Sabtu, 20 Februari 2016

Sekedar Cerita Para Pribadi - Cindy

“Cukuplah tentang aku. Pokoknya, kami sama dengan kalian, cuma sedikit berbeda. Bagaimana dengan kalian? How’s life in uni?”
Hujan membasahi jendela di samping meja kami, meninggalkan titik-titik yang saling berkejar-kejaran searah gravitasi. Waktu aku tiba, air yang tumpah tidak lebih dari rintik-rintik; sekarang hujan makin bersemangat, diajak menari oleh guntur dan berdansa bersama halilintar.
Jonathan menyeruput teh hitamnya sambil menatap Paul dan aku bergantian. Aku menahan desah nafas berat yang ingin melesak keluar tenggorokkan.
Bagaimana kehidupan di universitas?
Cukup rumit hingga aku berharap akulah sang jenius yang dapat merakit mesin waktu, melompat ke dalamnya, kemudian pergi ke masa dimana kartun yang menceritakan seekor lebah yang sedang mencari ibunya adalah satu-satunya tayangan yang menguras air mata, bukannya drama-drama dari negeri tetangga.
Terlalu rumit hingga aku benar-benar tidak tahu apakah aku mempercayai Tuhan, atau bahkan sekedar mempercayai keberadaanya.
Aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjawab pertanyaan yang ringan tersebut.
“Aku sempat hamil.”
Jonathan menyemburkan teh hitamnya kembali ke gelas, dan Paul menjatuhkan makaron yang setengah digigitnya; reaksi komikal yang sudah kuduga akan terjadi.
What?! Cin? Are you even okay?” Mata Jonathan membelalak lebar.
“Apa?! Cin? Kamu bercanda?” Paul terlihat berusaha mengatur nafasnya yang panjang-pendek.
Aku terdiam sejenak dan tertawa. Jonathan dan Paul menatapku heran, meminta penjelasan lebih panjang.
Please tell me you’re kidding. Very funny, Cin.”
“Tolong katakan padaku kamu bercanda.”
Aku menatap kedua orang di hadapanku. Aku sendiri berharap bahwa aku sedang bercanda.
Aku menghela nafas.
“Tidak, aku tidak sedang bercanda. Enam bulan masuk kuliah, aku hamil. Tengah semester dua, aku tidak masuk satu bulan. Hebat sekali bukan?” Aku tidak bisa menahan getaran pada suaraku. Bukan malu; rasa itu sudah lama terkunci dibalik pintu kamar rumah sakit; tapi pedih. Sedih.
“Berarti awal tahun kemarin? Kalau kmau memang serius, kamu seharusnya sedang hamil besar sekarang, tapi..kamu..tidak terlihat sedang hamil.” Aku memahami keheranan Paul. Hal yang sama terpancar dari mata Jonathan. Cindy? Cindy yang mereka kenal saat SMA? Cindy yang sombong, yang tidak pernah membiarkan lelaki sembarangan untuk bahkan sekedar menatapnya lekat-lekat?
Tuhan memang legendaris, terlebih dalam menggunakan katalis, untuk sekedar mengubah nasib. Untukku, katalis itu bernama Adit.
Memikirkan nama itu saja sudah mampu membuat airmataku merebak.
“Cindy? Hei, hei, sudah, sudah. Semuanya baik-baik saja, kan?” Secara instingtif Paul berdiri dari kursinya dan berjongkok di sebelahku. Aku tersedak, mencoba meraih oksigen yang terhimpit air mata di jalur pernafasan. Seandainya aku saat itu punya keberanian untuk mencoba menjadi lebih dari seorang teman dengan Paul, tentunya aku tidak akan perlu mengalami ini semua. Ya, Paul menyatakan perasaannya padaku sebelum ia berangkat ke Colorado, dan tentu saja, aku, seperti adegan-adegan standar film romansa, mengatakan bahwa aku tidak ingin merusak persahabatan yang kami miliki.
Jonathan ikut menggeser tempat duduknya lebih dekat denganku dan merangkulku dari samping. Aku teringat masa-masa bodoh ketika aku berpikir bahwa aku menyukai Jonathan, dan rasa marah setengah matiku ketika mengetahui bahwa sesungguhnya Jonathan tidak pernah balik menyukaiku seperti itu, dan tidak akan pernah menyukaiku seperti itu. Setelah kupikir lagi, mungkin saat itu aku marah bukan karena Jonathan tidak menyukaiku, tapi karena aku merasa bodoh. Bagaimana mungkin aku, yang seharusnya merupakan teman baik Jonathan, tidak menyadari bahwa alasan dibalik ditolaknya semua perempuan yang menyukainya adalah karena ia memang tidak menyukai perempuan?   
Pemikiran tentang semua hal yang terjadi padaku selama setahun belakangan menyerang syarafku dan membuat airmataku semakin berlomba-lomba keluar dari kantungnya, bersaing dengan riuh rendah hujan.
Jonathan dan Paul hanya bisa mengusap-usap punggungku pelan, sementara para pelayan yang berada disana pura-pura tidak peduli, padahal aku yakin mereka dengan sigap memasang telinga dan merekam adegan ini dalam otak mereka untuk dijadikan ajang diskusi seru di dapur nanti. Beruntung pelanggan terakhir sebelum kami telah meninggalkan restoran sepuluh menit yang lalu. Selain kami hanya ada dua barista di bar dan dua pelayan yang sedari tadi sibuk mondar-mandir.
“Kami tidak akan memaksamu untuk cerita, Cin. Tidak kalau kamu tidak mau.” Jonathan menatapku dengan sorot mata yang teduh.
Aku menghela nafas lagi.
“Disana aku bertemu dengan Adit. Aditya Pradipta. Kami berpacaran. Aku tidak tahu bahwa aku hamil hingga aku keguguran pada pertengahan bulan Maret. Aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau sedih karena keguguran itu.” Suaraku sengau, dadaku sesak.
“Siapa Adit? Aku tidak pernah mendengarmu menyebut namanya. Apa dia menyakitimu? Apa dia yang memaksa kamu menggugurkan kandunganmu?” Paul terdengar berang.
   “Tidak, Paul, apa kamu tidak mendengarkan aku? Aku tidak tahu kalau aku hamil. Keguguran itu tidak disengaja, dokter berkata hal itu wajar karena umurku masih muda, dan rahimku tergolong lemah. Aku mengalami pendarahan. Aku datang ke rumah sakit persis seperti Carrie dalam adegan puncak ketika ia disiram darah babi.”
Suaraku bersaing dengan hujan. Barusan adalah rangkaian kalimat paling panjang yang keluar dari mulutku dalam empat bulan terakhir.  
  “Well, Cindy kalian yang sempurna ini juga menjadi seorang pecandu nikotin. Mungkin itu salah satu alasan pula kenapa aku keguguran.” Aku mendengus diantara tangisanku, meraih tisu dan membersit hidungku.
Paul dan Jonathan saling menatap, seakan melempar tanggung jawab atas siapa yang harus menanggapi pernyataanku barusan.
“Apa kamu benar-benar baik-baik saja, Cin? Kalau kamu ingin berbagi, kami akan mendengarkan.” Jonathan akhirnya berbicara setelah beberapa lama hanya terdiam mendengarkan aku sibuk membersit hidung dan mengusap air mata.
Aku tertawa pedih.
Bagaimana mungkin aku baik-baik saja? Tidak ada orang waras yang bisa mengatakan bahwa seorang gadis yang hamil di luar nikah dan keguguran sementara ia seharusnya bersikap dewasa dan mulai memikirkan masa depannya baik-baik saja.
Bulan Maret itu hidupku berputar-putar dalam angin topan yang tidak bermata; tidak ada ketenangan inti, tidak ada jalan keluar. Disekitarku semua pencapaian dalam hidupku ikut terseret, melewatiku setiap berganti orbit, menabrakku dengan keras, menghancurkan rusuk-rusukku, menggerus hasrat hidupku hingga menjadi debu. Cindy yang aktif, Cindy yang ceria, Cindy yang cerdas, Cindy yang sempurna. Tak kusangka predikat-predikat itu dapat berbalik menyerangku sedemikian rupa. Hidup memang tidak adil; hal-hal yang kau anggap sesuatu yang membanggakan dapat berbalik menjadi pengkhianat yang bersekutu dengan kesalahanmu dan menghujammu beribu-ribu kali lebih sadis.
“Siapa Adit ini? Dimana ia sekarang?” Jonathan menambah pertanyaannya ketika aku tidak menjawab.
Air mataku kembali meleleh. Air mataku yang kukira sudah kering.
Aditya Pradipta.
Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menyalahkannya atas semua yang terjadi setahun belakangan ini. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menampar wajahnya. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menjambak rambutnya. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa mendengar suaranya.
Aku merindukannya. 
Sungguh, sungguh merindukannya.
“Ia sudah meninggal.”
Aku mengambil minumanku, menekuk sedotannya, dan menegak habis minuman tersebut langsung dari gelas. Kilasan balik malam itu kembali datang, berkelebat di benakku seperti tumpukan foto usang yang sengaja kusimpan dalam sudut terjauh pikiran.
Sore itu aku merasa tidak enak badan. Hal ini biasa terjadi saat-saat menjelang menstruasi, sehingga aku tidak ambil pusing. Terlebih, sudah dua bulan aku tidak mendapat tamu bulanan tersebut. Aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah, dan aku menghabiskan waktu dirumah, membaca novel-novel yang baru kubaca setengah. Sekitar pukul tiga, aku merasakan sesuatu mengalir dibawah sana, dan merasa lega ketika aku melihat bercak darah di celanaku, dan segera mandi.
Ketika aku berdiri dibawah pancuran air, rasa sakit semakin menjadi-jadi, dan aku menyadari bahwa darah yang mengalir tidak seperti biasanya; banyak, kehitaman, terlalu kental untuk ukuran menstruasi biasa. Darah tersebut tidak berhenti mengalir; aku merasa lemas, mataku berkunang-kunang, kepalaku mulai terasa ringan. Aku bergegas berpakaian dan menelepon dokter keluargaku untuk meminta preskripsi; aku masih tidak berpikiran macam-macam, karena menstruasiku memang selalu problematik. Setelah menceritakan keadaanku, dokter menyarankan aku untuk segera kerumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Aku, tanpa menaruh curiga, menelepon taksi, mengirim pesan singkat kepada Ibuku tentang keadaanku, dan menuju rumah sakit. Ditengah perjalanan, aku pingsan.
Aku sadar ketika aku berada diatas ranjang beroda; perawat berpakaian hijau mendorong ranjang tersebut, dan ibuku di samping kiriku, sedang menelepon, menyebut nama rumah sakit.
“Pendarahan, dit. Cindy sedang pendarahan hebat. Ini sedang dibawa ke ICU. Iya. Baiklah. Hati-hati dijalan, dit.”
Aku kembali tidak sadarkan diri.
Jam-jam berikutnya berlalu, kesadaranku hilang-timbul. Yang aku ingat saat detik-detik aku tersadar sebelum aku kembali pingsan adalah orang-orang bermasker berbaju hijau, sibuk melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Aku baru benar-benar bangun beberapa jam setelah itu. Yang pertama aku sadari adalah aku berada di sebuah ruangan putih; ruangan rumah sakit. Rasa sakit menyengat tangan kiriku; aku terhubung dengan infus. Aku melihat sekelilingku, masih tidak bisa menyelaraskan antara motorik dan kognitifku. Otot mataku berdenyut, bekerja keras memfokuskan pandanganku.
“Cindy?”
Pintu terbuka dan Ibuku masuk dalam balutan kemeja putih dan blazer abu-abu, dengan celana panjang bewarna senada serta sepatu hak tinggi bewarna putih.
“Ma..” Bibirku kering dan tenggorokkanku sakit, aku butuh minum.
Seakan dapat membaca pikiranku, Ibuku menuangkan air ke gelas di meja samping ranjangku dan menyerahkannya padaku. Aku berusaha naik ke posisi duduk tapi rasa sakit seketika menghujam perut bagian bawahku. Ibuku cepat-cepat menekan tombol untuk menaikkan sandaran ranjang. 
Aku meraih gelas yang disodorkan ibuku dan menegak isinya hingga habis. Ibuku mendekat dan kini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mukanya kusam, eyelinernya telah luntur dan membingkai kedua matanya seperti anak-anak band tahun 90an. Rautnya sulit kutebak; Ibu bukanlah orang yang wajahnya gampang ditebak bahkan saat aku sepenuhnya sadar, terlebih saat aku masih menyusun syaraf-syarafku seperti ini.
Setelah beberapa detik kuhabiskan untuk menatap kosong kearah gelas, suaraku memecah keheningan dalam ruangan.
“Aku kenapa Ma?” Suaraku parau.
Ibuku duduk di atas ranjang dan mengelus wajahku. Aku menatap wajahnya yang terlihat letih dan baru menyadari bahwa ia masih dalam balutan baju kerjanya. Aku melihat jam yang berada tepat di seberangku dan mendapati waktu menunjukkan pukul sembilan kurang.
“Mama benar-benar gak tau harus mulai darimana.”
Aku menatap ibuku dengan bingung. Ibuku tahu kalau menstruasiku selalu bermasalah. Ia juga mengalami hal itu. Lagipula, aku sudah mengabarinya bahwa aku tadi memang menuju ke rumah sakit. Lantas, kenapa harus bingung harus mulai darimana untuk menjawab pertanyaan itu?
“Kenapa sih, Ma? Menstruasiku, kan? Mama kan tahu?”
Ibuku menghela nafas dan menatap mataku lekat-lekat, tanpa berbicara. Kali ini aku cukup yakin ia sedang mempelajari omonganku barusan, mempertimbangkan kata-kata yang akan digunakannya untuk menjawab pertanyaanku. 
Nada dering handphoneku berbunyi dari dalam tas Mama yang diletakkan diatas meja di samping ranjangku. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Mama, aku mengulurkan tangan dan meraih tas tersebut. Aku kembali meringis karena merasakan sakit di bagian yang tadi, tapi aku berhasil meraih tas tersebut dan mendapati nama Bram tertera di layar handphoneku.
Aku menatap Ibuku yang sedari tadi hanya diam menatapku, dan menekan tombol terima.
“Halo?” Suaraku terdengar pelan. Terdengar bunyi helaan nafas yang tersendat-sendat di ujung telepon.
“Halo? Bram? Ada apa?” Kali ini aku mencoba membesarkan volume suaraku.
Bram menghela nafas dan mengatakan nama rumah sakit yang tadi aku tuju.
“Cepat kesini.” Dari nada suaranya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa? Ngapain lo di rumah sakit? Bram?” Panik menjalari seluruh tubuhku. Sesuatu benar-benar sedang tidak beres.
“Adit…adit.” Tangis Bram pecah, dan seketika aku kembali lemas. Handphoneku lepas dari genggamanku dan meluncur ke atas pangkuanku. Ibuku menekan tombol pemanggil perawat sambil mengusap wajahnya, tidak memperdulikan eyelinernya yang sudah coreng-moreng.
Aku menatap Ibuku. Aku yakin ia punya jawaban atas semua yang terjadi padaku. Ia menatapku dengan iba, dan air mata mulai menggenangi pandanganku, mengaburkan wajah ibuku.
“Anda memanggil saya?” Sesosok pria dalam balutan setelan bewarna biru memasukki ruangan dengan tergesa-gesa.
“Tolong antarkan anak saya pada penunggu pasien yang tadi kita bicarakan, ya. Ia barusan menelepon.”
Pasien? Penunggu pasien? Siapa?
“Bram? Pasien? Siapa yang pasien? Ma? Sebenarnya apa yang sedang terjadi sih?” Airmataku mengalir, dan aku mulai tersedu tanpa tahu jelas apa yang aku tangisi. Yang jelas rasanya perih, seperti mengetahui bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi dan kau benar-benar tidak tahu apa yang harus kau lakukan.
“Baiklah nyonya, tapi apakah…” Pria itu menatapku dengan segan, “anda yakin putri anda cukup kuat untuk mendapat berita tersebut?”
Berita? Berita apa? Apasih yang sedang mereka berdua bicarakan?
“Ma! Ada apasih? Kenapa? Apa yang terjadi? Bram kenapa? Adit kenapa? Seseorang tolong jawab pertanyaanku!” Aku histeris dan memukul ranjangku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan kepalaku terasa mau pecah. Ibuku mendekat dan memelukku, mengelus-elus punggungku.
“Kamu keguguran, Cin.”
Aku terkesiap dan dengan refleks melepaskan pelukan Ibuku. Keguguran?!
“Aku hamil?” Air mata masuk ke mulutku. Asin.
Ibuku menatapku dengan bingung.
“Mama kira kamu menyembunyikan ini dari mama. Kamu nggak tahu?”
Aku menangis semakin keras. Malu. Shock. Marah. Jelas aku tak tahu. Kami tidak cukup bodoh untuk tidak menggunakan pengaman, namun ternyata kami tidak cukup pintar mengakali nasib.
Ibuku menghela nafas.
“Tadi Adit menelepon saat kamu mau masuk ICU. Mama suruh dia kesini.”
Bom atom meledak di tengkorakku, mengalirkan rasa sakit ke seluruh bagian tubuhku.
“Trus, dimana Adit sekarang?” Suaraku pelan dan bergetar, berharap jawaban Ibuku tidak seperti yang aku harapkan.
“Ia..kecelakaan waktu menuju kesini.”
Seluruh duniaku hancur berkeping-keping dalam waktu lima menit.
Aku tidak sadar apa yang terjadi selanjutnya, semua kepingan memoriku saling bertabrakan dan merekam kejadian selanjutnya seperti potongan film yang direkatkan dengan selotip secara sembarangan; tidak rapi, saling tumpang tindih. Aku ingat berlari keluar ruangan, pria berbaju biru itu menarik lenganku, mengarahkanku ke suatu tempat, sekaligus menyuruhku untuk berhati-hati dan tidak berlari, suatu hal yang sudah pasti tidak bisa aku patuhi.
Aku tiba di ruangan satu-satunya yang tidak berdampingan dengan ruangan lain, dan samar-samar mendengar pria tadi berkata sesuatu yang sepertinya mengonfirmasi bahwa inilah ruangan yang kami tuju. Aku membuka pintu dengan kasar, dan mendapati Bram sedang terduduk di salah satu kursi, menghadap ke suatu layar. Aku langsung menghambur ke pelukannya dan tangisku pun pecah.
Kami berdua saling berpelukan tanpa berkata-kata. Aku tidak sanggup berkata-kata; satu-satunya hal yang sanggup aku lakukan dalam hati adalah memohon pada Tuhan untuk tidak menambah kemalanganku lebih dari ini, meski dari wajah Bram yang sepintas kulihat, aku sudah tahu bahwa berita yang akan kuterima bukanlah berita baik.
Setelah beberapa saat, aku melepas pelukanku dan terduduk menatap layar di hadapan kami. Di layar ditampilkan beberapa orang berdiri mengitari sesosok tubuh di atas ranjang yang ditutupi kain biru, dan aku tahu itu Adit. Aku hanya menatap kosong ke layar, terlalu lelah dan berat untuk bereaksi, hingga aku melihat dua orang mencabuti alat-alat yang menempel di badan Adit. Aku melihat indikator jantungnya tak lagi membentuk gelombang. Aku melihat orang-orang tersebut terdiam sebentar di depan Adit, kemudian mematikan monitor jantungnya. Otakku bekerja keras menerima dan memroses apa yang sedang terjadi, tetapi pandanganku menggelap.
 “Cin?”
Suara Paul mengembalikanku pada masa sekarang. Hujan di luar sudah agak mereda, dan sekarang suara Paul terdengar lebih jelas, hingga aku merasakan getaran kecemasan didalamnya.
Aku tidak bisa berpikir cepat untuk menceritakan apa yang sudah terjadi, jadi aku hanya menatap mereka bergantian. Paul menarik kursinya lebih dekat ke arahku dan duduk diatasnya.
“Kami turut berduka cita…”
Jonathan menatapku dengan pandangan iba.  
Aku tertawa kecil, karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Hidup memang penuh dengan lelucon. Satu detik kau mempunyai segalanya, dan detik berikutnya semuanya bisa dirampas darimu begitu saja. Satu detik aku mempunyai kehidupan yang sempurna, satu detik kemudian semuanya hilang sirna. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat suka mempermainkan manusia. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat kreatif dalam menghukum orang yang telah berdosa.
Jonathan dan Paul saling melempar pandangan, semakin bingung dengan perempuan di hadapan mereka yang tertawa dengan muka sembab.
“Sori, Cin, Adit meninggal kenapa?”
“Kecelakaan, waktu mau menyusul aku ke rumah sakit. Dia bahkan gak tahu; dan gak akan pernah tahu, kalau aku hamil. Waktu dia mau datang, Mama cuma bilang kalau aku pendarahan.”
Aku mendengar Paul menghela nafas, dan Jonathan meraih minumannya di atas meja. Sedekat apapun kami, aku yakin semua informasi barusan butuh waktu untuk dicerna. Kami sudah lama tidak benar-benar berbicara seperti ini, dan tiba-tiba aku menceritakan suatu hal yang benar-benar tidak disangka akan terjadi.
“Terus..bagaimana dengan kuliahmu?”
“Aku tidak kuliah hampir sebulan. Dokter rumah sakit tersebut adalah dokter keluarga yang sudah lama menanganiku sejak kecil, jadi ia membuat surat keterangan yang tidak dengan jelas mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Aku juga kurang tahu, mamaku yang mengurus. Teman-temanku tahu bahwa Adit meninggal, jadi sepertinya mereka maklum. Yang tahu kejadian sebenarnya diantara teman-teman kuliahku adalah Bram.”
“Bram?”
“Ya, teman baikku dan Adit. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Dia pula yang berada di rumah sakit saat kejadian tersebut terjadi.”  
Kami kembali terdiam, sibuk mendengarkan rintik hujan yang makin lama makin jarang.
Empat bulan telah berlalu semenjak semua kejadian tersebut. Empat bulan bukan waktu yang lama, tapi semua kejadian tersebut sudah kumasukkan kedalam kardus-kardus berlabel memori di dalam pikiranku, namun masih kupertimbangkan untuk dibuang atau disimpan. Proses pertimbangan inilah, yang akan makan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Aku tidak ingin melupakan Adit; lebih tepatnya saat ini tidak sanggup. Bagaimanapun juga, kita semua tahu bahwa memaafkan lebih mudah daripada melupakan, dan berbicara lebih mudah daripada melakukan. Aku sudah tidak lagi menangis di kamarku setiap malam, tapi aku masih belum sanggup untuk naik ke lantai paling atas, tempat biasa aku, Adit dan Bram, berbagi kesunyian. Aku masih belum sanggup melihat foto-foto terakhir yang kami ambil, belum sanggup membuang kotak rokok terakhir yang bersama-sama kami nikmati, dan belum sanggup menahan diri untuk tidak mengingat pembicaraan-pembicaraan kami.
“Tuhan ada atau tidak sih?”
Aku memecah kesunyian dengan menanyakan hal terakhir yang kutanyakan pada Adit.
Adit tersenyum menatapku. “Menurutmu?”
Aku terdiam sejenak, menatap sorot mata Adit yang berbinar. “Aku tidak tahu. Terkadang aku berpikir dia ada, terkadang aku berpikir kalau dia hanya ilusi semata. Tidak pernah ada satu argumenpun yang bisa memvalidasi keberadaannya di alam semesta.”
“Tidak ada yang memvalidasi keberadaanmu terhadap, misalnya, orang-orang dari suku yang tinggal jauh di pedalaman. Mereka bisa berpikir kamu ada, dia juga bisa berpikir kalau kamu tidak nyata. Jadi sebenarnya, kamu ada atau tidak?”
“Apa maksudmu? Aku punya sertifikat lahir. Aku punya kartu identitas. Orang-orang mengenalku. Tentu saja aku ada. Aku disini, aku tidak butuh mereka untuk berpikir aku ada atau tidak untuk memastikan eksistensiku, karena aku memang ada.”
Adit tertawa sejenak. “Bagi mereka, kamu bisa ada, bisa tidak, tergantung mana yang mereka ingin percayai. Kecil kemungkinan kamu akan bertemu mereka, jadi kecil kemungkinan pula mereka bisa memastikan kalau kamu ada. Sertifikat lahir, kartu identitas, semua bisa saja cuma dongeng buat mereka. Afterall, your identifications are validated by others, not you. Same goes to God. Banyak orang yang mengakui mereka pernah bertemu dengannya. Transkrip-transkrip yang kamu kenal sebagai alkitab itu salah satunya, yang bisa benar, bisa tidak. Sampai kamu bisa bertemu langsung dengannya, kamu gak bisa membuktikan dia ada atau gak, kan? Semua kembali lagi ke keinginan mereka masing-masing. Nah, kamu ingin percaya dia ada atau gak?”
Aku terdiam.
Pertanyaan itu, sampai sekarang, masih belum bisa aku jawab.


Kamis, 03 Desember 2015

Lebih Baik Disini?

Hanya bilik bambu pagar rumah kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan..
Beratap jerami, beralaskan tanah
Namun semua itu milik kita…
Suara Ahmad Albar yang ditingkahi distorsi gitar elektrik sayup-sayup mengalun dari  radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu, dan sudah menemaniku sejak itu. Aku duduk diatas kursi kayu di halaman rumahku, menegak kopi yang nyaris dingin, berharap segelas kafein tersebut mampu mengganti tidurku malam tadi yang kutukar dengan menguli. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam, namun matahari pagi ini masih terlihat enggan keluar, entah masih bersembunyi di balik selimut awan, atau bahkan belum rela lepas dari sang malam. Anak-anakku seharusnya sudah bangun, tapi kubiarkan tidur lebih lama pagi ini. Dengan cuaca seperti ini, besar kemungkinan mereka pada akhirnya tidak masuk sekolah, karena guru-guru di SD mereka mempunyai aturan sendiri yang tidak tertulis; jika hujan, sekolah libur, karena kemungkinan besar sekolah akan banjir dan toh murid-murid akhirnya hanya akan main air.
Hanya alang-alang pagar rumah kita
Tanpa anyelir tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh dihalaman,
Namun semua itu milik kita…
Aku menatap gunungan sampah di dihalamanku dan menghirup nafas dalam-dalam. Orang-orang yang datang berkunjung selalu menggunakan masker berlipat-lipat, tetapi aku; kami semua yang tinggal disini, hanya menertawakan kelakuan mereka; datang dengan mobil besar dengan pengeruk di ujungnya, bersarung tangan karet, berseragam plastik aneh dan sepatu bot yang berwarna oranye cerah, mengomel mengenai bagaimana kami semua tidak mau disuruh pindah, lingkungan ini sumber penyakit, dan semua hal-hal lucu yang sering kami dengar namun kami abaikan. Kami hanya tertawa. Kami tidak perlu menggunakan apapun untuk bernapas, kami hidup dengan aroma ini hampir sepanjang hidup kami. Kami tidak perlu memakai karet untuk melindungi tangan kami; kulit kami setebal karung goni. Kami tidak perlu membungkus tubuh kami dengan plastik dan mengalasi kaki kami dengan sepatu nyentrik; ini rumah kami.
Memang semua itu milik kita…
Bunyi derit dipan membangunkan aku dari lamunanku. Si sulung rupanya sudah bangun. Ia kemudian duduk diatas dipan sempit yang berfungsi sebagai meja makan, meja belajar, sekaligus tempat tidur kami. Terkadang dikala malam sedang dingin, hal ini aku syukuri; kami tidur bertiga berdampingan melawan dingin malam, namun ketika musim pancaroba datang dan malam menjadi ganas, dan nyamuk-nyamuk tiba-tiba menjadi selapar drakula…
“Ayah, badan adek panas.”
Aku menoleh kepada si sulung, dan mendapati ia memegang kening adiknya yang sedang terlelap.
“Semalem aku sudah mau bilang, tapi ayah belum pulang, terus aku ketiduran.”
Langit bergemuruh, sepercik kilat terlihat menyambar di arah kiblat.
Aku bergegas mendekati dipan dengan perasaan yang tak asing. Panik, kacau..namun kali ini sekaligus pasrah. Seharusnya aku tahu kalau ini akan terulang lagi. Seharusnya…aku punya cukup akal untuk tidak membiarkan hal ini terjadi lagi.
Lebih baik disini…
Rumah kita sendiri..
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini..
Aku berlari membawa si bungsu secepat yang aku bisa ke puskesmas terdekat. Badannya sepanas bara, bibirnya membiru, dan kausnya yang tinggal setipis kertas telah basah oleh keringat. Aku sudah tidak sanggup berpikir; tidak tidur semalaman, rasa lelah dan perasaan panik bukanlah kombinasi yang baik.
Aku membuka pintu puskesmas yang masih sepi, nyaris mendobrak, dan membuat resepsionis yang sedang terkantuk-kantuk dengan spontan berdiri dan hampir menjatuhkan vas bunga di mejanya. Ia berteriak memanggil dokter dan para karyawan, dan dengan sekejap ruangan tersebut diisi orang-orang dengan seragam putih-putih dan bersepatu runcing, mengambil si bungsu dari gendonganku, meletakkannya diatas kasur beroda, lalu berderap pergi. Resepsionis menelepon ambulans, dan hujan mulai mengguyur.
“Sudah saya bilang, lebih baik anda segera pindah! Istri anda baru saja meninggal dua bulan lalu karena malaria, sekarang anak anda terkena penyakit yang sama! Anda itu hidup diantara sampah, pak!  Apa yang membuat anda berpikir bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajar? Mau sampai kapan anda tinggal disana? Hingga semua anggota keluarga anda habis dilibas penyakit karena lingkungan yang kumuh itu?!”
Racauan dokter terdengar berlomba dengan curah hujan diatas genting puskesmas. Aku tidak mendengarkan, dalam otakku hanya terngiang-ngiang suara Ahmad Albar yang sayup-sayup mengalun dari radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu. Kali ini, Ahmad Albar berulang-ulang menyanyikan sepotong lagunya, mengejek aku yang terduduk bersandar di dinding puskesmas.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri...

Jumat, 28 Agustus 2015

Sekedar Cerita Para Pribadi - Reza (Side Story)



            Aku mendesah, membuka sabuk pengaman, dan mematikan mesin mobil. Aku membuka pintu mobil dan seketika udara bercampur bau rumput basah menari-nari di hidungku. Aku meraupnya dengan rakus. Tarik, hembuskan. Aku rindu bau ini, rindu sekali. Aku melepaskan sepatu dan memijakkan kakiku di rumput hijau yang lembab dan dingin. Syaraf-syarafku tergelitik oleh teksturnya. Aku rindu pijakan ini, rindu sekali.
Aku turun dari mobil dengan bertelanjang kaki meski udara dingin menyapu kulit. Matahari bersinar lembut dengan graduasi warna merah muda dan oranye, hangat, mengimbangi dinginnya hembusan udara. Aku rindu perpaduan ini, rindu sekali.
“Kau selalu berkata begitu walau tiap minggu kita kemari.”
Kau akan tersenyum jahil dan mulai menggoaku setiap aku berkata seperti itu.
Aku tersenyum tipis, lalu mulai berjalan menyusuri rumput pendek, dan berhenti di batas yang ditumbuhi ilalang. Aku menarik nafas, memasuki padang ilalang, menyusurinya dengan ujung jari dan memetik sebatang. Aku melambaikannya ke arah matahari senja, menikmati dispersi warna yang diuraikan tiap helainya. Putih, ringan; anggun bergoyang mengikuti angin.
Aku berjalan terus, semakin ke tengah padang ilalang itu, dimana terdapat sebuah kursi kayu panjang yang tersembunyi di tingginya ilalang, tempat kita biasa menghabiskan senja kita bersama. Bangku itu masih di sana, seakan tidak tersentuh putaran jam. Aku ulurkan tanganku menyusuri lekuk-lekuk bangku, mencari gema keberadaanmu, yang dulu bersamaku. Kuhempaskan badanku ke atasnya.
“Angkat ponimu, ribet sekali.”
Kau baru akan tersenyum kalau kuikat rambutku seluruhnya, kutarik keatas, hingga kau bisa bebas memandangi dan mencium dahiku.
Tanpa sadar aku buru-buru mengikat rambutku seluruhnya, seakan kau masih ada disitu, mengamatiku ketika aku menyisir rambutku dengan jari dan menyatukannya dengan karet gelang.
“Nah begitu, kan cantik.”
Lalu kau akan membelai pipiku dan membuka lenganmu agar aku bisa bersandar di sana.
“Kalau kau begitu suka melihat wajahku bersih dari rambut, lain kali akan kubotakkan saja kepalaku.” Aku mendengus.
Kau tertawa. “Dengan nama yang sudah mirip laki-laki, kau nekat ingin menggunduli rambutmu? Bisa-bisa kau benar-benar jadi laki-laki.”
“Hei, dasar seksis. Kalaupun aku jadi laki-laki, memangnya kenapa? Kau kan tidak berhak mencampuri urusan gender-ku.”gerutuku.
“Kalau kau jadi laki-laki, itu akan membuatku bingung.”
“Jadi kau tidak akan mencintaiku lagi kalau aku menjadi laki-laki?”
Kau tertawa lagi. Meski suaramu kasar dan berat, kau tertawa dengan merdu.
“Kau sungguh-sungguh ingin membuatku berpikir tentang hal itu ya?”
Aku merengut. “Kau yang memulai.”
Kau terdiam sejenak, lalu mengangkat daguku. Matamu mencari mataku, dan untuk beberapa saat kita hanya terdiam, saling menatap.
“Aku mencintaimu bukan karena  fisikmu, atau gendermu. Menurutku, tidak ada manusia yang benar-benar seratus persen perempuan atau laki-laki. Kita semua manusia, tidak ada konsep yang mutlak, apalagi konsep laki-laki dan perempuan dalam gender. Jadi, argumen bahwa aku tidak akan mencintaimu lagi kalau kau memutuskan untuk menjadi laki-laki sama sekali tidak valid untukku, karena aku mencintaimu bukan karena fisikmu, dan bukan atas suatu konsep yang abstrak untukku, melainkan karena kau…adalah kau.”
Aku mengerjap beberapa kali dan tersenyum. Lalu kau tertawa, tawa yang menular padaku.
“Tapi bagaimanapun juga aku tentu akan bingung jika kau tiba-tiba memutuskan untuk menjadi laki-laki.”
Aku tertawa lagi. Untuk beberapa saat yang terdengar hanya letupan tawa kita. Tiba-tiba kau menatapku lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih serius dan teduh.
“Kali ini aku ingin bicara serius denganmu.”
“Kapan kau tidak serius?”
“Kapan saja aku mau. Nah sekarang kau harus mendengarkanku.”
“Memangnya dari tadi apa yang kulakukan?”
Kau menghela nafas. “aku sudah menyatakan dengan jelas bahwa aku mencintaimu, bukan?”
Aku mengangguk sedikit. Tolonglah. Aku tidak mau membicarakannya.
“Kenapa kau tidak ingin mengakui..” kau menghela nafas “kalau kau juga..”
“Tolonglah, Ken, aku tidak ingin membicarakannya, tidak sekarang.”
Kau menghela nafas lagi, menutup tanganmu. Mau tidak mau aku mengangkat kepalaku. Kau menutup mata. “Aku tidak tahu, Re. Aku merasa kau begitu…entahlah. Kau menghindar dari masalah, kau tidak ingin menyelesaikannya.”
Aku berdiri perlahan, membelakangimu. Kutarik nafas, lalu menutup mataku. “Ya, aku memang lari darinya. Ya, aku pengecut, tidak ingin mengakuinya. Aku tidak bisa. Nah, sekarang, kalau tidak ada lagi yang ingin kau katakan, mari kita pulang.”
Aku mendengar kau menghembuskan nafas, dan merasakan kau membungkuk, menutup wajahmu dengan kedua tanganmu. “Yang hanya perlu kau lakukan adalah mengatakan bahwa kau mencintaiku. Kau mencintaiku.” Gumammu dibalik tanganmu.
Kau lalu berdiri, berjalan mendahului aku ke mobil. Sepanjang jalan kita hanya mendengarkan deruan angin yang dibelah mobilmu.
Aku ingat bunyi sunyi itu. Sangat hampa, terlalu hampa hingga rasanya aku terdampar di tempat tak beruang, tanpa suara. Aku merasa dilipat, dipadatkan, ditekan ke dalam satu dimensi; sunyi. Bernafas saja rasanya sulit. Gumpalan kata sudah di pangkal, tapi tak bisa dimuntahkan. Menyiksa.
Kita tak lagi bicara, sepatahpun kata tak kau ucapkan dihadapaku, hingga saat kau naik ke pelaminan, bersanding dengan kakakkku. Kaupun tetap diam saat kupandang; bingung, marah, mungkin sepercik rasa kecewa aku dapati di kedua bening matamu.
Aku menatap senja di kejauhan, seakan sorot matamu masih tersirat disana, sehangat senja.
Dua hari setelah itu, aku meninggalkan Indonesia, tanpa pamit.
Dan sampai saat ini, kita tak pernah lagi saling bicara.
Aku menutup mata, angin membelai rambutku, wajahku. Aku mengangkat kakiku, membaringkan punggungku di bangku. Aku menatap langit senja, mengingat kembali dering telepon yang pagi itu terus berbunyi meski berulang kali aku matikan.
Telepon darimu.
Dua tahun kau tidak sama sekali mencariku, dan pagi-pagi sekali jam tiga pagi di Australia, kau menelepon. Benakku langsung dipenuhi bermacam pikiran. Aku marah. Menyesal. Malu. Sedih. Satu sisi aku ingin mengangkatnya, mendengarkan suaramu yang sungguh-sungguh aku rindukan, satu sisi aku hendak membanting telepon itu yang tiba-tiba mengingatkanku padamu. Ketika telepon berhenti berdering, aku menghembuskan nafas yang tak sadar kutahan, tidak tahu harus lega atau kecewa.
Lima jam kemudian, aku sedang menyeduh kopi untuk kuliah pagiku ketika telepon kembali berbunyi. Kali ini dari kakakku, Jenny. Dengan was-was aku menekan tombol untuk menjawab.
“Ken sedang kritis sekarang, tumor otaknya ternyata ganas. Pulanglah, kata terakhirnya sebelum ia hilang kesadaran adalah namamu.” Nadanya getir, tertekan, putus asa.
   Tergesa-gesa aku mencegat taksi dan memesan penerbangan paling pertama ke Indonesia. Sepanjang perjalanan tak henti aku menghapus air mataku yang terus meleleh meski aku tak menangis.
  Aku mengusap air mataku yang mulai turun lagi. Senja semakin merah, ilalang semakin merunduk terpijak angin, matahari semakin turun di cakrawala, tertarik keanggunan malam. Aku memalingkan wajahku ke arah sandaran bangku, menatap serat-serat kayu yang seakan mengeja namamu.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke sudut bangku. Sesuatu terselip disana, tidak banyak terlihat. Aku meraih ujung kecil itu, menariknya keluar, dan mengangkat punggungku ke posisi duduk.
Sepucuk surat. Putih, sedikit mengkerut di ujungnya yang tersembul keluar. Dengan kaku aku menyobek sampulnya dan membuka lipatannya yang rapi. Sungguh khas dirimu, rapi, teliti.
Di kepalaku menyeruak kenangan-kenangan kita, hingga saat aku melihatmu di tempat tidur dimana nafasmu akhirnya meninggalkan tubuhmu.
“Kenapa tidak kau katakan sebelumnya?” suaraku sengau. Aku berbicara padamu, tetapi kau tidak menjawabku. Kau begitu pucat bagai tembok ruangan itu.
“Sebelum operasi ia meneleponmu. Ia bersikeras, namun kau tidak mengangkatnya. Ada apa sebenarnya antara kau dan dia?” Jenny berkata pelan disampingku. “Katakan padaku. Apa sebenarnya yang terjadi?”. Sorot matanya penuh emosi, mengintimidasi. Sedetik aku terpaku, tidak tahu harus berkata apa.
“Aku mencintainya.” Setelah sekian lama aku pendam, ini kali pertama aku mengatakan ini dengan gamblang. Aku bergetar, ujung-ujung jariku ngilu, namun rasanya sungguh benar.
“Apa?”
“Aku mencintainya. Ia mencintaiku. Aku mencintai Ken, Jen. Aku mencintainya.” Kata-kata itu meluncur dari mulutku, pelan namun tegas.
Kemudian Jenny menamparku. Di depanmu, di depan orangtua kita, di depan orang-orang di ruangan itu. Aku diam, tidak merasa harus berbicara.
“Kenapa kau tidak pernah bilang?” Suara Jenny cukup jelas untuk didengar tiang-tiang marmer kaku di ruangan itu.  
“Kenapa?” Jenny kembali histeris, kemudian jatuh terduduk. Semua orang sibuk menenangkannya, memapahnya sambil melempar pandangan penuh tanda tanya padaku.
Aku kembali terdiam.
Kalau aku bisa, aku sudah mengatakannya. Dari dulu. Dari saat pertama kita bertemu. Seandainya aku punya cukup keberanian. Seandainya kau dan Jenny tidak pernah dijodohkan. Seandainya saja Jenny tidak tergila-gila padamu. Seandainya aku tega melukai hati Jenny dari dulu.
Aku memulai membaca lipatan kertas putih itu. Tulisan tanganmu agak sedikit berbeda, lemah dan agak bergetar. Mungkin surat itu kau buat dengan tenaga terakhirmu.


Dear Reza,
Hei, sudah lama kita tidak berjumpa. Sampai saat kau membaca surat ini, kau pasti sudah tamat kuliah.
Seandainya saja kau bertahan selama itu.
…Aku tidak tahu seperti apa rupamu sekarang, yang pasti hari terakhir aku melihatmu, bayanganmu masih terpatri di benakku. Jujur saja, aku berharap kau tak berubah.
Jadi, apa kabarmu sekarang? Baik-baik, kan? Aku disini juga baik-baik saja, meski aku tidak yakin. Ya, tanpamu aku memang tidak pernah baik-baik saja. Langsung saja, tujuanku membuat surat ini sebenarnya..aku minta maaf. Atas segala hal yang aku lakukan.
Maaf aku tidak berusaha cukup keras untuk mempertahankan dirimu.
Aku yang salah, maaf.
            Maaf aku terlalu lemah sampai-sampai aku tidak bisa memperjuangkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Kau selalu kuat. Aku, akulah yang lemah.
            Maaf aku sudah membuatmu pergi.
Kau tidak membuatku pergi, aku sendiri yang pergi.
            …dan maaf sudah membuatmu menghadapi masa sulit.
Kau yang dipersulit, maafkan aku.
            Aku tidak tahu apakah kau merindukanku atau tidak, tetapi aku sangat-sangat-sangat merindukanmu. Aku yakin kau tahu itu.
Aku merindukanmu sampai-sampai nadiku rasanya berhenti berdenyut, terhimpit rindu.
            …dan mungkin aku sangat pengecut, hanya bisa mendatangi tempat ini untuk melampiaskannya.
Akupun begitu.
            Keadaan tidak mendukung, takdir juga tidak bisa meluluskan sedikit saja konspirasi untuk mempertemukan kita lagi.
            Jujur, aku juga tidak bisa lagi berharap untuk merangkulmu seperti saat-saat kita dulu bersama. Aku ingin, tetapi aku tidak bisa. Tapi setidaknya, tolong izinkan aku untuk berharap kau tidak akan melupakanku. Boleh, kan?
Aku tidak akan bisa meskipun aku ingin.
            Tentang Jenny dan pernikahanku dengannya, mungkin bodoh aku mengakuinya sekarang, tapi aku tidak pernah mencintai dirinya seperti aku mencintai dirimu. Aku mohon kau percaya. Satu-satunya alasan yang benar-benar membuatku akhirnya menikahinya adalah dirimu. Tapi aku tidak berhak menyalahkanmu karena lagi-lagi inipun karena kelemahanku sendiri.
Tentu kau tahu, 19 tahun perbedaan umur kita tidak sama sekali bermasalah bagiku. Justru 19 tahun itu angka yang menurutku sudah Tuhan suarakan untukku. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku selalu bersyukur kau tercipta 19 tahun setelahku. Kau belum tentu kau yang kucintai jika kau tercipta sebelum atau setelahnya. Tapi, aku tidak perlu lagi peduli.
Yang kuketahui sekarang, sebening kristal, aku mencintaimu.
Aku juga mencintaimu.
            …dan tidak ada yang bisa mengubahnya.
Tak ada pula yang bisa mengubah perasaanku padamu.
            Semestaku berpusar padamu.
Setiap helaan nafasku bertumpu padamu.
            Kau adalah bagian dari hidupku, yang paling istimewa.
Kau, bagian jiwaku yang sangat berharga.
            Saat-saat kita bersama adalah saat-saat yang paling indah.
Oh, apapun akan kulakukan untuk mengulangnya.
            Mungkin cuma itu yang ingin aku sampaikan. Yang  jelas, aku berharap kau tahu bahwa cintaku, untuk selamanya, hanya untukmu. Sampai bertemu di kehidupan yang lain, Reza.
           
                                                           
                                                                                                Dari Ken, yang mencintaimu.
           
P.S: Aku yakin aku tetap akan mencintaimu jika kau menjadi laki-laki.   
           
Aku tertawa membaca kalimat terakhir suratmu, tawa yang sesaat kemudian mengalirkan kepahitan ke sekujur tubuhku. Tawaku berubah menjadi tangis, secepat kau pergi dari hadapanku; begitu saja.
Aku melihatmu di kepalaku, menutup surat dengan hati-hati, melipatnya menjadi empat bagian, dan memasukkannya ke dalam amplop. Kemudian sambil menarik nafas panjang kau meraba celah di bangku kayu lalu mendorongnya masuk. Kau berdiri, menatap senja untuk yang terakhir kali, dan melangkah pergi.
Langit sudah gelap, malam telah melahap senja. Aku memandang suratmu dibawah sinar rembulan sebagian, menutupnya, dan meletakkannya di atas bangku. Aku menghapus air yang meleleh di pipiku. Mataku menyusuri padang ilalang kita untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan tentang kita, menyimpan sisa bayangan dirimu di sudut terdalam hatiku, dan membawa cintamu bersamaku untuk menjalani kehidupan yang baru tanpa dirimu.