“Cukuplah
tentang aku. Pokoknya, kami sama dengan kalian, cuma sedikit berbeda. Bagaimana
dengan kalian? How’s life in uni?”
Hujan
membasahi jendela di samping meja kami, meninggalkan titik-titik yang saling
berkejar-kejaran searah gravitasi. Waktu aku tiba, air yang tumpah tidak lebih
dari rintik-rintik; sekarang hujan makin bersemangat, diajak menari oleh guntur
dan berdansa bersama halilintar.
Jonathan
menyeruput teh hitamnya sambil menatap Paul dan aku bergantian. Aku menahan
desah nafas berat yang ingin melesak keluar tenggorokkan.
Bagaimana kehidupan di universitas?
Cukup rumit
hingga aku berharap akulah sang jenius yang dapat merakit mesin waktu, melompat
ke dalamnya, kemudian pergi ke masa dimana kartun yang menceritakan seekor
lebah yang sedang mencari ibunya adalah satu-satunya tayangan yang menguras air
mata, bukannya drama-drama dari negeri tetangga.
Terlalu
rumit hingga aku benar-benar tidak tahu apakah aku mempercayai Tuhan, atau
bahkan sekedar mempercayai keberadaanya.
Aku tidak
tahu harus mulai dari mana untuk menjawab pertanyaan yang ringan tersebut.
“Aku sempat
hamil.”
Jonathan
menyemburkan teh hitamnya kembali ke gelas, dan Paul menjatuhkan makaron yang
setengah digigitnya; reaksi komikal yang sudah kuduga akan terjadi.
“What?! Cin? Are you even okay?” Mata
Jonathan membelalak lebar.
“Apa?! Cin?
Kamu bercanda?” Paul terlihat berusaha mengatur nafasnya yang panjang-pendek.
Aku terdiam
sejenak dan tertawa. Jonathan dan Paul menatapku heran, meminta penjelasan
lebih panjang.
“Please tell me you’re kidding. Very funny, Cin.”
“Tolong
katakan padaku kamu bercanda.”
Aku menatap
kedua orang di hadapanku. Aku sendiri berharap bahwa aku sedang bercanda.
Aku
menghela nafas.
“Tidak, aku
tidak sedang bercanda. Enam bulan masuk kuliah, aku hamil. Tengah semester dua,
aku tidak masuk satu bulan. Hebat sekali bukan?” Aku tidak bisa menahan getaran
pada suaraku. Bukan malu; rasa itu sudah lama terkunci dibalik pintu kamar
rumah sakit; tapi pedih. Sedih.
“Berarti
awal tahun kemarin? Kalau kmau memang serius, kamu seharusnya sedang hamil besar
sekarang, tapi..kamu..tidak terlihat sedang hamil.” Aku memahami keheranan Paul.
Hal yang sama terpancar dari mata Jonathan. Cindy? Cindy yang mereka kenal saat
SMA? Cindy yang sombong, yang tidak pernah membiarkan lelaki sembarangan untuk
bahkan sekedar menatapnya lekat-lekat?
Tuhan
memang legendaris, terlebih dalam menggunakan katalis, untuk sekedar mengubah
nasib. Untukku, katalis itu bernama Adit.
Memikirkan
nama itu saja sudah mampu membuat airmataku merebak.
“Cindy?
Hei, hei, sudah, sudah. Semuanya baik-baik saja, kan?” Secara instingtif Paul
berdiri dari kursinya dan berjongkok di sebelahku. Aku tersedak, mencoba meraih
oksigen yang terhimpit air mata di jalur pernafasan. Seandainya aku saat itu
punya keberanian untuk mencoba menjadi lebih dari seorang teman dengan Paul,
tentunya aku tidak akan perlu mengalami ini semua. Ya, Paul menyatakan
perasaannya padaku sebelum ia berangkat ke Colorado, dan tentu saja, aku, seperti
adegan-adegan standar film romansa, mengatakan bahwa aku tidak ingin merusak
persahabatan yang kami miliki.
Jonathan
ikut menggeser tempat duduknya lebih dekat denganku dan merangkulku dari
samping. Aku teringat masa-masa bodoh ketika aku berpikir bahwa aku menyukai Jonathan, dan rasa marah setengah
matiku ketika mengetahui bahwa sesungguhnya Jonathan tidak pernah balik
menyukaiku seperti itu, dan tidak akan pernah menyukaiku seperti itu. Setelah
kupikir lagi, mungkin saat itu aku marah bukan karena Jonathan tidak
menyukaiku, tapi karena aku merasa bodoh. Bagaimana mungkin aku, yang
seharusnya merupakan teman baik Jonathan, tidak menyadari bahwa alasan dibalik
ditolaknya semua perempuan yang menyukainya adalah karena ia memang tidak
menyukai perempuan?
Pemikiran
tentang semua hal yang terjadi padaku selama setahun belakangan menyerang
syarafku dan membuat airmataku semakin berlomba-lomba keluar dari kantungnya,
bersaing dengan riuh rendah hujan.
Jonathan
dan Paul hanya bisa mengusap-usap punggungku pelan, sementara para pelayan yang
berada disana pura-pura tidak peduli, padahal aku yakin mereka dengan sigap
memasang telinga dan merekam adegan ini dalam otak mereka untuk dijadikan ajang
diskusi seru di dapur nanti. Beruntung pelanggan terakhir sebelum kami telah
meninggalkan restoran sepuluh menit yang lalu. Selain kami hanya ada dua
barista di bar dan dua pelayan yang sedari tadi sibuk mondar-mandir.
“Kami tidak akan
memaksamu untuk cerita, Cin. Tidak kalau kamu tidak mau.” Jonathan menatapku
dengan sorot mata yang teduh.
Aku menghela nafas
lagi.
“Disana aku bertemu
dengan Adit. Aditya Pradipta. Kami berpacaran. Aku tidak tahu bahwa aku hamil
hingga aku keguguran pada pertengahan bulan Maret. Aku tidak tahu, apakah aku
harus bersyukur atau sedih karena keguguran itu.” Suaraku sengau, dadaku sesak.
“Siapa Adit? Aku tidak
pernah mendengarmu menyebut namanya. Apa dia menyakitimu? Apa dia yang memaksa
kamu menggugurkan kandunganmu?” Paul terdengar berang.
“Tidak,
Paul, apa kamu tidak mendengarkan aku? Aku tidak tahu kalau aku hamil. Keguguran
itu tidak disengaja, dokter berkata hal itu wajar karena umurku masih muda, dan
rahimku tergolong lemah. Aku mengalami pendarahan. Aku datang ke rumah sakit
persis seperti Carrie dalam adegan
puncak ketika ia disiram darah babi.”
Suaraku
bersaing dengan hujan. Barusan adalah rangkaian kalimat paling panjang yang
keluar dari mulutku dalam empat bulan terakhir.
“Well,
Cindy kalian yang sempurna ini juga menjadi seorang pecandu nikotin. Mungkin
itu salah satu alasan pula kenapa aku keguguran.” Aku mendengus diantara
tangisanku, meraih tisu dan membersit hidungku.
Paul dan
Jonathan saling menatap, seakan melempar tanggung jawab atas siapa yang harus
menanggapi pernyataanku barusan.
“Apa kamu
benar-benar baik-baik saja, Cin? Kalau kamu ingin berbagi, kami akan mendengarkan.”
Jonathan akhirnya berbicara setelah beberapa lama hanya terdiam mendengarkan
aku sibuk membersit hidung dan mengusap air mata.
Aku tertawa
pedih.
Bagaimana
mungkin aku baik-baik saja? Tidak ada orang waras yang bisa mengatakan bahwa
seorang gadis yang hamil di luar nikah dan keguguran sementara ia seharusnya
bersikap dewasa dan mulai memikirkan masa depannya baik-baik saja.
Bulan Maret
itu hidupku berputar-putar dalam angin topan yang tidak bermata; tidak ada
ketenangan inti, tidak ada jalan keluar. Disekitarku semua pencapaian dalam
hidupku ikut terseret, melewatiku setiap berganti orbit, menabrakku dengan
keras, menghancurkan rusuk-rusukku, menggerus hasrat hidupku hingga menjadi
debu. Cindy yang aktif, Cindy yang ceria, Cindy yang cerdas, Cindy yang
sempurna. Tak kusangka predikat-predikat itu dapat berbalik menyerangku
sedemikian rupa. Hidup memang tidak adil; hal-hal yang kau anggap sesuatu yang
membanggakan dapat berbalik menjadi pengkhianat yang bersekutu dengan
kesalahanmu dan menghujammu beribu-ribu kali lebih sadis.
“Siapa Adit
ini? Dimana ia sekarang?” Jonathan menambah pertanyaannya ketika aku tidak
menjawab.
Air mataku
kembali meleleh. Air mataku yang kukira sudah kering.
Aditya
Pradipta.
Aku sungguh
berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menyalahkannya atas semua
yang terjadi setahun belakangan ini. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada
disini, sehingga aku bisa menampar wajahnya. Aku sungguh berharap bahwa ia akan
ada disini, sehingga aku bisa menjambak rambutnya. Aku sungguh berharap bahwa
ia akan ada disini, sehingga aku bisa mendengar suaranya.
Aku
merindukannya.
Sungguh,
sungguh merindukannya.
“Ia sudah
meninggal.”
Aku
mengambil minumanku, menekuk sedotannya, dan menegak habis minuman tersebut
langsung dari gelas. Kilasan balik malam itu kembali datang, berkelebat di
benakku seperti tumpukan foto usang yang sengaja kusimpan dalam sudut terjauh
pikiran.
Sore itu
aku merasa tidak enak badan. Hal ini biasa terjadi saat-saat menjelang
menstruasi, sehingga aku tidak ambil pusing. Terlebih, sudah dua bulan aku
tidak mendapat tamu bulanan tersebut. Aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah,
dan aku menghabiskan waktu dirumah, membaca novel-novel yang baru kubaca
setengah. Sekitar pukul tiga, aku merasakan sesuatu mengalir dibawah sana, dan
merasa lega ketika aku melihat bercak darah di celanaku, dan segera mandi.
Ketika aku
berdiri dibawah pancuran air, rasa sakit semakin menjadi-jadi, dan aku
menyadari bahwa darah yang mengalir tidak seperti biasanya; banyak, kehitaman,
terlalu kental untuk ukuran menstruasi biasa. Darah tersebut tidak berhenti
mengalir; aku merasa lemas, mataku berkunang-kunang, kepalaku mulai terasa
ringan. Aku bergegas berpakaian dan menelepon dokter keluargaku untuk meminta
preskripsi; aku masih tidak berpikiran macam-macam, karena menstruasiku memang
selalu problematik. Setelah menceritakan keadaanku, dokter menyarankan aku
untuk segera kerumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Aku, tanpa menaruh
curiga, menelepon taksi, mengirim pesan singkat kepada Ibuku tentang keadaanku,
dan menuju rumah sakit. Ditengah perjalanan, aku pingsan.
Aku sadar
ketika aku berada diatas ranjang beroda; perawat berpakaian hijau mendorong
ranjang tersebut, dan ibuku di samping kiriku, sedang menelepon, menyebut nama
rumah sakit.
“Pendarahan,
dit. Cindy sedang pendarahan hebat. Ini sedang dibawa ke ICU. Iya. Baiklah.
Hati-hati dijalan, dit.”
Aku kembali
tidak sadarkan diri.
Jam-jam
berikutnya berlalu, kesadaranku hilang-timbul. Yang aku ingat saat detik-detik
aku tersadar sebelum aku kembali pingsan adalah orang-orang bermasker berbaju
hijau, sibuk melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Aku baru
benar-benar bangun beberapa jam setelah itu. Yang pertama aku sadari adalah aku
berada di sebuah ruangan putih; ruangan rumah sakit. Rasa sakit menyengat
tangan kiriku; aku terhubung dengan infus. Aku melihat sekelilingku, masih
tidak bisa menyelaraskan antara motorik dan kognitifku. Otot mataku berdenyut,
bekerja keras memfokuskan pandanganku.
“Cindy?”
Pintu
terbuka dan Ibuku masuk dalam balutan kemeja putih dan blazer abu-abu, dengan
celana panjang bewarna senada serta sepatu hak tinggi bewarna putih.
“Ma..”
Bibirku kering dan tenggorokkanku sakit, aku butuh minum.
Seakan
dapat membaca pikiranku, Ibuku menuangkan air ke gelas di meja samping
ranjangku dan menyerahkannya padaku. Aku berusaha naik ke posisi duduk tapi
rasa sakit seketika menghujam perut bagian bawahku. Ibuku cepat-cepat menekan
tombol untuk menaikkan sandaran ranjang.
Aku meraih
gelas yang disodorkan ibuku dan menegak isinya hingga habis. Ibuku mendekat dan
kini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mukanya kusam, eyelinernya telah luntur dan membingkai
kedua matanya seperti anak-anak band tahun 90an. Rautnya sulit kutebak; Ibu
bukanlah orang yang wajahnya gampang ditebak bahkan saat aku sepenuhnya sadar,
terlebih saat aku masih menyusun syaraf-syarafku seperti ini.
Setelah
beberapa detik kuhabiskan untuk menatap kosong kearah gelas, suaraku memecah
keheningan dalam ruangan.
“Aku kenapa
Ma?” Suaraku parau.
Ibuku duduk
di atas ranjang dan mengelus wajahku. Aku menatap wajahnya yang terlihat letih
dan baru menyadari bahwa ia masih dalam balutan baju kerjanya. Aku melihat jam
yang berada tepat di seberangku dan mendapati waktu menunjukkan pukul sembilan
kurang.
“Mama
benar-benar gak tau harus mulai darimana.”
Aku menatap
ibuku dengan bingung. Ibuku tahu kalau menstruasiku selalu bermasalah. Ia juga
mengalami hal itu. Lagipula, aku sudah mengabarinya bahwa aku tadi memang
menuju ke rumah sakit. Lantas, kenapa harus bingung harus mulai darimana untuk
menjawab pertanyaan itu?
“Kenapa
sih, Ma? Menstruasiku, kan? Mama kan tahu?”
Ibuku
menghela nafas dan menatap mataku lekat-lekat, tanpa berbicara. Kali ini aku
cukup yakin ia sedang mempelajari omonganku barusan, mempertimbangkan kata-kata
yang akan digunakannya untuk menjawab pertanyaanku.
Nada dering
handphoneku berbunyi dari dalam tas Mama yang diletakkan diatas meja di samping
ranjangku. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Mama, aku mengulurkan tangan
dan meraih tas tersebut. Aku kembali meringis karena merasakan sakit di bagian
yang tadi, tapi aku berhasil meraih tas tersebut dan mendapati nama Bram
tertera di layar handphoneku.
Aku menatap
Ibuku yang sedari tadi hanya diam menatapku, dan menekan tombol terima.
“Halo?” Suaraku
terdengar pelan. Terdengar bunyi helaan nafas yang tersendat-sendat di ujung
telepon.
“Halo? Bram? Ada apa?”
Kali ini aku mencoba membesarkan volume suaraku.
Bram menghela nafas dan
mengatakan nama rumah sakit yang tadi aku tuju.
“Cepat kesini.” Dari
nada suaranya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa? Ngapain lo di
rumah sakit? Bram?” Panik menjalari seluruh tubuhku. Sesuatu benar-benar sedang
tidak beres.
“Adit…adit.” Tangis Bram pecah, dan seketika aku
kembali lemas. Handphoneku lepas dari genggamanku dan meluncur ke atas pangkuanku.
Ibuku menekan tombol pemanggil perawat sambil mengusap wajahnya, tidak
memperdulikan eyelinernya yang sudah
coreng-moreng.
Aku menatap Ibuku. Aku yakin ia punya jawaban atas
semua yang terjadi padaku. Ia menatapku dengan iba, dan air mata mulai menggenangi
pandanganku, mengaburkan wajah ibuku.
“Anda memanggil saya?” Sesosok pria dalam balutan
setelan bewarna biru memasukki ruangan dengan tergesa-gesa.
“Tolong antarkan anak saya pada penunggu pasien yang
tadi kita bicarakan, ya. Ia barusan menelepon.”
Pasien? Penunggu pasien? Siapa?
“Bram? Pasien? Siapa yang pasien? Ma? Sebenarnya apa
yang sedang terjadi sih?” Airmataku mengalir, dan aku mulai tersedu tanpa tahu
jelas apa yang aku tangisi. Yang jelas rasanya perih, seperti mengetahui bahwa
sesuatu yang buruk sedang terjadi dan kau benar-benar tidak tahu apa yang harus
kau lakukan.
“Baiklah nyonya, tapi apakah…” Pria itu menatapku
dengan segan, “anda yakin putri anda cukup kuat untuk mendapat berita
tersebut?”
Berita? Berita apa? Apasih yang sedang mereka berdua
bicarakan?
“Ma! Ada apasih? Kenapa? Apa yang terjadi? Bram
kenapa? Adit kenapa? Seseorang tolong jawab pertanyaanku!” Aku histeris dan
memukul ranjangku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan kepalaku terasa mau
pecah. Ibuku mendekat dan memelukku, mengelus-elus punggungku.
“Kamu keguguran, Cin.”
Aku terkesiap dan dengan refleks melepaskan pelukan
Ibuku. Keguguran?!
“Aku hamil?” Air mata masuk ke mulutku. Asin.
Ibuku menatapku dengan bingung.
“Mama kira kamu menyembunyikan ini dari mama. Kamu
nggak tahu?”
Aku menangis semakin keras. Malu. Shock. Marah. Jelas aku tak tahu. Kami tidak cukup bodoh untuk tidak menggunakan pengaman, namun ternyata kami tidak cukup pintar mengakali nasib.
Ibuku menghela nafas.
“Tadi Adit menelepon saat kamu mau masuk ICU. Mama
suruh dia kesini.”
Bom atom meledak di tengkorakku, mengalirkan rasa
sakit ke seluruh bagian tubuhku.
“Trus, dimana Adit sekarang?” Suaraku pelan dan
bergetar, berharap jawaban Ibuku tidak seperti yang aku harapkan.
“Ia..kecelakaan waktu menuju kesini.”
Seluruh duniaku hancur berkeping-keping dalam waktu
lima menit.
Aku tidak sadar apa yang terjadi selanjutnya, semua
kepingan memoriku saling bertabrakan dan merekam kejadian selanjutnya seperti
potongan film yang direkatkan dengan selotip secara sembarangan; tidak rapi, saling tumpang tindih. Aku ingat berlari
keluar ruangan, pria berbaju biru itu menarik lenganku, mengarahkanku ke suatu
tempat, sekaligus menyuruhku untuk berhati-hati dan tidak berlari, suatu hal
yang sudah pasti tidak bisa aku patuhi.
Aku tiba di ruangan satu-satunya yang tidak
berdampingan dengan ruangan lain, dan samar-samar mendengar pria tadi berkata
sesuatu yang sepertinya mengonfirmasi bahwa inilah ruangan yang kami tuju. Aku
membuka pintu dengan kasar, dan mendapati Bram sedang terduduk di salah satu kursi,
menghadap ke suatu layar. Aku langsung menghambur ke pelukannya dan tangisku
pun pecah.
Kami berdua saling berpelukan tanpa berkata-kata. Aku
tidak sanggup berkata-kata; satu-satunya hal yang sanggup aku lakukan dalam
hati adalah memohon pada Tuhan untuk tidak menambah kemalanganku lebih dari
ini, meski dari wajah Bram yang sepintas kulihat, aku sudah tahu bahwa berita
yang akan kuterima bukanlah berita baik.
Setelah beberapa saat, aku melepas pelukanku dan
terduduk menatap layar di hadapan kami. Di layar ditampilkan beberapa orang
berdiri mengitari sesosok tubuh di atas ranjang yang ditutupi kain biru, dan
aku tahu itu Adit. Aku hanya menatap kosong ke layar, terlalu lelah dan berat
untuk bereaksi, hingga aku melihat dua orang mencabuti alat-alat yang menempel
di badan Adit. Aku melihat indikator jantungnya tak lagi membentuk gelombang.
Aku melihat orang-orang tersebut terdiam sebentar di depan Adit, kemudian
mematikan monitor jantungnya. Otakku bekerja keras menerima dan memroses apa
yang sedang terjadi, tetapi pandanganku menggelap.
“Cin?”
Suara Paul mengembalikanku pada masa sekarang. Hujan
di luar sudah agak mereda, dan sekarang suara Paul terdengar lebih jelas,
hingga aku merasakan getaran kecemasan didalamnya.
Aku tidak bisa berpikir cepat untuk menceritakan apa
yang sudah terjadi, jadi aku hanya menatap mereka bergantian. Paul menarik
kursinya lebih dekat ke arahku dan duduk diatasnya.
“Kami turut berduka cita…”
Jonathan menatapku dengan pandangan iba.
Aku tertawa kecil, karena tidak ada lagi yang bisa
kulakukan. Hidup memang penuh dengan lelucon. Satu detik kau mempunyai
segalanya, dan detik berikutnya semuanya bisa dirampas darimu begitu saja. Satu
detik aku mempunyai kehidupan yang sempurna, satu detik kemudian semuanya
hilang sirna. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat suka mempermainkan
manusia. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat kreatif dalam menghukum
orang yang telah berdosa.
Jonathan dan Paul saling melempar pandangan, semakin
bingung dengan perempuan di hadapan mereka yang tertawa dengan muka sembab.
“Sori, Cin, Adit meninggal kenapa?”
“Kecelakaan, waktu mau menyusul aku ke rumah sakit.
Dia bahkan gak tahu; dan gak akan pernah tahu, kalau aku hamil. Waktu dia mau
datang, Mama cuma bilang kalau aku pendarahan.”
Aku mendengar Paul menghela nafas, dan Jonathan meraih
minumannya di atas meja. Sedekat apapun kami, aku yakin semua informasi barusan
butuh waktu untuk dicerna. Kami sudah lama tidak benar-benar berbicara seperti
ini, dan tiba-tiba aku menceritakan suatu hal yang benar-benar tidak disangka
akan terjadi.
“Terus..bagaimana dengan kuliahmu?”
“Aku tidak kuliah hampir sebulan. Dokter rumah sakit
tersebut adalah dokter keluarga yang sudah lama menanganiku sejak kecil, jadi
ia membuat surat keterangan yang tidak dengan jelas mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi kepadaku. Aku juga kurang tahu, mamaku yang mengurus.
Teman-temanku tahu bahwa Adit meninggal, jadi sepertinya mereka maklum. Yang
tahu kejadian sebenarnya diantara teman-teman kuliahku adalah Bram.”
“Bram?”
“Ya, teman baikku dan Adit. Kami sering menghabiskan
waktu bersama. Dia pula yang berada di rumah sakit saat kejadian tersebut
terjadi.”
Kami kembali terdiam, sibuk mendengarkan rintik hujan
yang makin lama makin jarang.
Empat bulan telah berlalu semenjak semua kejadian
tersebut. Empat bulan bukan waktu yang lama, tapi semua kejadian tersebut sudah
kumasukkan kedalam kardus-kardus berlabel memori di dalam pikiranku, namun
masih kupertimbangkan untuk dibuang atau disimpan. Proses pertimbangan inilah,
yang akan makan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Aku tidak ingin melupakan Adit; lebih tepatnya saat
ini tidak sanggup. Bagaimanapun juga, kita semua tahu bahwa memaafkan lebih
mudah daripada melupakan, dan berbicara lebih mudah daripada melakukan. Aku
sudah tidak lagi menangis di kamarku setiap malam, tapi aku masih belum sanggup
untuk naik ke lantai paling atas, tempat biasa aku, Adit dan Bram, berbagi
kesunyian. Aku masih belum sanggup melihat foto-foto terakhir yang kami ambil,
belum sanggup membuang kotak rokok terakhir yang bersama-sama kami nikmati, dan
belum sanggup menahan diri untuk tidak mengingat pembicaraan-pembicaraan kami.
“Tuhan ada atau tidak sih?”
Aku memecah kesunyian dengan menanyakan hal terakhir
yang kutanyakan pada Adit.
Adit
tersenyum menatapku. “Menurutmu?”
Aku terdiam
sejenak, menatap sorot mata Adit yang berbinar. “Aku tidak tahu. Terkadang aku
berpikir dia ada, terkadang aku berpikir kalau dia hanya ilusi semata. Tidak
pernah ada satu argumenpun yang bisa memvalidasi keberadaannya di alam
semesta.”
“Tidak ada
yang memvalidasi keberadaanmu terhadap, misalnya, orang-orang dari suku yang tinggal jauh di pedalaman. Mereka bisa berpikir kamu ada, dia
juga bisa berpikir kalau kamu tidak nyata. Jadi sebenarnya, kamu ada atau
tidak?”
“Apa
maksudmu? Aku punya sertifikat lahir. Aku punya kartu identitas. Orang-orang mengenalku. Tentu saja aku ada. Aku disini, aku tidak butuh mereka untuk berpikir
aku ada atau tidak untuk memastikan eksistensiku, karena aku memang ada.”
Adit
tertawa sejenak. “Bagi mereka, kamu bisa ada, bisa tidak, tergantung mana yang mereka ingin percayai. Kecil kemungkinan kamu akan bertemu mereka, jadi kecil kemungkinan pula mereka bisa memastikan kalau kamu ada. Sertifikat lahir, kartu identitas, semua bisa saja cuma dongeng buat mereka. Afterall, your identifications are validated by others, not you. Same goes to God. Banyak orang yang mengakui mereka pernah bertemu dengannya. Transkrip-transkrip yang kamu kenal sebagai alkitab itu salah satunya, yang bisa benar, bisa tidak. Sampai kamu bisa bertemu langsung dengannya, kamu gak bisa membuktikan dia ada atau gak, kan? Semua kembali lagi ke keinginan mereka masing-masing. Nah, kamu ingin percaya dia ada atau gak?”
Aku
terdiam.
Pertanyaan itu, sampai sekarang, masih belum bisa aku
jawab.