Kamis, 03 Desember 2015

Lebih Baik Disini?

Hanya bilik bambu pagar rumah kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan..
Beratap jerami, beralaskan tanah
Namun semua itu milik kita…
Suara Ahmad Albar yang ditingkahi distorsi gitar elektrik sayup-sayup mengalun dari  radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu, dan sudah menemaniku sejak itu. Aku duduk diatas kursi kayu di halaman rumahku, menegak kopi yang nyaris dingin, berharap segelas kafein tersebut mampu mengganti tidurku malam tadi yang kutukar dengan menguli. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam, namun matahari pagi ini masih terlihat enggan keluar, entah masih bersembunyi di balik selimut awan, atau bahkan belum rela lepas dari sang malam. Anak-anakku seharusnya sudah bangun, tapi kubiarkan tidur lebih lama pagi ini. Dengan cuaca seperti ini, besar kemungkinan mereka pada akhirnya tidak masuk sekolah, karena guru-guru di SD mereka mempunyai aturan sendiri yang tidak tertulis; jika hujan, sekolah libur, karena kemungkinan besar sekolah akan banjir dan toh murid-murid akhirnya hanya akan main air.
Hanya alang-alang pagar rumah kita
Tanpa anyelir tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh dihalaman,
Namun semua itu milik kita…
Aku menatap gunungan sampah di dihalamanku dan menghirup nafas dalam-dalam. Orang-orang yang datang berkunjung selalu menggunakan masker berlipat-lipat, tetapi aku; kami semua yang tinggal disini, hanya menertawakan kelakuan mereka; datang dengan mobil besar dengan pengeruk di ujungnya, bersarung tangan karet, berseragam plastik aneh dan sepatu bot yang berwarna oranye cerah, mengomel mengenai bagaimana kami semua tidak mau disuruh pindah, lingkungan ini sumber penyakit, dan semua hal-hal lucu yang sering kami dengar namun kami abaikan. Kami hanya tertawa. Kami tidak perlu menggunakan apapun untuk bernapas, kami hidup dengan aroma ini hampir sepanjang hidup kami. Kami tidak perlu memakai karet untuk melindungi tangan kami; kulit kami setebal karung goni. Kami tidak perlu membungkus tubuh kami dengan plastik dan mengalasi kaki kami dengan sepatu nyentrik; ini rumah kami.
Memang semua itu milik kita…
Bunyi derit dipan membangunkan aku dari lamunanku. Si sulung rupanya sudah bangun. Ia kemudian duduk diatas dipan sempit yang berfungsi sebagai meja makan, meja belajar, sekaligus tempat tidur kami. Terkadang dikala malam sedang dingin, hal ini aku syukuri; kami tidur bertiga berdampingan melawan dingin malam, namun ketika musim pancaroba datang dan malam menjadi ganas, dan nyamuk-nyamuk tiba-tiba menjadi selapar drakula…
“Ayah, badan adek panas.”
Aku menoleh kepada si sulung, dan mendapati ia memegang kening adiknya yang sedang terlelap.
“Semalem aku sudah mau bilang, tapi ayah belum pulang, terus aku ketiduran.”
Langit bergemuruh, sepercik kilat terlihat menyambar di arah kiblat.
Aku bergegas mendekati dipan dengan perasaan yang tak asing. Panik, kacau..namun kali ini sekaligus pasrah. Seharusnya aku tahu kalau ini akan terulang lagi. Seharusnya…aku punya cukup akal untuk tidak membiarkan hal ini terjadi lagi.
Lebih baik disini…
Rumah kita sendiri..
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini..
Aku berlari membawa si bungsu secepat yang aku bisa ke puskesmas terdekat. Badannya sepanas bara, bibirnya membiru, dan kausnya yang tinggal setipis kertas telah basah oleh keringat. Aku sudah tidak sanggup berpikir; tidak tidur semalaman, rasa lelah dan perasaan panik bukanlah kombinasi yang baik.
Aku membuka pintu puskesmas yang masih sepi, nyaris mendobrak, dan membuat resepsionis yang sedang terkantuk-kantuk dengan spontan berdiri dan hampir menjatuhkan vas bunga di mejanya. Ia berteriak memanggil dokter dan para karyawan, dan dengan sekejap ruangan tersebut diisi orang-orang dengan seragam putih-putih dan bersepatu runcing, mengambil si bungsu dari gendonganku, meletakkannya diatas kasur beroda, lalu berderap pergi. Resepsionis menelepon ambulans, dan hujan mulai mengguyur.
“Sudah saya bilang, lebih baik anda segera pindah! Istri anda baru saja meninggal dua bulan lalu karena malaria, sekarang anak anda terkena penyakit yang sama! Anda itu hidup diantara sampah, pak!  Apa yang membuat anda berpikir bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajar? Mau sampai kapan anda tinggal disana? Hingga semua anggota keluarga anda habis dilibas penyakit karena lingkungan yang kumuh itu?!”
Racauan dokter terdengar berlomba dengan curah hujan diatas genting puskesmas. Aku tidak mendengarkan, dalam otakku hanya terngiang-ngiang suara Ahmad Albar yang sayup-sayup mengalun dari radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu. Kali ini, Ahmad Albar berulang-ulang menyanyikan sepotong lagunya, mengejek aku yang terduduk bersandar di dinding puskesmas.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri...

Jumat, 28 Agustus 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi - Reza (Side Story)



            Aku mendesah, membuka sabuk pengaman, dan mematikan mesin mobil. Aku membuka pintu mobil dan seketika udara bercampur bau rumput basah menari-nari di hidungku. Aku meraupnya dengan rakus. Tarik, hembuskan. Aku rindu bau ini, rindu sekali. Aku melepaskan sepatu dan memijakkan kakiku di rumput hijau yang lembab dan dingin. Syaraf-syarafku tergelitik oleh teksturnya. Aku rindu pijakan ini, rindu sekali.
Aku turun dari mobil dengan bertelanjang kaki meski udara dingin menyapu kulit. Matahari bersinar lembut dengan graduasi warna merah muda dan oranye, hangat, mengimbangi dinginnya hembusan udara. Aku rindu perpaduan ini, rindu sekali.
“Kau selalu berkata begitu walau tiap minggu kita kemari.”
Kau akan tersenyum jahil dan mulai menggoaku setiap aku berkata seperti itu.
Aku tersenyum tipis, lalu mulai berjalan menyusuri rumput pendek, dan berhenti di batas yang ditumbuhi ilalang. Aku menarik nafas, memasuki padang ilalang, menyusurinya dengan ujung jari dan memetik sebatang. Aku melambaikannya ke arah matahari senja, menikmati dispersi warna yang diuraikan tiap helainya. Putih, ringan; anggun bergoyang mengikuti angin.
Aku berjalan terus, semakin ke tengah padang ilalang itu, dimana terdapat sebuah kursi kayu panjang yang tersembunyi di tingginya ilalang, tempat kita biasa menghabiskan senja kita bersama. Bangku itu masih di sana, seakan tidak tersentuh putaran jam. Aku ulurkan tanganku menyusuri lekuk-lekuk bangku, mencari gema keberadaanmu, yang dulu bersamaku. Kuhempaskan badanku ke atasnya.
“Angkat ponimu, ribet sekali.”
Kau baru akan tersenyum kalau kuikat rambutku seluruhnya, kutarik keatas, hingga kau bisa bebas memandangi dan mencium dahiku.
Tanpa sadar aku buru-buru mengikat rambutku seluruhnya, seakan kau masih ada disitu, mengamatiku ketika aku menyisir rambutku dengan jari dan menyatukannya dengan karet gelang.
“Nah begitu, kan cantik.”
Lalu kau akan membelai pipiku dan membuka lenganmu agar aku bisa bersandar di sana.
“Kalau kau begitu suka melihat wajahku bersih dari rambut, lain kali akan kubotakkan saja kepalaku.” Aku mendengus.
Kau tertawa. “Dengan nama yang sudah mirip laki-laki, kau nekat ingin menggunduli rambutmu? Bisa-bisa kau benar-benar jadi laki-laki.”
“Hei, dasar seksis. Kalaupun aku jadi laki-laki, memangnya kenapa? Kau kan tidak berhak mencampuri urusan gender-ku.”gerutuku.
“Kalau kau jadi laki-laki, itu akan membuatku bingung.”
“Jadi kau tidak akan mencintaiku lagi kalau aku menjadi laki-laki?”
Kau tertawa lagi. Meski suaramu kasar dan berat, kau tertawa dengan merdu.
“Kau sungguh-sungguh ingin membuatku berpikir tentang hal itu ya?”
Aku merengut. “Kau yang memulai.”
Kau terdiam sejenak, lalu mengangkat daguku. Matamu mencari mataku, dan untuk beberapa saat kita hanya terdiam, saling menatap.
“Aku mencintaimu bukan karena  fisikmu, atau gendermu. Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar seratus persen perempuan atau laki-laki. Kita semua manusia, tidak ada konsep yang mutlak, apalagi konsep laki-laki dan perempuan dalam gender. Jadi, argumen bahwa aku tidak akan mencintaimu lagi kalau kau memutuskan untuk menjadi laki-laki sama sekali tidak valid untukku, karena aku mencintaimu bukan karena fisikmu, dan bukan atas suatu konsep yang abstrak untukku, melainkan karena kau…adalah kau.”
Aku mengerjap beberapa kali dan tersenyum. Lalu kau tertawa, tawa yang menular padaku.
“Tapi bagaimanapun juga aku tentu akan bingung jika kau tiba-tiba memutuskan untuk menjadi laki-laki.”
Aku tertawa lagi. Untuk beberapa saat yang terdengar hanya letupan tawa kita. Tiba-tiba kau menatapku lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih serius dan teduh.
“Kali ini aku ingin bicara serius denganmu.”
“Kapan kau tidak serius?”
“Kapan saja aku mau. Nah sekarang kau harus mendengarkanku.”
“Memangnya dari tadi apa yang kulakukan?”
Kau menghela nafas. “aku sudah menyatakan dengan jelas bahwa aku mencintaimu, bukan?”
Aku mengangguk sedikit. Tolonglah. Aku tidak mau membicarakannya.
“Kenapa kau tidak ingin mengakui..” kau menghela nafas “kalau kau juga..”
“Tolonglah, Ken, aku tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang.”
Kau menghela nafas lagi, menutup tanganmu. Mau tidak mau aku mengangkat kepalaku. Kau menutup mata. “Aku tidak tahu, Re. Aku merasa kau begitu…entahlah. Kau menghindar dari masalah, kau tidak ingin menyelesaikannya.”
Aku berdiri perlahan, membelakangimu. Kutarik nafas, lalu menutup mataku. “Ya, aku memang lari darinya. Ya, aku pengecut, tidak ingin mengakuinya. Aku tidak bisa. Nah, sekarang, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mari kita pulang.”
Aku mendengar kau menghembuskan nafas, dan merasakan kau membungkuk, menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. “Yang hanya perlu kau lakukan adalah mengatakan bahwa kau mencintaiku. Kau mencintaiku.” Gumammu dibalik tanganmu.
Kau lalu berdiri, berjalan mendahului aku ke mobil. Sepanjang jalan kita hanya mendengarkan deruan angin yang dibelah mobilmu.
Aku ingat bunyi sunyi itu. Sangat hampa, terlalu hampa hingga rasanya aku terdampar di tempat tak beruang, tanpa suara. Aku merasa dilipat, dipadatkan, ditekan ke dalam satu dimensi; sunyi. Bernafas saja rasanya sulit. Gumpalan kata sudah di pangkal, tapi tak bisa dimuntahkan. Menyiksa.
Kita tak lagi bicara, sepatahpun kata tak kau ucapkan dihadapaku, hingga saat kau naik ke pelaminan, bersanding dengan kakakkku. Kaupun tetap diam saat kupandang; bingung, marah, mungkin sepercik rasa kecewa aku dapati di kedua bening matamu.
Aku menatap senja di kejauhan, seakan sorot matamu masih tersirat disana, sehangat senja.
Dua hari setelah itu, aku meninggalkan Indonesia, tanpa pamit.
Dan sampai saat ini, kita tak pernah lagi saling bicara.
Aku menutup mata, angin membelai rambutku, wajahku. Aku mengangkat kakiku, membaringkan punggungku di bangku. Aku menatap langit senja, mengingat kembali dering telepon yang pagi itu terus berbunyi meski berulang kali aku matikan.
Telepon darimu.
Dua tahun kau tidak sama sekali mencariku, dan pagi-pagi sekali jam tiga pagi di Australia, kau menelepon. Benakku langsung dipenuhi bermacam pikiran. Aku marah. Menyesal. Malu. Sedih. Satu sisi aku ingin mengangkatnya, mendengarkan suaramu yang sungguh-sungguh aku rindukan, satu sisi aku hendak membanting telepon itu yang tiba-tiba mengingatkanku padamu. Ketika telepon berhenti berdering, aku menghembuskan nafas yang tak sadar kutahan, tidak tahu harus lega atau kecewa.
Lima jam kemudian, aku sedang menyeduh kopi untuk kuliah pagiku ketika telepon kembali berbunyi. Kali ini dari kakakku, Jenny. Dengan was-was aku menekan tombol untuk menjawab.
“Ken sedang kritis sekarang, tumor otaknya ternyata ganas. Pulanglah, kata terakhirnya sebelum ia hilang kesadaran adalah namamu.” Nadanya getir, tertekan, putus asa.
   Tergesa-gesa aku mencegat taksi dan memesan penerbangan paling pertama ke Indonesia. Sepanjang perjalanan tak henti aku menghapus air mataku yang terus meleleh meski aku tak menangis.
  Aku mengusap air mataku yang mulai turun lagi. Senja semakin merah, ilalang semakin merunduk terpijak angin, matahari semakin turun di cakrawala, tertarik keanggunan malam. Aku memalingkan wajahku ke arah sandaran bangku, menatap serat-serat kayu yang seakan mengeja namamu.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke sudut bangku. Sesuatu terselip disana, tidak banyak terlihat. Aku meraih ujung kecil itu, menariknya keluar, dan mengangkat punggungku ke posisi duduk.
Sepucuk surat. Putih, sedikit mengkerut di ujungnya yang tersembul keluar. Dengan kaku aku menyobek sampulnya dan membuka lipatannya yang rapi. Sungguh khas dirimu, rapi, teliti.
Di kepalaku menyeruak kenangan-kenangan kita, hingga saat aku melihatmu di tempat tidur dimana nafasmu akhirnya meninggalkan tubuhmu.
“Kenapa tidak kau katakan sebelumnya?” suaraku sengau. Aku berbicara padamu, tetapi kau tidak menjawabku. Kau begitu pucat bagai tembok ruangan itu.
“Sebelum operasi ia meneleponmu. Ia bersikeras, namun kau tidak mengangkatnya. Ada apa sebenarnya antara kau dan dia?” Jenny berkata pelan disampingku. “Katakan padaku. Apa sebenarnya yang terjadi?”. Sorot matanya penuh emosi, mengintimidasi. Sedetik aku terpaku, tidak tahu harus berkata apa.
“Aku mencintainya.” Setelah sekian lama aku pendam, ini kali pertama aku mengatakan ini dengan gamblang. Aku bergetar, ujung-ujung jariku ngilu, namun rasanya sungguh benar.
“Apa?”
“Aku mencintainya. Ia mencintaiku. Aku mencintai Ken, Jen. Aku mencintainya.” Kata-kata itu meluncur dari mulutku, pelan namun tegas.
Kemudian Jenny menamparku. Di depanmu, di depan orangtua kita, di depan orang-orang di ruangan itu. Aku diam, tidak merasa harus berbicara.
“Kenapa kau tidak pernah bilang?” Suara Jenny cukup jelas untuk didengar tiang-tiang marmer kaku di ruangan itu.  
“Kenapa?” Jenny kembali histeris, kemudian jatuh terduduk. Semua orang sibuk menenangkannya, memapahnya sambil melempar pandangan penuh tanda tanya padaku.
Aku kembali terdiam.
Kalau aku bisa, aku sudah mengatakannya. Dari dulu. Dari saat pertama kita bertemu. Seandainya aku punya cukup keberanian. Seandainya kau dan Jenny tidak pernah dijodohkan. Seandainya saja Jenny tidak tergila-gila padamu. Seandainya aku tega melukai hati Jenny dari dulu.
Aku memulai membaca lipatan kertas putih itu. Tulisan tanganmu agak sedikit berbeda, lemah dan agak bergetar. Mungkin surat itu kau buat dengan tenaga terakhirmu.


Dear Reza,
Hei, sudah lama kita tidak berjumpa. Sampai saat kau membaca surat ini, kau pasti sudah tamat kuliah.
Seandainya saja kau bertahan selama itu.
…Aku tidak tahu seperti apa rupamu sekarang, yang pasti hari terakhir aku melihatmu, bayanganmu masih terpatri di benakku. Jujur saja, aku berharap kau tak berubah.
Jadi, apa kabarmu sekarang? Baik-baik, kan? Aku disini juga baik-baik saja, meski aku tidak yakin. Ya, tanpamu aku memang tidak pernah baik-baik saja. Langsung saja, tujuanku membuat surat ini sebenarnya..aku minta maaf. Atas segala hal yang aku lakukan.
Maaf aku tidak berusaha cukup keras untuk mempertahankan dirimu.
Aku yang salah, maaf.
            Maaf aku terlalu lemah sampai-sampai aku tidak bisa memperjuangkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Kau selalu kuat. Aku, akulah yang lemah.
            Maaf aku sudah membuatmu pergi.
Kau tidak membuatku pergi, aku sendiri yang pergi.
            …dan maaf sudah membuatmu menghadapi masa sulit.
Kau yang dipersulit, maafkan aku.
            Aku tidak tahu apakah kau merindukanku atau tidak, tetapi aku sangat-sangat-sangat merindukanmu. Aku yakin kau tahu itu.
Aku merindukanmu sampai-sampai nadiku rasanya berhenti berdenyut, terhimpit rindu.
            …dan mungkin aku sangat pengecut, hanya bisa mendatangi tempat ini untuk melampiaskannya.
Akupun begitu.
            Keadaan tidak mendukung, takdir juga tidak bisa meluluskan sedikit saja konspirasi untuk mempertemukan kita lagi.
            Jujur, aku juga tidak bisa lagi berharap untuk merangkulmu seperti saat-saat kita dulu bersama. Aku ingin, tetapi aku tidak bisa. Tapi setidaknya, tolong izinkan aku untuk berharap kau tidak akan melupakanku. Boleh, kan?
Aku tidak akan bisa meskipun aku ingin.
            Tentang Jenny dan pernikahanku dengannya, mungkin bodoh aku mengakuinya sekarang, tapi aku tidak pernah mencintai dirinya seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon kau percaya. Satu-satunya alasan yang benar-benar membuatku akhirnya menikahinya adalah dirimu. Tapi aku tidak berhak menyalahkanmu karena lagi-lagi inipun karena kelemahanku sendiri.
Tentu kau tahu, 19 tahun perbedaan umur kita tidak sama sekali bermasalah bagiku. Justru 19 tahun itu angka yang menurutku sudah Tuhan suarakan untukku. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku selalu bersyukur kau tercipta 19 tahun setelahku. Kau belum tentu kau yang kucintai jika kau tercipta sebelum atau setelahnya. Tapi, aku tidak perlu lagi peduli.
Yang kuketahui sekarang, sebening kristal, aku mencintaimu.
Aku juga mencintaimu.
            …dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
Tak ada pula yang bisa mengubah perasaanku padamu.
            Semestaku berpusar padamu.
Setiap helaan nafasku bertumpu padamu.
            Kau adalah bagian dari hidupku, yang paling istimewa.
Kau, bagian jiwaku yang sangat berharga.
            Saat-saat kita bersama adalah saat-saat yang paling indah.
Oh, apapun akan kulakukan untuk mengulangnya.
            Mungkin cuma itu yang ingin aku sampaikan. Yang  jelas, aku berharap kau tahu bahwa cintaku, untuk selamanya, hanya untukmu. Sampai bertemu di kehidupan yang lain, Reza.
           
                                                           
                                                                                                Dari Ken, yang mencintaimu.
           
P.S: Aku yakin aku tetap akan mencintaimu jika kau menjadi laki-laki.   
           
Aku tertawa membaca kalimat terakhir suratmu, tawa yang sesaat kemudian mengalirkan kepahitan ke sekujur tubuhku. Tawaku berubah menjadi tangis, secepat kau pergi dari hadapanku; begitu saja.
Aku melihatmu di kepalaku, menutup surat dengan hati-hati, melipatnya menjadi empat bagian, dan memasukkannya ke dalam amplop. Kemudian sambil menarik nafas panjang kau meraba celah di bangku kayu lalu mendorongnya masuk. Kau berdiri, menatap senja untuk yang terakhir kali, dan melangkah pergi.
Langit sudah gelap, malam telah melahap senja. Aku memandang suratmu dibawah sinar rembulan sebagian, menutupnya, dan meletakkannya di atas bangku. Aku menghapus air yang meleleh di pipiku. Mataku menyusuri padang ilalang kita untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan tentang kita, menyimpan sisa bayangan dirimu di sudut terdalam hatiku, dan membawa cintamu bersamaku untuk menjalani kehidupan yang baru tanpa dirimu.    

Minggu, 24 Mei 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi - Bram

Aku mulai menjadi perokok ketika masuk kuliah. Sebenarnya aku sudah pernah menghisap gulungan nikotin dan tar itu beberapa kali waktu SMA; akibat pergaulan dengan para korban iklan rokok yang selalu menggambarkan pria macho dan dewasa. Sebagai salah satu anak lelaki yang sedang diserang hormon, dan keinginan untuk membuktikan diri tanpa tahu apa yang harus kami buktikan sedang dalam titik puncaknya, rokok dirasa sebagai media yang tepat untuk menjadi penentu kedewasaan kami.  
 Waktu itu, aku belum menemukan kenikmatannya. Rokok hanyalah gulungan yang keluar dari kantong di belakang sekolah seusai bel pulang berbunyi. Dihisap secara sembunyi-sembunyi, berganti-ganti. Aku ingat lagak kami seperti sedang menghisap ganja, padahal hanya rokok kretek yang perbatang harganya dua ribu rupiah. Ritual itu kemudian diakhiri dengan menyemprotkan parfum yang berbau feminim untuk menutupi aroma rokok agar baunya tidak terdeteksi orang tua kami.
 Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di luar kota. Barulah ketika aku tidak tinggal dengan orang tuaku dan menghabiskan sebagian besar waktuku tanpa pengawasan, aku menyentuh benda itu lagi, kali ini tidak dengan tujuan yang konyol seperti yang kulakukan saat SMA. Aku merokok karena aku ingin. Semakin tinggi intensitas pengepulanku, semakin memikat rasanya racun jahanam itu.
Waktu SMA, aku pernah berpikir bahwa aku terlalu pintar untuk terjatuh pada adiksi terhadap rokok. Diluar rendesvouz kecil bersama teman-temanku, aku berpikir bahwa rokok hanyalah untuk bapak-bapak paruh baya yang stress karena terlilit hutang atau para tukang bangunan yang meminum kopinya tanpa gula, yang pandangannya terhadap kehidupan sama dengan selera kopinya; hitam, pahit, kental dan mencekik.
Awalnya benda itu hanya menjadi temanku diatas jam sepuluh malam, ketika aku sedang sibuk menyelesaikan laporan yang harus diserahkan esok pagi pukul delapan, atau ketika jiwa melankoliku mengambil alih dan benakku terisi pemikiran filosofis tentang kehidupan. Dua bulan pertama, aku menghabiskan delapan kotak rokok isi enam belas; ekuivalen 128, ekuivalen 64 rokok sebulan, ekuivalen enam belas rokok seminggu, ekuivalen minimal dua batang sehari. 
Aku tidak pernah merokok di tempat lain selain di kamar kosanku dan ketika aku sendiri. Sebagian besar temanku adalah perokok sosial, para perokok indesisif yang menjadikan rokok sebagai katalis pergaulan. Sebagian lainnya tampak seperti perokok pasif; tapi aku tau beberapa orang yang benar-benar seorang perokok sejati: perokok yang tidak memantik di tempat umum, perokok yang merokok karena mereka memang menikmatinya, perokok yang tidak perlu diketahui semua orang sebagai seorang perokok, dan tidak perlu menggunakannya sebagai alasan untuk memulai percakapan. Perokok, yang seperti aku, menjadikan setiap hembusan asap sebagai teman dalam memroses pikiran-pikiran liar mereka.
Mereka adalah Adit dan Cindy.
Adit adalah teman pertama yang kutemui pada masa ospek. Ia bertubuh kurus, tinggi, dengan kulit sawo matang. Rahangnya tegas, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan matanya tajam. Rambutnya ikal, sesuatu yang baru kuketahui belakangan ketika ia membiarkannya tumbuh panjang. Ia tidak tampan secara konvensional, tetapi ada sesuatu pada dirinya yang bisa menarik para wanita. Mungkin matanya yang memancarkan kharisma dan memberikannya kuasa atas jalan pikiran orang lain, aku tak tahu.
Aku ingat, saat itu kami sedang dimarahi oleh para senior divisi komisi disiplin karena kami memakai sepatu selain warna hitam. Aku memakai sepatu berwarna abu-abu muda, sedangkan Adit memakai sepatu berwarna merah bata. Aku tidak punya sepatu berwarna hitam dan belum sempat membelinya, alasanku. Adit diam saja ketika ia ditanya, sambil pandangannya menatap lurus kedepan. Kami disuruh berdiri di tengah lapangan dan menyanyikan mars mahasiswa keras-keras. Aku, layaknya seorang anak baik cenderung pengecut, meminta maaf dan mulai menyanyikan mars mahasiswa. Adit hanya diam.
Seluruh angkatan menyaksikan hukuman kami dan mulai berkasak-kusuk ketika salah satu senior komisi disiplin yang paling ditakuti berjalan menuju Adit.
“Kenapa bung diam saja? Bisukah bung?” teriaknya di depan wajah Adit.
Adit perlahan mengalihkan pandangannya yang tadinya sedang menatap lurus ke mata senior tersebut, mengunci pandangannya selama beberapa detik, dan dengan santainya berjalan ke pinggir lapangan, mengangkat tasnya, dan melangkah ke luar area ospek.
Semua orang terdiam.
Aku mengecilkan volume suaraku, salah menyanyikan lirik, tetapi tidak ada yang peduli; semua mata tertuju kepada sesosok tubuh kurus yang sedang melenggang ke luar lapangan, menuju parkiran motor. Ia memakai helmnya, menghidupkan mesin motornya dan memacu motornya keluar kampus.
Semua orang tidak ada yang berani bergerak. Semua orang terpukau atas pertunjukan barusan.
Senior galak itu berang, mencoba mengejar motor Adit, tetapi berakhir menjadi suatu pertunjukkan konyol bagi para mahasiswa baru. Setelah itu para komdis lain sibuk menenangkan keriuhan para maba, dan acara dilanjutkan seperti seharusnya. Senior galak itu pergi entah kemana, dan Adit tidak pernah terlihat lagi sepanjang ospek dan hari-hari ospek berikutnya.
Semenjak itu Adit menjadi semacam legenda di kalangan para mahasiswa angkatan kami dan angkatan yang mengospek kami. Para lelaki ingin menjadi temannya, dan para wanita ingin mengenalnya lebih dalam. Para senior yang tidak menyukai senior galak itu diam-diam senang, dan untungnya senior galak itu tidak bisa berlama-lama mengurusi kesumatnya pada Adit karena dia harus segera menyelesaikan skripsi dan keluar dari kampus itu. Rupanya dia mempunyai cukup akal sehat untuk tidak melakukan hal-hal yang akan mempermalukan dirinya sendiri kelak.
Adit dan aku sekelas dalam mata kuliah wajib universitas. Rupanya ia adalah seorang yang humoris, kritis, dan brilian. Dosen-dosen dengan cepat menentukan anak kesayangannya, dan para perempuan-perempuan langsung mengukur jarak target dan bersiap meluncurkan panah cinta mereka ke Adit. Popularitasnya menanjak.
Ia mengenaliku dari hari pertama masuk kelas sebagai si sepatu abu-abu, karena hal itulah yang membuatnya sadar pertama kali atas keberadaanku. Kami menjadi cukup akrab, dan seringkali mengerjakan tugas bersama.
Saat pertama kali mengunjungi kosannya untuk mengerjakan tugas, aku dikagetkan dengan bau asap rokok yang cukup menyengat dari kamarnya. Aku, hingga saat itu, tidak pernah melihat ia merokok, baik ketika kami hanya berdua maupun ketika kami sedang nongkrong dengan anak-anak yang lainnya.
“Iya, gue merokok.” Ucapnya singkat ketika aku menanyakan perihal bau rokok tersebut.
“Tetapi gue gak pernah liat lo ngerokok sebelumnya. Baru?”
Adit terkekeh dan meraih laptop dari dalam tasnya.
“Gue ngerokok sejak SMP, Bram. Gue bisa aja ngeabisin satu kotak satu hari.”
“Tapi.. lo nggak terlihat seperti perokok, lo bahkan gak bau perokok.”
“Jangan bodoh, Bram, ilmu pengetahuan sekarang tuh udah canggih. Air freshner udah banyak, jendela udah bisa dibuka-tutup, pewangi pakaian udah bisa ganti-ganti bau kalau di sentuh, dan pasta gigi udah disatuin sama mouthwash.”
Adit menyalakan laptopnya dan menyalakan lagu Bob Dylan. Aku tahu dia adalah fans beratnya Bob Dylan, terkadang tanpa sengaja ia mengimplikasikannya dalam percakapan kami.
“Dan gue tahu lo juga ngerokok, Bram. Keliatan kok, meski lo gak pernah ngerokok di luar.”
“Iya, gue ngerokok. Gue akuin kadang gue ke kampus masih pake baju yang bau rokok. Gue gak nutup-nutupin kok, cuma males aja ngerokok di luar.” Aku memperhatikan ruangan kamar Adit. “Lo, kenapa lo nutup-nutupin fakta kalau lo ngerokok? Lo takut ketahuan orang?”
Adit tertawa.
“Gue emang males ketahuan orang, tapi bukan dengan alasan apapun yang saat ini lo pikirin.” Ia menghela napas, “Bagi gue momen ngerokok itu personal, suatu hal yang gak perlu dicampurin sama orang lain. Gue ngerokok bukan untuk nyari perhatian, bukan untuk gaya-gayaan. Ngerokok udah jadi placebo buat gue. Masalah gue rasanya jadi bisa diselesaikan. Cue gue buat mikir lebih dalam. Mungkin bukan bener-bener nikotin dan racun-racun itu yang gue butuhin, tetapi menghisap dan mengepulkan asap itu.”
“Lo tau gak sih ini gak sehat?”
“Gue tau, dan gue yakin lo juga tau. Makanya gue berusaha mengimbanginya dengan pola makan dan olahraga yang sehat, biar gak cepet mati aja.”
Giliran aku yang tertawa.
“Lo tau gak sih kenapa kita bisa cepet akrab gini?”
“Hm?”
“Gue rasa kita anak kembar yang dipisah sejak lahir.”
“Ngaco lu.”
Tawa kami berderai disela-sela latunan suara Bob Dylan.
Kami bergaul dengan banyak anak-anak lintas fakultas, karena dengan tidak lulusnya ospek Adit membuat ia tidak bisa mengikuti kepanitiaan di dalam jurusan kami, sehingga kepanitiaan yang dia jalankan semuanya bertingkat universitas yang notabene akan diikuti anak-anak dari berbagai macam fakultas.
Cindy adalah salah satu staff kepanitiaan yang kami ikuti. Aku dan Adit bersama dalam divisi perlengkapan, sementara Cindy di divisi publikasi dan dokumentasi. Dari awal aku sudah melihat ketertarikan Adit pada Cindy. Kami mulai sering nongkrong bersama, mengobrol, dan bermain kartu.
Cindy adalah tipe perempuan yang akan dengan mudah menjadi populer; tubuhnya tidak terlalu tinggi tetapi langsing dan berisi di tempat yang tepat, rambutnya cokelat tua sebahu, hidungnya tidak mancung tetapi juga tidak pesek, kulitnya putih, dan yang paling menonjol adalah matanya yang penuh dengan kehidupan; bersinar dan cerah. Selain itu, Cindy juga aktif berorganisasi, ramah, dan ia pernah dengan tak sengaja menyebutkan IPKnya yang nyaris sempurna.
Kami semakin dekat dari hari ke hari. Kami hampir setiap hari bersama, dan tak terpisahkan. Cindy mengetahui kebiasaan aku dan Adit, merokok diam-diam, dan rupanya Cindy juga melakukan hal yang serupa; merokok dan tidak mengungkapkannya ke siapa-siapa, meskipun awalnya dengan alasan yang berbeda.
Cindy selalu menjadi anak yang dibanggakan keluarganya. Dengan perfeksi sedemikian rupa, hal tersebut tidak mengherankan. Ia tumbuh menjadi seseorang yang perfeksionis, tidak bisa menerima kekurangannya, dan terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Tentu saja, merokok merupakan suatu hal yang, awalnya ia haramkan.
“Apa yang buat lo akhirnya nyentuh rokok pertama lo?”
Adit bertanya di sela-sela sesi merokok dalam diam yang mulai sering kami lakukan bersama.
Cindy menghembuskan asapnya ke udara dan menatap langit. Kami sedang berada di lantai paling atas rumahnya. Kami sudah lumayan sering berkunjung ke rumah Cindy, dan bahkan sudah mengenal kedua orang tuanya. Malam ini rumah Cindy sedang kosong, karena kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri mengunjungi kakaknya. Cindy meminta kami untuk menemaninya malam ini, tentu saja tanpa memberi tahu kedua orang tuanya.
“Jujur, temen-temen main gue di univ. Mereka maksa gue buat nyoba, dan ternyata emang not bad. Awalnya gue in denial, gue anak baik-baik, rokok tuh cuma akan merusak hidup gue. Gue berusaha jadi liberal, open minded, gue gak akan jadi preachy, dan gue juga gak akan jadi ikut-ikutan ngerokok cuma gara-gara gue kebelet gaul.”
“Mereka sengaja ninggalin sekotak rokok di kamar gue, sesuatu yang waktu itu gue sumpah gak akan gue sentuh. Suatu hari, gue lagi hethic banget sama salah satu kepanitiaan gue. Gue, being as sensitive as always, semua gue bawa overthinking. Gue gak bisa tidur. Disaat gue sedang guling-guling gelisah di kasur gue, gue keinget sekotak rokok itu. Saat itu gue berpikir, what harm can this little piece do. Jadilah gue bawa rokok itu keatas sini diam-diam, dan menyalakan rokok pertama gue disini.”
“Gue ingat malam itu langit cerah banget. Bintangnya banyak. Gue nyalainlah rokok gue. Gue menarik nafas pendek-pendek awalnya, karena gue emang gak terbiasa. Gue menikmati rokok gue sambil menatap bintang. Makin lama makin panjang tarikan gue. Untuk pertama kali dalam minggu itu, gue merasa tenang. Gue ngehabisin dua batang.”
“Gue gak ngerti kenapa ngerokok bisa bikin efek kayak gitu. Mungkin ada hubungannya dengan kita yang bener-bener ngejaga irama nafas kita waktu ngerokok, atau emang langit malam itu yang emang bagus banget, atau gue menemukan sesuatu hal yang bisa gue jadikan kekurangan gue tanpa ada orang yang tahu.”
 “Orang tua lo belom tau lo ngerokok?”
“Mereka udah tahu karena gue ngaku. Awalnya mereka marah, memang. Tapi papa sendiri adalah seorang perokok berat, dan dia gak bisa nyeramahin gue rokok-itu-berbahaya and stuff. Mama juga kadang merokok, meski tidak sering dan dia tutupin. Gue pernah mergokin mama ngerokok waktu lagi arisan sama temen-temennya. Akhirnya mereka cuma bisa bilang jangan sering-sering, dan mereka nganjurin buat ngeganti rokok gue dengan rokok elektrik. Tapi tetep aja, kadang rokok elektrik gak nendang. Gue masih ngerokok biasa, kayak sekarang.”
Sisa malam itu kami habiskan dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sambil menatap bintang.
***
 Tidak lama setelah itu, Adit dan Cindy berpacaran. Aku agak kaget dengan berita itu, karena setiap kali kami bersama, tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi secepat itu. Memang benar Adit menyukai Cindy sejak awal, tetapi Cindy tidak menunjukkan hal yang sama, hingga aku tidak mengira hal itu akan terjadi dalam waktu dekat.
Meski Adit dan Cindy telah resmi dalam status pacaran, hubungan kami tidak berubah. Setiap kali ada yang bertanya apakah aku merasa tereksklusi dalam hubungan itu, aku tidak dapat memberikan jawaban yang mereka inginkan, karena semua hal tetap sama seperti dulu. Mereka tidak pernah melakukan Public Display Affection ketika kami bersama. Tentu saja ada kalanya mereka hanya menikmati waktu mereka berdua tanpa aku di sana, tetapi kedekatan kami sama sekali tidak memudar. Kami masih sering menikmati ritual kami bersama di atap rumah Cindy, dengan atau tanpa diketahui kedua orang tua Cindy. Mereka adalah orang-orang baik dan ramah, dan kami lebih daripada disambut di rumah itu. Mereka juga tahu kalau Adit dan Cindy sudah berpacaran, karena Adit sekarang lebih sering berkunjung tanpa diriku.
***
Tiga bulan kemudian, saat aku sedang menikmati rokokku dalam diam seperti biasa, telponku berdering dari nomor yang tidak kukenal. Aku tidak biasanya mengangkat nomer yang tidak kukenal, apalagi saat aku sedang menikmati kesendirianku.
“Halo?”
“Selamat sore, apa anda kenal dengan saudara Aditya Pradipta?” suara di ujung telepon terdengar tergesa-gesa. Di belakangnya terdengar sirine meraung-raung dan bunyi besi-besi berdenting. Jantungku, tanpa diperintah, langsung berdegup kencang.
“Iya benar, saya temannya. Saya Abraham.” Kataku sedikit begetar.
Suara di ujung telepon kemudian menyebutkan nama sebuah rumah sakit dan memerintahkanku untuk datang secepatnya.
Dengan tergesa aku mematikan rokokku, menekan nomor Cindy, dan menyambar kunci motorku. Nomornya tidak aktif. Aku melompat ke motorku dan membelah jalanan menuju rumah sakit tersebut.
Tidak sampai setengah jam kemudian aku telah sampai di rumah sakit tersebut dan setengah berlari aku menghampiri meja resepsionis.
“Permisi, mbak, saya temannya Aditya Pradipta dan saya dihubungi untuk segera kemari. Ada apa ya?” Aku kehabisan nafas, sebagaian karena berlari, dan sebagian karena gugup.
Petugas resepsionis itu menatapku dengan iba dan menyuruhku untuk menunggu sebentar. Tak berapa lama muncul seorang pemuda berbaju biru dan menghampiriku. Ia mengulurkan tangan. 
“Saya Eli, saya perawat yang sedang bertugas. Apa benar anda mengenal saudara Aditya Pradipta?”
“Benar, pak. Ada apa dengan Adit, pak?” aku tidak bisa menahan getaran di suaraku. Apapun yang terjadi, aku tidak menyukai rumah sakit. Baunya selalu membuatku gugup, orang-orang didalamnya selalu berwajah muram, dan suasananya membuatku merasa tercekik.
“Panggil saja Eli. Ayo ikut saya.”
Aku mengikutinya dengan patuh. Selama kami berjalan Eli menjelaskan kepadaku apa yang terjadi terhadap Adit. Adit sedang mengendara dengan motornya dan menerobos lampu merah. Sebuah truk menabraknya dari samping, dan Adit terpental dari motornya beberapa meter. Kepalanya membentur trotoar dengan keras, dan merupakan suatu keajaiban ia tidak meninggal di tempat. Adit berada di ICU, denyut nadinya sangat lemah, dan dokter memperkirakan ia tidak akan selamat dan bertahan lebih lama lagi. Semua informasi itu berlalu di kepalaku, dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhku berjalan dalam autopilot. Yang sejatinya sedang menghadap ajal adalah Adit, tetapi aku merasa dirikulah yang sedang mengalami rangkaian kilas balik memoriku bersama Adit. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, yang jelas rasanya dadaku mau pecah.
“Kami mencoba mencari kontak keluarganya, tetapi kami tidak bisa menemukannya di handphonenya. Nomor anda, beserta satu nomor lainnya, adalah nomor yang paling terakhir dihubunginya, tetapi satu nomor lain itu tidak aktif. Kami masih mencari tahu yang harus dihubungi.”
Aku ingat bahwa handphone itu masih baru, dan mungkin Adit belum memasukkan nama kontak di handphone tersebut. Adit tidak pernah menyentuh sosial media, dan ia baru mengganti handphonenya karena Cindy mendesaknya untuk memiliki setidaknya satu aplikasi chatting, untuk memudahkan komunikasi mereka.
Ia membawaku ke suatu ruangan dengan sebuah TV yang menyala. TV itu menampilkan orang-orang berjubah putih dengan masker dan penutup kepala mengerumuni sebuah tempat tidur, yang kuasumsikan tempat Adit berbaring.
“Para dokter masih berusaha menyadarkannya. Dia sudah mengalami dua kali berhenti jantung. Dia kehilangan banyak darah, dan…” Eli berdeham dan menatapku. “Maaf, apa perlu saya lanjutkan? Maaf apabila informasi ini membuat anda tidak nyaman, saya belum terlalu berpengalaman untuk menyampaikan berita.”
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap Eli. “Kapan saya akan bisa menemuinya?”
Eli menatapku dengan iba dan mengalihkan pandangannya ke TV tersebut. “Mungkin sebentar lagi.”
“Apa anda tahu nomor keluarga yang bisa dihubungi?”
Aku menggeleng. Selama delapan bulan aku mengenal Adit, tidak satu kalipun dia menyebut tentang keluarganya. Selama ini aku mengira Adit hanya tidak begitu dekat dengan mereka, dan aku belum berminat untuk bertanya lebih lanjut.
“Baiklah, pihak rumah sakit akan mencari tahu lebih lanjut. Untuk sementara, apakah anda bersedia menjadi wali dari yang bersangkutan?”
Aku mengangguk lemah.
“Baiklah, saya akan pergi sebentar, apakah anda butuh sesuatu?”
Aku menggeleng. Elipun berlalu.
Aku mengeluarkan handphone dan menekan tombol Cindy, sambil tidak melepaskan pandangan dari layar TV.
Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif….”
Aku mencoba tiga kali, dan kali keempat aku merasakan air membasahi pipiku. Air mata itu jatuh begitu saja tanpa kutahan, tanpa kurasakan. Aku tidak tersedu, tapi airmata itu tidak berhenti mengalir.
Sudah empat jam berlalu, layar TV masih menunjukkan segerombolan orang memakai baju putih melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Eli telah datang beberapa kali membawakanku minum, dan terakhir datang ia mengatakan telah mendapatkan kontak salah satu keluarga Adit. Mataku sembab dan mulai terasa sakit. Aku memutuskan untuk kembali mencoba menghubungi Cindy.
Kali ini nada sambung terdengar. Pada bunyi keenam, telepon diangkat.
“Halo?” Suara Cindy terdengar pelan di seberang telepon. Aku tidak sanggup berkata-kata.
“Halo? Bram? Ada Apa?”
Aku mengumpulkan suaraku. Aku menyebutkan nama rumah sakit dan menyuruhnya datang segera. Suaraku tercekat.
“Ada apa? Ngapain lo di rumah sakit? Bram?” Cindy terdengar panik.
“Adit…adit.” Aku tidak dapat melanjutkan kalimatku. Tangisku pecah. Telepon ditutup.
Tidak berapa lama pintu terbuka, dan muncul muka Cindy, pucat, dengan infus di tangan kiri dan pakaian serupa kain yang tidak berbentuk. Di belakangnya Eli mengekor.
Cindy langsung menghambur ke pelukanku, tangisnya pecah. Kami berdua saling berpelukan tanpa berkata-kata. Airmatanya membasahi bagian depan kausku, dan aku tak punya cukup airmata lagi untuk membasahi pakaiannya. Cindy melepas pelukannya dan terduduk menatap monitor. Gerombolan orang-orang tadi sudah berkurang, dan aku melihat dua orang sedang mencabuti alat-alat yang menempel di badan Adit. Aku melihat indikator jantungnya tak lagi membentuk gelombang. Aku melihat para dokter terdiam sebentar di depan Adit, kemudian mematikan monitor jantungnya.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Cindy pingsan, dan Eli dengan sigap memanggil perawat lainnya dan memindahkannya ke ruangan lain. Aku jatuh terduduk; untuk beberapa saat panca inderaku berhenti berfungsi. Tak berapa lama aku menyusul Cindy.
***
Aku terbangun beberapa saat kemudian di atas sebuah sofa. Di seberangku terlihat Cindy sedang berbaring di ranjang, terbangun dan menatap kosong langit-langit. Pintu terbuka dan masuk Tante Reza, mamanya Cindy.
“Hai nak Bram, gimana keadaan kamu?” Otakku masih memeroses kejadian beberapa jam kebelakang. Karena tidak mendapatkan jawaban dariku, Tante Reza melangkah menuju anaknya dan mengelus rambutnya. Aku melihat airmata Cindy kembali mengalir. Tante Reza bangkit dan mengisi sebuah gelas dengan air dan memberikannya kepadaku. Aku mengambilnya dan meminumnya hingga habis; aku belum minum beberapa jam terakhir.
“Nak Bram tidur disini aja dulu, ya. Besok pagi tante anter balik kosan. Kamu mau ngabarin orang tua kamu?”
Jam diatas pintu menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Aku menggeleng.
“Besok aja. Makasih tante.” Kataku parau.
Tante Reza tersenyum. Tidak berapa lama beberapa orang petugas rumah sakit datang membawakan tempat tidur ekstra.
“Kamu pake tempat tidur ini aja ya. Tante pake sofa aja.”
“Gak usah tante, saya di sofa saja.”
“Tidak apa, nak. Tante juga akan segera pulang. Kamu jagain Cindy ya. Tante akan datang besok pagi-pagi sekali.”
Akhirnya aku merangkak ke atas tempat tidur tersebut dan terlelap hingga besok paginya.
***
Esoknya aku terbangun dan mendapati Tante Reza sedang duduk sambil membaca koran di samping Cindy. Cindy berbaring membelakangiku, jadi aku tidak tahu apakah dia benar-benar masih tidur.
Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri Tante Reza.
“Saya pulang dulu ya, Tante.” Kataku pelan. 
“Oh, kamu mau pulang sekarang? Tante bilang sopir rumah sakit dulu, ya.”
“Gak usah, tante, saya pake motor saya aja. Saya bawa motor kok.”
Ia terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya ia tersenyum.
“Yaudah, kamu hati-hati ya.”
“Makasih Tante, salam untuk Cindy kalau ia sudah bangun ya.”
“Iya, terimakasih ya nak. Oh ya, jangan bilang siapa-siapa soal Cindy sampe kamu ngomong sama Cindy ya.”
Aku mengernyit. Saat itu aku baru sadar bahwa Cindy sedang diinfus dan, saat ia menemuiku di ruang pengawasan, sedang menggunakan baju pasien. Berarti, Cindy sendiri merupakan pasien saat itu.
“Cindy sakit, tan?”
Ia menghela nafas. “Iya, tapi gak ada yang perlu tahu ya, Bram. Nanti kalau Cindy udah baikan, kalian ngobrol aja dulu.”
Aku mengangguk patuh, tersenyum sopan, dan berlalu.
Di koridor aku bertemu Eli.
“Selamat pagi Bram. Sudah mau pulang?”
“Iya. Terimakasih ya. Bagaimana keluarga Adit, apakah sudah ada yang datang?”
“Sudah, kakak laki-lakinya. Katanya mereka hanya tinggal berdua. Dia sudah pulang untuk memberitahu keluarganya yang lain.”
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih sekali lagi, dan menuju parkiran motor untuk pulang ke kosan.
***
Aku mengabarkan berita dukacita tersebut melalui SMS ke salah satu teman kelasku. Aku juga mengirim kesan kepada orangtuaku, sekaligus mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan tidak sedang ingin ditelpon. Aku terlalu lelah untuk sekedar menelepon, dan aku sedang tidak ingin dirubungi pertanyaan. Tentu saja detail bahwa Cindy juga dirawat tidak kuceritakan, seperti pesan Tante Reza.
Sekitar pukul 11 masuk sebuah sms dari keluarga Adit, yang mengucapkan terimakasih sekaligus mengabarkan pemakaman Adit akan diselenggarakan lusa di pemakaman keluarga mereka. Aku meneruskan pesan itu ke Cindy dan teman-temanku, dan mereka mengucapkan berbelasungkawa sekaligus berjanji untuk mengumpulkan sumbangan saat menghadiri pemakaman tersebut.
Aku menghabiskan dua hari berdiam di dalam kamarku merokok sambil mendengarkan lagu-lagu Bob Dylan. Airmataku sudah habis, dan aku tidak punya hasrat untuk berbicara kepada siapapun. Aku hanya makan dua kali selama dua hari itu, dan menghabiskan waktuku menatap dinding dan langit-langit kamar. Pada pagi hari ketiga, aku mandi dan bersiap untuk mendatangi pemakaman Adit. Aku membuka jendela dan menghirup udara bebas.
Aku sadar, setiap kali aku merokok, aku akan selalu teringat Adit, dan aku tidak tahu apakah aku akan memutuskan untuk berhenti atau tetap merokok untuk merasakan kehadirannya disisiku.

Aku meninggalkan jendela dalam keadaan terbuka, berharap bau rokok yang kubakar selama dua hari terakhir akan berganti dengan udara segar, dan pergi membelah jalanan menuju peristirahatan Adit yang terakhir.