Senin, 29 September 2014

Maut Tetap Tak Mampu, Sayang. (Terinspirasi dari lagu MAGIC! - Rude)




Hari Sabtu.
Hari ini harus menjadi hari yang indah. Aku bangun pagi-pagi sekali, mandi dengan sabun yang baru kubeli, dan meyikat gigiku hingga berdecit. Kau biasanya mengeluhkan tingkat higienitasku yang hanya nyaris menyentuh normal, tapi hari ini tidak akan kubiarkan kau mengomeliku tentang hal itu.
 Hari ini harus menjadi hari yang sempurna. Kukenakan kemeja baru berwarna abu-abu gelap; warna kesukaanmu, yang katamu merupakan warna yang paling sempurna menggambarkan kehidupan, dan celana panjang yang sebelumnya nyaris tidak pernah kusentuh kecuali sewaktu misa gereja di Minggu pagi.
Aku melangkah cepat, nyaris berlari menuju mobilku; aku tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, sudah cukup aku taruhkan waktuku yang lalu untukmu. Hari ini juga,  akhirnya, akan kubuat mereka semua terkejut akan cintaku padamu.
Ah, itu dia rumahmu. Kurasakan telapak tanganku mulai berkeringat, dan aku mulai gelisah. Rupanya perasaan ini lebih menegangkan dibandingkan sidang skripsi. Jantungku berdegup kencang, sanking kencangnya bisa kudengar di telingaku. Ah sayang, aku datang.
Ayahmu membukakan pintu; wajahnya muram, seperti baru saja kehilangan salah satu koleksinya yang berharga. Ia mempersilahkanku masuk, dan kulihat banyak orang sudah menunggu dan mengelilingimu.
Sayang, kau cantik sekali hari ini.
Kau tersenyum samar.
Kau selalu cantik, sayang. Gaunmu, yang berenda-renda, hari ini bagus sekali. Putih, seputih kulitmu. Bibirmu,  yang dipulas gincu, sungguh menggodaku. Merah, semerah korsase yang diselipkan ditanganmu. Matamu, yang dipulas riasan coklat keemasan, sungguh menawan. Keemasan, laksana bintang yang kau tunjukkan padaku dimalam-malam yang lalu.
Aku mengecup keningmu, dan memberanikan diri untuk menghadap ayahmu.
Pak, izinkan saya meminang putrimu.
Saya ingin bersamanya sampai mati, pak. 
Bisakah saya memilikinya seumur hidup saya? 
Tolong jangan katakan tidak, pak.
Wajah ayahmu terkejut, lalu menatapku dengan marah.
Dia mengamuk, mengatakan aku gila.
Dia bilang dia tidak akan mengizinkan kau pergi denganku. Tidak akan pernah.  
Dia merangsek dan menamparku. Mengataiku bocah sinting yang hilang akal.
Dia bilang dia tidak merestui hubungan kami. Tidak akan.
Aku berang. Kenapa dia harus memperlakukanku seperti itu di hadapan orang-orang? Kenapa dia harus bersikap begitu kasar kepadaku? Kenapa dia melarang aku mencintaimu? Kenapa dia mengatakan aku gila ingin menikah denganmu?
Aku hanya manusia biasa yang telah jatuh cinta denganmu.
 Aku tidak peduli. Kuhempaskan tubuhnya yang menghalangiku darimu, dan kutarik tanganmu. Kuseret tubuhmu menjauh sementara ayahmu mencoba bangun. Semua orang terdiam, ternganga akan aksiku. Biarlah, biar mereka semua mengira aku gila, yang penting aku bisa bersama denganmu.
Ayahmu berteriak dan seketika mereka semua sadar. Mereka bangkit dari duduknya dan mencoba menghalangiku yang akan membawamu pergi.
Tidak, tidak akan aku biarkan ini terjadi.
Aku benci melakukan ini, tapi mereka semua tidak memberiku pilihan lain. Aku tdak bisa hidup tanpamu. Mereka semua boleh menggila karena hal ini, tapi aku tidak akan berhenti memperjuangkanmu. Kuangkat tubuhmu dan berlari melintasi halaman rumahmu. Kita harus kabur, sayang. Ke planet lain, kalau bisa. Kita harus selalu bersama. Kau harus ikut kemanapun aku pergi, karena kau mencintaiku.
Kau mencintaiku, kan?
Aku berhasil membawamu kedalam mobilku sementara mereka meneriaki aku. Aku melihat wajah ayahmu diantara mereka; menangis, memanggil-manggil namamu; menggila, memanggil-manggil namaku. Semua orang seakan tidak waras, semua orang seperti segerombolan ayam yang baru dibebaskan dari kandang yang kesempitan.
Aku menoleh kepadamu yang berada di kursi penumpang. Kau tetap pada senyummu yang samar, dan mata yang terpejam. Tubuhmu agak kaku dan menekuk aneh sehabis aku menggendongmu, jadi kuberhentikan mobilku agak jauh dan membetulkan posisimu.
Aku memperhatikan lagi wajahmu.
Ah, kau cantik sekali, sayang.
Kuselipkan korsase merah yang tadi sempat jatuh ke telingamu.
Nah, makin cantik.
Bagaimana, kau bahagia? Kita tidak perlu lagi berurusan dengan ayahmu yang kasar itu. Kita tidak perlu lagi peduli kata orang. Kita tidak perlu lagi peduli dengan semuanya, kecuali cinta kita berdua.
Aku sudah mempersiapkan pernikahan kita di greja besok. Seperti yang selalu kukatakan, aku pasti akan menikahimu, bagaimanapun caranya. Aku akan menepati janji, dengan atau tanpa restu ayahmu. Kita akan menjadi keluarga kecil yang bahagia, tanpa ada yang menggangu.
Kau hanya tersenyum samar.
Aku kembali menjalankan mobilku dan mendendangkan lagu kesukaanmu.