Rabu, 13 Maret 2013

Dua. Atau empat ?


“Bodoh!”
“Kau tidak mengerti!”
“Aku mengerti! Kau yang tidak!”
Diam.
“Kau tahu aku mencintainya?”
Ia mengangguk. Rambutnya tergerai lepas ke bahunya.
“Dan kau tahu aku sudah banyak berkorban untukmu? Aku bahkan membiarkan dia mencintaimu!”
“Tapi aku hanya mencintaimu!”
“Tolol! Kau tidak mengerti? Dia mencintaimu setengah mati!”
“Aku tahu! Aku hanya tidak bisa membalas cintanya.” Ia menghela nafas.”aku mencintaimu.”
Dengan frustasi ia menjambak rambutnya.
“Argh! Kau benar-benar tak tahu apa yang kau sia-siakan!”
“Cintailah aku seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon. Cobalah.” Air mata mulai mengalir di pipinya yang kemerahan.
“Tidak! Karena kau sudah mengatakan bahwa kau tidak mencintainya, aku akan mengambilnya darimu.”
“Jangan! Tetaplah denganku!”
“Lepaskan aku!”
“Tolonglah…Aku mencintaimu. Sepenuh hati. Segenap jiwa!”
“Kau tidak punya hati! Kau bahkan memakai jiwaku!” tudingnya. Menunjuk dengan ganas.
Ia merosot ke lantai dan terisak.
“Aku mencintaimu! Tetaplah denganku, jadilah seperti dulu!”lolongnya. Suaranya membuat perih dan menyakitkan jiwa.
“Kau!” ia menunjuk tepat tulang hidungku. “Kau merebut dia dariku! Lebih baik mati saja kau!”
Ia merangsek maju dan meraih sebilah pisau dari atas mejanya yang keropos.
“TIDAK! Kau yang mati!”. Ia melompat dan menerjang.
“Lepaskan! Kita baik-baik saja sebelum ia datang! Ia ingin mengubah semuanya!”
“Kau gila!” Ia mencakar kesana kemari.
“Cintailah aku!” raungnya.
“Tidak ! Aku mencintainya!”
“Ia ingin mengubahmu! Lihatlah kau sekarang! Kau hanya terpesona sesaat! Kau berubah karenanya! Aku tidak suka itu! Kau hanya milikku!”
Nafasnya terengah-engah ketika ia menggerakan tenaganya untuk bertahan dan mendorong.
“Aku akan membunuhnya!” dengan sekali sentakan ia berdiri tegak dan mengacungkan pisaunya di atas kepalaku.
“JANGAN!” Ia menerjang, aku menghindar. Ia terjatuh, dan terkapar di lantai; tak bergerak. Pisau menembus tepat di ulu hatinya.


*# * #*

Dia gila; jelas-jelas gila.  Aku menghembuskan nafas terburu-buru, mencoba tenang. Bulir-bulir keringat mengucur di seluruh tubuhku, seakan-akan pori-pori kulitku berdiameter satu senti.  Aku mengerjap beberapa kali dan menyadari bahwa isi perutku ingin keluar. Aku menendang dengan liar, mencoba mengendurkan ikatan di kakiku. Tanganku terikat erat di belakang badanku dan sebuah plester berbau ban karet menempel di sekliling mulutku, menahan bibirku dari jeritan-jeritan yang sebenarnya tanpa di tutup seperti ini pun akan sulit keluar.
Aku mengedarkan pandangan, mencari apapun yang bisa mengeluarkan atau setidaknya melepaskan aku sekarang. Mataku tertumbuk pada sesosok tubuh itu di lantai dan kembali merasakan isi perutku bergejolak.
Namanya Stefani; setidaknya itu yang kutahu. Aku pikir ia manis, dapat di andalkan dan satu-satunya wanita yang mau menuruti apapun kataku. Aku pikir aku mencintainya; aku sempat menciumnya beberapa kali di bibir. Tapi memikirnya sekarang menghentakkan rasa muak tak terkira ke ujung-ujung syarafku.
Aku rasa aku mulai tak sadarkan diri semenjak dari bar yang biasa kami kunjungi. Terakhir kali aku melihat wajah inosennya menatapku ketika aku menghabiskan gelas terakhir long-islandku; sebelum aku menyadari dia tidak minum apa-apa seperti biasanya, hanya segelas minuman bersoda. Aku terbangun ketika aku mendengar suara ribut-ribut tadi; dua orang wanita yang cekcok, atau setidaknya aku pikir begitu; dengan tangan terikat di belakang badanku dan simpul di kakiku.
Aku tersadar dengan leher pegal; terlalu lama menunduk; dan ketika aku mendongak untuk melihat siapa yang sedang adu mulut itu, aku terdiam. Itu bukan dua, tapi satu.
Stefani. Stefaniku yang  berbicara. Sendiri. Dengan dua suara yang berbeda.
Dia gila; jelas-jelas gila.
Ia mengamuk dan menjambaki rambutnya sendiri. Memaki-maki. Menunjukku. Menangis dan mengamuk pada saat yang bersamaan. Menyerangku, dan hampir membunuhku. Menerjang hingga dia sendiri yang jatuh menimpa pisau yang tegak lurus tubuhnya sekarang; tertancap.
Aku menyeret bokongku mendekatinya, mencoba memotong tali di tanganku. Bau anyir darah menusuk; bercampur bau pengap. Aku perkirakan ini kamarnya. Kasurnya terparkir di ujung ruangan, kusam, lecek, dan kekuningan. Lampu pijar menyala di atasnya, satu-satunya penerangan di ruangan ini. Aku menutup mata dan menggesekkan taliku ke pisaunya, mencoba bertahan untuk tidak muntah.
Tali itu akhirnya putus. Dengan segera aku melepas plester dan mengeluarkan isi lambungku hingga habis. Aku melihat lagi tubuh itu, lalu muntah lagi hingga yang keluar hanya cairan kuning yang berbau asam dan menjijikkan.  Nafasku menderu dan buru-buru aku melepas ikatan di kakiku dan berdiri. Aku terjatuh dan mencoba berdiri lagi. Kaki kiriku mati rasa. Tapi aku berhasil berdiri dan menyeret kakiku menuju satu-satunya pintu yang berada di sana. Aku menarik nafas dan meraih kenopnya. Terkunci.
Aku mencoba lagi dan menekan kenopnya, memutarnya ke kanan. Tidak bergeming. Aku mencoba lagi dan menendang pintu itu. Rupanya di ruangan yang membusuk ini, pintu itu masih terlalu kokoh. Aku merosot di depan pintu dan mengerjapkan mataku. Panas. Aku rasa aku menangis. Bahuku bergetar dan kakiku lemas tanpa bisa ku cegah.
Aku takut.
Aku hampir saja mati. Hampir.
Aku melipat kakiku. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa dingin. Aku memutar badan dan kembli menatap tubuh itu. Aku muntah lagi. Bau asam menguar di udara bercampur anyir darah dan pengap ruangan.
Aku menyeret kakiku yang lemas ke arah Stefani dan membalikkan badannya. Matanya terpejam dan bibirnya membiru.
Stefaniku telah mati.
Stefaniku yang mencintai dirinya sendiri.
Stefaniku yang mencintai aku.
Stefani yang tidak ingin berubah demi aku.
Stefani yang rela dibentuk olehku.
Entah kekuatan apa yang membuatku menarik pisau itu dan melemparnya ke belakangku.
Bagaimanapun, aku pernah mencintainya. Entah dia yang mana.
Kuulurkan tanganku yang bergetar dan mengelus pipinya.
Aku menutup mataku dan membiarkan airmataku mengalir turun.
Aku membuka mata. Mata Stefani terbuka, menyambutku.
Aku terlompat ke belakang. Nafas Stefani menderu dan ia bangkit seperti tak terjadi apapun pada tubuhnya.
“Kau..”tudingnya. “harus mati.”
Ia menerjang dan mencekik leherku. Aku melawan. Entah aku yang lemas atau Stefani yang terlalu kuat, aku bagaikan kucing yang dijepit anjing.
Pandanganku menggelap. Satu hal yang terakhir ku ingat adalah pandangan Stefaniku yang mengerikan. Stefaniku yang sudah gila…

*#*#*

Aku tidak boleh menyerah, enak saja. Stefani tentu tidak mengira bahwa aku bisa melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Aku melawan dan menendang perutnya dengan cukup keras hingga ia melepaskan cekikannya.
Stefani mendelik tak percaya dan menatapku. Dengan wajah yang tadinya sudah membiru, dia pasti tidak menyangka aku bisa menendang seperti barusan.
“Kau…” Desisnya tak percaya.
Aku meludah dan mengusap ujung bibirku.
Dengan sedikit menyeringai aku menikmati wajahnya yang ketakutan.  Dengan gerakan lambat ia mundur perlahan dan menempel di dinding. Aku meraih pisau yang tadinya menancap di tubuhnya dan menimang-nimangnya di tanganku. Stefani mengerut di depanku.
Aku tersenyum dan mengayunkan tanganku.