumnya beberapa kali di bibir. Tapi memikirnya sekarang menghentakkan rasa muak tak terkira ke ujung-ujung syarafku.
Aku rasa aku mulai tak sadarkan diri semenjak dari bar yang biasa kami kunjungi. Terakhir kali aku melihat wajah inosennya menatapku ketika aku menghabiskan gelas terakhir long-islandku; sebelum aku menyadari dia tidak minum apa-apa seperti biasanya, hanya segelas minuman bersoda. Aku terbangun ketika aku mendengar suara ribut-ribut tadi; dua orang wanita yang cekcok, atau setidaknya aku pikir begitu; dengan tangan terikat di belakang badanku dan simpul di kakiku.
Aku tersadar dengan leher pegal; terlalu lama menunduk; dan ketika aku mendongak untuk melihat siapa yang sedang adu mulut itu, aku terdiam. Itu bukan dua, tapi satu.
Stefani. Stefaniku yang  berbicara. Sendiri. Dengan dua suara yang berbeda.
Dia gila; jelas-jelas gila.
Ia mengamuk dan menjambaki rambutnya sendiri. Memaki-maki. Menunjukku. Menangis dan mengamuk pada saat yang bersamaan. Menyerangku, dan hampir membunuhku. Menerjang hingga dia sendiri yang jatuh menimpa pisau yang tegak lurus tubuhnya sekarang; tertancap.
Aku menyeret bokongku mendekatinya, mencoba memotong tali di tanganku. Bau anyir darah menusuk; bercampur bau pengap. Aku perkirakan ini kamarnya. Kasurnya terparkir di ujung ruangan, kusam, lecek, dan kekuningan. Lampu pijar menyala di atasnya, satu-satunya penerangan di ruangan ini. Aku menutup mata dan menggesekkan taliku ke pisaunya, mencoba bertahan untuk tidak muntah.
Tali itu akhirnya putus. Dengan segera aku melepas plester dan mengeluarkan isi lambungku hingga habis. Aku melihat lagi tubuh itu, lalu muntah lagi hingga yang keluar hanya cairan kuning yang berbau asam dan menjijikkan.  Nafasku menderu dan buru-buru aku melepas ikatan di kakiku dan berdiri. Aku terjatuh dan mencoba berdiri lagi. Kaki kiriku mati rasa. Tapi aku berhasil berdiri dan menyeret kakiku menuju satu-satunya pintu yang berada di sana. Aku menarik nafas dan meraih kenopnya. Terkunci.
Aku mencoba lagi dan menekan kenopnya, memutarnya ke kanan. Tidak bergeming. Aku mencoba lagi dan menendang pintu itu. Rupanya di ruangan yang membusuk ini, pintu itu masih terlalu kokoh. Aku merosot di depan pintu dan mengerjapkan mataku. Panas. Aku rasa aku menangis. Bahuku bergetar dan kakiku lemas tanpa bisa ku cegah.
Aku takut.
Aku hampir saja mati. Hampir.
Aku melipat kakiku. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa dingin. Aku memutar badan dan kembli menatap tubuh itu. Aku muntah lagi. Bau asam menguar di udara bercampur anyir darah dan pengap ruangan.
Aku menyeret kakiku yang lemas ke arah Stefani dan membalikkan badannya. Matanya terpejam dan bibirnya membiru.
Stefaniku telah mati.
Stefaniku yang mencintai dirinya sendiri.
Stefaniku yang mencintai aku.
Stefani yang tidak ingin berubah demi aku.
Stefani yang rela dibentuk olehku.
Entah kekuatan apa yang membuatku menarik pisau itu dan melemparnya ke belakangku.
Bagaimanapun, aku pernah mencintainya. Entah dia yang mana.
Kuulurkan tanganku yang bergetar dan mengelus pipinya.
Aku menutup mataku dan membiarkan airmataku mengalir turun.
Aku membuka mata. Mata Stefani terbuka, menyambutku.
Aku terlompat ke belakang. Nafas Stefani menderu dan ia bangkit seperti tak terjadi apapun pada tubuhnya.
“Kau..”tudingnya. “harus mati.”
Ia menerjang dan mencekik leherku. Aku melawan. Entah aku yang lemas atau Stefani yang terlalu kuat, aku bagaikan kucing yang dijepit anjing.
Pandanganku menggelap. Satu hal yang terakhir ku ingat adalah pandangan Stefaniku yang mengerikan. Stefaniku yang sudah gila…

*#*#*

Aku tidak boleh menyerah, enak saja. Stefani tentu tidak mengira bahwa aku bisa melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Aku melawan dan menendang perutnya dengan cukup keras hingga ia melepaskan cekikannya.
Stefani mendelik tak percaya dan menatapku. Dengan wajah yang tadinya sudah membiru, dia pasti tidak menyangka aku bisa menendang seperti barusan.
“Kau…” Desisnya tak percaya.
Aku meludah dan mengusap ujung bibirku.
Dengan sedikit menyeringai aku menikmati wajahnya yang ketakutan.  Dengan gerakan lambat ia mundur perlahan dan menempel di dinding. Aku meraih pisau yang tadinya menancap di tubuhnya dan menimang-nimangnya di tanganku. Stefani mengerut di depanku.
Aku tersenyum dan mengayunkan tanganku.