Sabtu, 14 Maret 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi - Jonathan's Interlude

Pernah tau rasanya jadi berbeda tidak?
I mean, bukan berbeda seperti ketika semua anak di sekolah kalian menggunakan OS, kalian menggunakan android. Atau ketika hari seharusnya kalian menggunakan kaos kaki hitam, kalian menggunakan kaos kaki putih. Dalam kasus pertama, itu pilihan. Dalam kasus kedua, itu kelalaian.
Kita tidak sedang membicarakan perbedaan karena dua hal tersebut.
Kita sedang membicarakan perbedaan yang kalian rasakan ketika teman kalian terlahir dengan rambut lurus yang hitam dan indah, sedangkan kalian terlahir dengan rambut gimbal yang kering dan sekusut headset yang baru dikeluarkan dari kantong. Sesering apapun disisir, semahal apapun perawatan yang kalian lakukan, folikel-folikel rambut kalian akan tetap menghasilkan untaian rambut sarang burung yang kasar dan sulit diatur. Bukan pilihan kalian, bukan pula kelalaian.
Perbedaan yang tidak kalian inginkan, tidak pula terjadi karena kalian melakukan kesalahan; perbedaan yang, sekeras apapun kalian berusaha, tidak akan bisa kalian ubah, karena memang adanya seperti itu.
“Bagaimana?” Paul mengaduk kopi hitamnya dengan bersemangat, matanya bergantian menatapku dan Cindy. 
Aku tersenyum dan membiarkan jeda di antara kami mengambang sembari aku menyeruput teh hitamku.
Cindy terdiam sejenak, salah tingkah, tapi akhirnya meraih makaron coklat yang berada di tengah meja sambil menahan tawa. 
“Paul, I don't think being blonde suits you."
"Ah, shit! Aku kira kalian akan bilang aku terlihat seperti oppa-oppa." Ia mengacak-acak rambutnya sambil berusaha berkaca di pantulannya di jendela. "I'm dyeing it back black then. I spent six hours on the salon for this!"
Suara tawa kami berderai menyaingi hujan di luar. "Hey! but you do you! I'm the last person that's qualified to tell you what you should and shouldn't do!" 
Hampir dua tahun berlalu sejak kejadian di kamar Paul, ketika Cindy hampir “mengungkapkan perasaannya” padaku, dan setelah setahun aku came out kepada mereka berdua tentang identitasku.
Aku mengungkapkan keadaanku kepada mereka sehari sebelum kami berpisah, pada saat kami akan melanjutkan pendidikan ke universitas yang berbeda; aku melanjutkan kuliah di Bandung, Cindy di Depok dan Paul di Colorado. Hari itu kami berencana akan nonton di bioskop lalu berkaraoke, namun semua rencana kami gagal karena pengakuanku. Cindy terlihat terpukul, Paul menatapku tidak percaya, dan aku hampir saja menyesal melakukan hal tersebut. Cindy langsung berniat pulang, dan Paul, tentu saja, menawarkan diri mengantarkannya.
Esoknya Paul mengantarkan kepergianku ke bandara. Cindy tidak terlihat.
“Kamu masih mau berteman denganku?”
Paul terdiam sejenak lalu tersenyum tipis.
“Memang sulit untuk mempercayainya, dan sejujurnya otakku masih berjuang memrosesnya. Tapi sudahlah, kita sudah lama berteman, kan? Hal seperti itu tak akan mengubah fakta tersebut, Nat.”
Air mataku tumpah begitu pesawat lepas landas.
Hari ini kami memutuskan untuk bertemu dan berbincang-bincang, setelah sekian lama kami tidak bertemu dan benar-benar betegur sapa. Aku dan Cindy sedang dalam masa libur semester genap, dan Paul kebetulan kembali ke Indonesia untuk mengurus sesuatu. Urusan keluarga, katanya. Kami bertemu di sebuah café di di Bandung yang letaknya cukup terpencil di atas bukit, sekalian liburan dan jalan-jalan, kata Cindy.
Selama setahun belakangan ini hubunganku dengan Cindy menjadi renggang, sesuatu yang sudah kuduga dari pertama kali aku melontarkan kata-kata bahwa aku menyukai sesama jenis kepada mereka. Kami berbincang sekali-dua kali melalui aplikasi internet, tetapi hanya itulah interaksi yang kami lakukan. Aku dan Paul lebih banyak bertukar cerita dibandingkan aku dan Cindy, meskipun tidak bisa dibilang sering. Tampaknya kuliah di Colorado merupakan keputusan yang tepat baginya, dia jadi banyak melakukan kegiatan sosial yang membuatnya sangat sibuk.
Hujan rintik-rintik malah membuat suasana café yang kami singgahi lebih nyaman. Meja dan tempat duduknya yang terbuat dari kayu menambah kehangatan tempat ini. Ruangannya tidak terlalu luas, tetapi tiap meja mempunyai space yang cukup untuk tidak melanggar ruang privasi orang di meja lain. Di dinding diatas bar tergantung poster-poster vintage bergambar wanita-wanita muda dengan riasan tahun 70an, dan di sudut ruangan, disamping bar, berseberangan dengan meja kami sekarang, terdapat sebuah perapian, yang, kuduga hanya hiasan. Jendelanya besar-besar dan memenuhi sebagian besar dinding, ada yang menghadap ke jalan raya, dan yang berada di dekat kami menghadap lembah yang dihiasi pepohonan yang daunnya mulai menguning. Tempat yang sangat indah, pilihan kami memang tidak salah. 
“Jadi, Nat. Bagaimana kehidupanmu disana? Maksudku, sebagai seorang gay?” Cindy akhirnya mengarahkan perhatiannya padaku untuk pertama kalinya malam ini. Aku bersiap untuk menemukan nada mengejek dalam perkataanya, tapi ekspektasiku salah. Dia benar-benar bertanya kepadaku, setelah sekian bulan berlalu tanpa ia terlihat menerima kenyataan itu.
Aku terdiam sejenak, sebagian karena aku sedang memikirkan jawabannya, dan sebagian karena aku, yang baru aku sadari, tidak siap dipanggil seorang gay oleh Cindy. Aku baru sadar bahwa selama ini, tanpa kusadari, aku masih menghindari penggunaan kata tersebut atau menggantinya dengan penyebutan yang lain. Wow, ternyata aku sendiri belum sesiap mengakui bahwa aku adalah seorang gay, terutama di depan orang-orang yang kukenal sejak lama. Di depan Cindy. Di depan Paul.  
Life’s good, Cin. Luckily, most people don’t judge. Orang-orang sadar dan mulai menerima  kalau some people are gays. Really makes our life easier.”
Aku berhenti untuk menyeruput tehku lagi, seraya menahan sarkasme-ku yang bisa mencuat kapan saja. Orang-orang bertanya banyak padamu ketika mereka tahu kau adalah gay, dan percayalah, menjawab itu lama-lama melelahkan dan kelamaan kau akan menjadikan sarkasme sebagai coping mechanism. Tetapi yang bertanya ini Cindy, dan jika dia belum berubah, dia tidak akan sengaja bertanya untuk menggangguku saja.  
“Kami sadar bahwa kami berbeda secara orientasi seksual. Memang beginilah kami. Kami tidak memilih kehidupan seperti ini, kami juga tidak menjadi seperti ini karena kesalahan kami maupun orang lain.”
Paul terkekeh. “Kudengar kaum kalian lebih bebas kalau berhubungan. Benarkah itu? Apa semua gay seperti itu?” Paul menaikkan sebelah alisnya.
Aku ikut terkekeh.
Well, karena kamu adalah temanku, kamu kumaafkan. That question is insensitive. The thing is, kami sama saja seperti kalian yang normal. Tidak semuanya seperti itu, kok. Memang ada yang gampang aja masuk kamar. Tapi, kan, gay ataupun hetero juga banyak yang seperti itu.”
“Kita itu sama, sama-sama manusia. Kita dibesarkan dengan etika dan norma, juga peraturan-peraturan. Sama. Yang akhirnya membuat kita berbeda adalah siapa yang kita...cintai.
Pelayan datang dan membawa caramel salt frappe milik Cindy. Cindy tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
“Tapi Nat, akuilah, ada perbedaan antara kalian dan kami yang bisa dilihat selain itu. Seperti misalnya, hmm, cara berpakaian?” Cindy mencolek whipped cream diatas minumannya dengan sedotan dan menjilatnya, meninggalkan jejak krim di pinggir bibirnya. Paul tertawa, mengambil serbet dan mengelap sisa tersebut sambil bergumam tentang bagaimana berantakannya Cindy dan bahwa dia tidak berubah dari dulu.
Ah, jadi Paul memang masih menyukai Cindy.
“Sulit didefinisikan sih... It’s all beyond the sight, should I say. Gak ada yang pasti. Ada kok, yang gay tapi gak pernah grooming, trus punya bodi kayak abang-abang bangunan.” Aku tersenyum geli pada jawabanku sendiri, teringat pria terakhir yang aku kencani. Melihatnya sekilas, tidak akan ada yang menyangka kalau dia menyimpan perasaan kepadaku. Tubuhnya berotot, tetapi bukan otot yang dilatih secara khusus, kulitnya terbakar matahari akibat bermain sepak bola, mukanya tidak mulus sepertiku, dan rahangnya dihiasi rambut-rambut yang dibiarkan tumbuh kasar.
“Pacarku sekarang, misalnya. Melihatnya sekilas mungkin kalian akan menyangka dia adalah womanizer kelas berat.”
Cindy tertawa mendengar rujukanku barusan. Aku baru sadar, aku sedikit merindukan tawanya.
“Kamu punya pacar sekarang? Siapa lelaki beruntung itu?”
“Namanya Eli. Dia tampan dan sangat macho, persis versi Indonesianya Bradley Cooper.”
Aku tersenyum geli mendengar jawabanku sendiri. Aku melanjutkan cerita tentang Eli, bagaimana kami bertemu, saat kami kencan, dan bagaimana akhirnya Eli menyatakan perasaannya padaku, dan aku yang masih ragu-ragu karena belum percaya pada kenyataan yang terjadi.  
“Cukuplah tentang aku. Pokoknya, kami sama dengan kalian, cuma sedikit berbeda. Bagaimana dengan kalian? How’s life in uni?”
Di luar, hujan bertambah deras.



Sekedar Cerita Para Pribadi (Written in 2012, revised)

Cindy
“Aku menyukai seseorang.” Aku memainkan rambutku, berhenti pada ujungnya, berpura-pura mencari bagian yang bercabang.
Seketika aku merasakan aktivitas di ruangan ini berhenti. Aku nyaris bertanya dalam hati apakah hal ini adalah keputusan yang benar. Aku memang bermaksud lebih pada pertanyaan itu, untuk menarik simpati salah satu dari mereka.
Paul yang sedang memakai kemeja di atas lapisan kaos putih polosnya berdeham, kemudian melanjutkan aktivitasnya lagi. Jonathan yang baru saja meraih novel di pojok meja belajar Paul kembali membuka-buka buku setebal satu inci tersebut.
Aku memutar bola mata.
“Halo, tak adakah yang ingin bertanya?” dengan agak kesal aku merobohkan badan ke kasur king size milik Paul, meraba seprai barunya yang masih berbau pewangi pakaian.
Biar kuperjelas.
Aku bukannya sedang berada di kamar om-om kaya bernama Paul dan Jonathan, berbaring di ranjangnya, dan melakukan apalah itu yang mungkin terlintas di pikiranmu. Kami bertiga adalah sahabat, dan kebetulan hari ini sepulang sekolah kami memutuskan untuk ke belajar bersama. Itulah sebabnya aku berada di rumahnya; tepatnya kamarnya Paul sekarang. Kami baru saja selesai makan siang dan akan mengerjakan tugas kami, tapi aku tidak tahan untuk tidak melancarkan rencanaku yang sebenarnya sudah aku susun dari jauh-jauh hari.
“Bukannya apa Cin, sudah berapa kali bulan ini kamu mengucapkan kalimat itu?” Jonathan berdiri dan meletakkan kembali novel itu ke tempatnya semula, tampaknya memutuskan bahwa novel tersebut tidak terlalu menarik.
Oh, sial. Sekarang aku mengutuki label playgirl-ku.
Baiklah, aku menyampaikan hal barusan bukan untuk sekedar curhat seperti yang biasanya aku lakukan, tetapi untuk memancing reaksi tertentu dari Jonathan, salah satu orang yang berada di ruangan ini bersamaku. Sahabatku.
Ya, sudah lama aku menyukai Jonathan, dan hal itulah yang membuatku memacari selusin laki-laki lain; hanya untuk melupakan satu-satunya orang yang sebenarnya memenuhi seluruh tempat di hatiku. Begitu dekat, sekaligus begitu jauh. Klise, namun kenyataanya memang begitu.
Kadang aku merasa tidak adil pada Paul. Jonathan baru kami kenal sejak SMP, namun sekarang aku berani mengatakan seluruh hatiku terisi olehnya.
Jangan takut Paul. Pasti masih ada ruang di hatiku untuk seorang sahabat sepertimu.
Rasanya pikiran barusan hanya kusisipkan sebagai penegas.
Paul tertawa. “Ya Cin, sekarang siapa lagi yang akan kamu angkat jadi dayang?” Paul sudah selesai mengancingkan kemejanya. Ia mendekati dan duduk di tepi ranjang. Aku menggeser pantatku lebih kedalam dan menyandarkan punggungku di dinding.
“Tapi kali ini berbeda.” Aku bersikeras. Jonathan harus menangkap sinyalku. Harus.
“Beda? Setiap kali kamu mengatakan kamu menyukai seseorang dan kalian akhirnya berpacaran, kamu selalu mengatakan dia berbeda, dan sebagainya, dan sebagainya. Namun kenyataanya? Mereka tak ubahnya bagai dayang yang mengikuti yang mulia ratu, setia mengemban kewajiban.” Jonathan berdecak sebal dan mengambil tempat di samping Paul.
“Aku tidak pernah menyuruh mereka melakukan hal tersebut! Mereka yang mau sendiri.” protesku. Aku meraih bantal di pinggir ranjang dan memeluknya tanpa rasa canggung. Aku dan Paul sudah bersahabat sejak… hm kapan ya? Mungkin sejak TK. Sejak kami masih bau bayi. Jangan tanya padaku definisi bau bayi, karena aku sendiri tidak bisa menjelaskan.
“Kamu yakin?” Alis kanan Jonathan naik, memberikanku pandangan sarkatis. Darahku langsung berdesir. Jonathan sangat tampan. Oh tidak. Melihatnya seperti ini saja aku bisa mati.
Paul tertawa. “Jadi, apa beda dia dengan orang-orang yang kamu pacari selama ini? ” dia merapikan rambutnya dengan jari. Aku berdecak. Paul mungkin saja tampan, tapi entah mengapa aku tetap tidak bisa menaruh perasaan padanya. Mungkin kami sudah terlalu lama berteman. Entahlah. Yang jelas, aku yakin kami memang murni hanya berteman. Setampan apapun Paul, aku tetap melihatnya sebagai sahabatku dan aku yakin Paul pun begitu.
“Dia…ya dia baik, tampan, kaya….mungkin. Tapi aku sangat menyukainya.” Aku berdeham sekali. “Dan, ya, yang kali ini, aku sudah cukup lama mengenalnya.” Aku menunduk, tak kuasa menatap wajah dua orang di depanku. Bagaimanapun juga aku sedang menguak sedikit demi sedikit kartuku, dan jika Jonathan tidak mempunyai rasa yang sama denganku, habislah aku. Habislah pertemanan yang kami rajut selama ini. Maksudku, apakah kau masih mau berteman dengan seseorang yang kenyataannya menyukaimu setengah mati, dan akan berpura-pura tidak tahu setelah ia mengungkapkan semuanya padamu? Apa semuanya masih akan sama? Tentu tidak.
Paul
Dadaku berdegup makin kencang. Oh, apa tadi yang barusan di katakannya? Dia sudah cukup lama mengenalnya? Apakah mungkin…aku?
Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kenyataan bahwa Cindy baru saja menyatakan ia menyukai seseorang yang sudah ia kenal lama membuatku hampir melonjak meskipun aku sendiri tidak yakin kalau ia sedang membicarakan diriku.
Tapi kau yakin itu kau? Memangnya cuma kau saja yang sudah ia kenal cukup lama? Dan lagi, ia tidak menyatakan seberapa lama ‘cukup lama’ itu, bukan? Bisa saja itu berarti sebulan, dua bulan… bukan belasan tahun. Lagipula ia akan mengatakan bahwa ia mengenal orang itu sudah sangat lama kalau begitu. Belasan tahun itu waktu yang sangat lama, bukan?
Kurang ajar. Pikiran logisku mengacau pikiran indahku barusan. Yang satu ini memang agak liar dan sulit di kendalikan. Aku menghembuskan nafas sebal. Tak bisakah kau, wahai pikiran, berhenti menjatuhkan angan-anganku sekali saja?
“Langsung saja Cindy, siapa dia?” Jonathan langsung menembak Cindy dengan pertanyaannya. Sahabatku itu memang seperti itu. Dalam kamusnya tidak ada basa-basi, apalagi ngalor-ngidul. Sekarang aku dapat menebak bahwa Jonathan sebenarnya ingin mengatakan “Langsung saja Cindy, tidak perlu bertele-tele. Katakan segera siapa orang itu, dan kita bisa mulai mengerjakan tugas kita yang seharusnya sedang kita kerjakan sekarang.” Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Cindy, yang juga sahabatnya.
Tanpa kuduga Cindy langsung salah tingkah. Oke ini tidak biasa. Biasanya dia akan mengangkat tangannya, meniupi kuku jarinya yang lentik, kemudian dengan bangga menyebutkan salah satu nama cowok-cowok yang populer, dan biasanya, tidak sampai seminggu kemudian ia akan datang ke kami menggandeng dayangnya itu untuk mengenalkannya kepada kami sebagai pacarnya.
Cindy memang hampir selalu mendapatkan apa yang di inginkannya, termasuk dalam hal memilih cowok. Tentu saja, dengan bermodal muka cantik dan prestasi akademik dan non akademik yang membanggakan, hanya cowok gila atau homo yang tidak mau menjadi pacarnya.
Memikirkan semua mantan Cindy membuatku merinding. Mereka semua tampan, kaya, dan populer. Sedangkan aku? Aku memang tampan, pintar, dan populer di mata cewek-cewek di sekolahan, namun Cindy tak pernah membuatku merasa tampan. Pintar? Cindy selalu menduduki ranking diatasku. Populer? Cindy sepertinya tidak peduli berapa ratus pernyataan cinta yang kutolak demi dirinya.
“Cindy? Jadi siapa orang itu?” Aku berusaha terlihat biasa saja saat melontarkan pertanyaan itu meskipun sebenarnya jantungku seperti mau pecah. Oh, okelah, cinta bisa membuatmu hiperbolis.
“Ayo katakan.” Jonathan kemudian menggeser bokongnya mendekat pada Cindy, kemudian merangkulnya. Sesuatu yang sebenarnya sering aku dan Jonathan lakukan pada Cindy, namun entah mengapa kali ini kulihat reaksi aneh pada Cindy.
“Ehm, ya, seperti yang kukatakan tadi. Dan juga..ia adalah orang yang dekat denganku, dan…aku sangat, sangat menyukai bagaimana ia memperlakukanku. Bukan sebagai ratu, tetapi sebagai sahabat yang baik.” Suara Cindy lebih pelan dari biasanya.
“Oke. Sekarang, siapa dia? Apa aku mengenalnya? Apakah itu..aku?” Jonathan tertawa kecil. Sekarang aku merasakan sesuatu yang tidak beres.
Cindy meremas pinggiran bantal yang ia pegang. Kemudian dengan senyum malu dan muka merah, ia mengangkat wajahnya dan menatap Jonathan, dengan pandangan yang sulit aku artikan.
Uh, oh. Jangan bilang dia yang kau maksud itu Jonathan, Cindy. Jangan.
Jonathan
Aku melepas rangkulan ku pada Cindy, lalu tertawa kecil.
“Aku hanya bercanda, Cindy. Jangan salah tingkah begitu dong. Jadi, siapa yang kamu maksud itu?” Aku tidak ingin memperburuk situasi. Oke. Aku tahu Cindy diam-diam menyukai aku, dan Paul diam-diam menyukai Cindy. Jangan tanya kenapa, yang jelas aku memang sedikit lebih peka terhadap hal-hal seperti itu.
Senyum Cindy tadi yang sempat mengembang, mengempis lagi. Mukanya perlahan-lahan berubah warna menjadi normal kembali, tidak semerah barusan.
“Kamu benar benar… tidak tahu?” Aku mendengar getaran rasa tak percaya di suaranya dan sesisip rasa kecewa.
Aku memang menyukai Cindy, tetapi murni hanya dalam konteks sahabat, karena aku memang tidak bisa mempunyai perasaan lebih padanya. Mungkin Cindy salah mengartikan perhatian ku selama ini kepadanya. Tsk.
“Tidak. Tentu tidak. Apa itu seseorang di antara kami?” kataku sambil memberikan mimik lucu. Aku melihat bahu Paul yang sempat merosot tadi menegang lagi.
Cindy terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan, seakan tidak yakin dengan jawabannya. “Tidak, bukan salah satu dari kalian.” Katanya pada akhirnya, dengan desah nafas yang berusaha disembunyikan olehnya. Dari ekor mataku aku melihat bahu Paul merosot lagi.
“Baiklah, jadi kamu tidak ingin memberitahu kami?” Aku menggeser lagi bokongku ke samping Paul, dan merangkulnya. Setengah mati berusaha kusembunyikan degupan jantungku yang tiba-tiba memutuskan untuk berdansa dengan irama cha-cha. Aku tidak merasakan ada reaksi dari Paul sedikitpun. Aku rasa dia terlalu syok. Dengan lembut ku usap-usap bahunya. Sial, malah aku yang bergetar.
Cindy menggeleng. “Tidak. Aku rasa tidak penting. Ayo kita lanjutkan pekerjaan kita. Aku harus pulang lebih cepat.” Cindy bangkit dari duduknya, menuju meja belajar Paul, meraih tas sekolahnya dan mengeluarkan bukunya. Paul ikut bangkit, dan dengan tidak rela aku melepaskan rangkulanku padanya.
Aku mendesah lagi. Aku tidak ingin Paul pergi. Posisi tadi sudah pas, tak bolehkah aku merasakannya lebih lama lagi? tanyaku kepada diri sendiri. Aku menatap punggung Paul yang melangkah maju mendekati meja. Begitu kokoh, begitu indah…. Mungkin memang sulit bagiku untuk bahagia. Tapi, bisa berada sedekat ini dengan Paul dan tidak merasakan penolakan darinya rasanya sudah cukup buatku sekarang. Ya, setidaknya sebelum dia tahu aku yang sebenarnya dan bagaimana sesungguhnya perasaanku terhadapnya, aku rasa aku aman.