Aku membelai pipinya yang halus
seperti pualam, tempat ciuman-ciuman yang sering tiba-tiba kuhujamkan dimana
saja, kapan saja. Kususuri rahang kokoh yang
membarikade geligi rapih dan putihnya, yang menyinggungkan senyumnya yang biasanya
mampu melunturkan semua emosi negatifku. Hidung laksana paruh elangnya menghembuskan
nafasnya yang hangat di leherku. Kuletakkan kepalaku di dadanya yang bidang,
kuciumi aroma tubuhnya, dan dengan egois mengharapkan keindahan ini boleh
kubawa pulang.
“Dala?”
“Hmm?”
Kuangkat kepalaku, kutatap matanya
yang memabukkan.
“Maaf.”
Matanya menyipit.
“Jangan sekarang, sayang. Kau tidak
ingin merusak malam ini bukan?”
Aku meringis. Ada sesuatu yang perih
di dalam tubuhku. Menyiksa.
“Mengapa kau menangis?”
“Aku mungkin tidak hanya merusak
malam ini, Dala. Aku merusak hidupmu.” Perih, perih. Sakit, tenggorokkanku
sakit mengakui kenyataan yang terkutuk ini.
Dala menarik nafas dan mengalihkan
pandangan.
“Dala....”
Ia menangkup kepalaku, merangkul aku
dalam pelukannya. Kembali dengan bodohnya aku bersandar di dadanya, berputar
dalam keindahan yang, aku tahu, tak akan bisa bertahan lama.
“Kau yang paling aku cinta. Hanya kau
yang paling aku mau. Seribu kali kuulang, tak juga kah kau akan mengerti?”
“Aku mengerti dal, aku mengerti...”
Dala menatapku dan menciumi pipiku,
menelan air mataku. Mencintai aku.
“Seandainya kita bertemu lebih cepat...”
Waktu,
kau memang kurang ajar. Bermainkah kau?
Nasib,
kau memang berengsek. Kenapa kau pertemukan kami?
Perasaan,
kau memang bangsat. Perlukah kau timbul pada orang yang salah?
Semesta,
semua salahmu.
“Sabar,
sayang. Hanya sementara...” Dala melepaskan pandangannya dariku, menerawang
jauh. Nada suaranya ragu.
Aku
ingin menipu diriku sendiri. Ingin sekali. Menganggap semua baik-baik saja,
mengakui pada dunia bahwa aku mencintai dan ingin memiliki orang yang salah,
dan pada akhirnya mengunci Dala seutuhnya untukku sendiri. Sangat ingin,
sampai-sampai ujung-ujung jariku sakit memikirkannya.
“Dala,
jangan bohong. Kau tidak bisa melepas mereka, bodoh.” Aku tertawa getir. Kuusap
air mataku dan menarik selimut, memutar badanku membelakanginya.
Kurasakan
Dala menciumi punggungku, mengusap bahuku. Kurasakan punggungku basah.
“
Sampai kapan, Dal?” aku memutar kembali badanku menghadapnya dan mengusap air
yang menggenang di pelupuk matanya.
Ia
menggeleng, meraih tanganku dan menciuminya.
Ah,
Dala.
“Kalau
kau harus memilih; kalau aku menyuruhmu memilih, siapa yang akan kau pilih?”
Dala
menatapku tepat di manik mata.
“Aku...”
Aku
memeluknya erat, tidak membiarkannya menjawab. Aku takut.
Aku
takut ia akan bilang bahwa ia tidak memilihku.
Lebih
baik begini. Aku mencintainya, dia mencintaiku. Begitu saja, buatku sudah
cukup. Cinta tidak harus memilikki, kan?
****
Dala
melepaskan sentuhan tangannya dari tanganku dan turun dari mobil. Kupasang senyum
palsu, yang karena seringnya kupakai, tidak ada yang tahu kalau itu palsu. Aku
menyusulnya, menyamakan langkah dengan kakinya yang panjang.
Ia
mengetuk pintu. Tak lama, Khalya membuka pintu dan melonjak girang.
“Papa
sudah pulang!” Ia memeluknya erat. Dala tertawa dan mengacak rambut putrinya. Aku
ikut tersenyum.
“Dala,
kamu sudah pulang sayang!” Mereka berpelukan, Dala dan wanita itu. Dala dan
istrinya. Ini bukan kali pertama aku bertemu mereka, dan kali ini hatiku bukan
saja remuk, tapi tergerus dan tertiup angin.
“Hai,
Yan! Apa kabar?” Intan mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. Ah, maafkan
aku, Tan.
“Baik
Tan, kamu gimana?”
“Baik
dong, cuma kangen saja dengan Dala. Eh, ayo masuk yuk!”
Intan
menggandeng Khalya masuk.
“Aku
tidak sanggup, Dal. Bolehkah aku pulang sekarang?” bisikku, nyaris memohon.
Bagaimanapun juga, aku tidak mampu menghadapi keluarga dari laki-laki yang
kucintai. Tidak sekarang.
“Jangan,
Yan. Masuklah.”
“Om
Ryan, ayo masuk! Ngapain di sana?” Khalya menghampiriku dan menarik tanganku.
Ia tertawa riang.
Aku
menatap Dala dan mencoba tersenyum.
Perih,
perih. Hatiku sakit.
Tidakkah
kau rasakan itu, Dala?
****