Sabtu, 20 Februari 2016

Sekedar Cerita Para Pribadi - Cindy

“Cukuplah tentang aku. Pokoknya, kami sama dengan kalian, cuma sedikit berbeda. Bagaimana dengan kalian? How’s life in uni?”
Hujan membasahi jendela di samping meja kami, meninggalkan titik-titik yang saling berkejar-kejaran searah gravitasi. Waktu aku tiba, air yang tumpah tidak lebih dari rintik-rintik; sekarang hujan makin bersemangat, diajak menari oleh guntur dan berdansa bersama halilintar.
Jonathan menyeruput teh hitamnya sambil menatap Paul dan aku bergantian. Aku menahan desah nafas berat yang ingin melesak keluar tenggorokkan.
Bagaimana kehidupan di universitas?
Cukup rumit hingga aku berharap akulah sang jenius yang dapat merakit mesin waktu, melompat ke dalamnya, kemudian pergi ke masa dimana kartun yang menceritakan seekor lebah yang sedang mencari ibunya adalah satu-satunya tayangan yang menguras air mata, bukannya drama-drama dari negeri tetangga.
Terlalu rumit hingga aku benar-benar tidak tahu apakah aku mempercayai Tuhan, atau bahkan sekedar mempercayai keberadaanya.
Aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjawab pertanyaan yang ringan tersebut.
“Aku sempat hamil.”
Jonathan menyemburkan teh hitamnya kembali ke gelas, dan Paul menjatuhkan makaron yang setengah digigitnya; reaksi komikal yang sudah kuduga akan terjadi.
What?! Cin? Are you even okay?” Mata Jonathan membelalak lebar.
“Apa?! Cin? Kamu bercanda?” Paul terlihat berusaha mengatur nafasnya yang panjang-pendek.
Aku terdiam sejenak dan tertawa. Jonathan dan Paul menatapku heran, meminta penjelasan lebih panjang.
Please tell me you’re kidding. Very funny, Cin.”
“Tolong katakan padaku kamu bercanda.”
Aku menatap kedua orang di hadapanku. Aku sendiri berharap bahwa aku sedang bercanda.
Aku menghela nafas.
“Tidak, aku tidak sedang bercanda. Enam bulan masuk kuliah, aku hamil. Tengah semester dua, aku tidak masuk satu bulan. Hebat sekali bukan?” Aku tidak bisa menahan getaran pada suaraku. Bukan malu; rasa itu sudah lama terkunci dibalik pintu kamar rumah sakit; tapi pedih. Sedih.
“Berarti awal tahun kemarin? Kalau kmau memang serius, kamu seharusnya sedang hamil besar sekarang, tapi..kamu..tidak terlihat sedang hamil.” Aku memahami keheranan Paul. Hal yang sama terpancar dari mata Jonathan. Cindy? Cindy yang mereka kenal saat SMA? Cindy yang sombong, yang tidak pernah membiarkan lelaki sembarangan untuk bahkan sekedar menatapnya lekat-lekat?
Tuhan memang legendaris, terlebih dalam menggunakan katalis, untuk sekedar mengubah nasib. Untukku, katalis itu bernama Adit.
Memikirkan nama itu saja sudah mampu membuat airmataku merebak.
“Cindy? Hei, hei, sudah, sudah. Semuanya baik-baik saja, kan?” Secara instingtif Paul berdiri dari kursinya dan berjongkok di sebelahku. Aku tersedak, mencoba meraih oksigen yang terhimpit air mata di jalur pernafasan. Seandainya aku saat itu punya keberanian untuk mencoba menjadi lebih dari seorang teman dengan Paul, tentunya aku tidak akan perlu mengalami ini semua. Ya, Paul menyatakan perasaannya padaku sebelum ia berangkat ke Colorado, dan tentu saja, aku, seperti adegan-adegan standar film romansa, mengatakan bahwa aku tidak ingin merusak persahabatan yang kami miliki.
Jonathan ikut menggeser tempat duduknya lebih dekat denganku dan merangkulku dari samping. Aku teringat masa-masa bodoh ketika aku berpikir bahwa aku menyukai Jonathan, dan rasa marah setengah matiku ketika mengetahui bahwa sesungguhnya Jonathan tidak pernah balik menyukaiku seperti itu, dan tidak akan pernah menyukaiku seperti itu. Setelah kupikir lagi, mungkin saat itu aku marah bukan karena Jonathan tidak menyukaiku, tapi karena aku merasa bodoh. Bagaimana mungkin aku, yang seharusnya merupakan teman baik Jonathan, tidak menyadari bahwa alasan dibalik ditolaknya semua perempuan yang menyukainya adalah karena ia memang tidak menyukai perempuan?   
Pemikiran tentang semua hal yang terjadi padaku selama setahun belakangan menyerang syarafku dan membuat airmataku semakin berlomba-lomba keluar dari kantungnya, bersaing dengan riuh rendah hujan.
Jonathan dan Paul hanya bisa mengusap-usap punggungku pelan, sementara para pelayan yang berada disana pura-pura tidak peduli, padahal aku yakin mereka dengan sigap memasang telinga dan merekam adegan ini dalam otak mereka untuk dijadikan ajang diskusi seru di dapur nanti. Beruntung pelanggan terakhir sebelum kami telah meninggalkan restoran sepuluh menit yang lalu. Selain kami hanya ada dua barista di bar dan dua pelayan yang sedari tadi sibuk mondar-mandir.
“Kami tidak akan memaksamu untuk cerita, Cin. Tidak kalau kamu tidak mau.” Jonathan menatapku dengan sorot mata yang teduh.
Aku menghela nafas lagi.
“Disana aku bertemu dengan Adit. Aditya Pradipta. Kami berpacaran. Aku tidak tahu bahwa aku hamil hingga aku keguguran pada pertengahan bulan Maret. Aku tidak tahu, apakah aku harus bersyukur atau sedih karena keguguran itu.” Suaraku sengau, dadaku sesak.
“Siapa Adit? Aku tidak pernah mendengarmu menyebut namanya. Apa dia menyakitimu? Apa dia yang memaksa kamu menggugurkan kandunganmu?” Paul terdengar berang.
   “Tidak, Paul, apa kamu tidak mendengarkan aku? Aku tidak tahu kalau aku hamil. Keguguran itu tidak disengaja, dokter berkata hal itu wajar karena umurku masih muda, dan rahimku tergolong lemah. Aku mengalami pendarahan. Aku datang ke rumah sakit persis seperti Carrie dalam adegan puncak ketika ia disiram darah babi.”
Suaraku bersaing dengan hujan. Barusan adalah rangkaian kalimat paling panjang yang keluar dari mulutku dalam empat bulan terakhir.  
  “Well, Cindy kalian yang sempurna ini juga menjadi seorang pecandu nikotin. Mungkin itu salah satu alasan pula kenapa aku keguguran.” Aku mendengus diantara tangisanku, meraih tisu dan membersit hidungku.
Paul dan Jonathan saling menatap, seakan melempar tanggung jawab atas siapa yang harus menanggapi pernyataanku barusan.
“Apa kamu benar-benar baik-baik saja, Cin? Kalau kamu ingin berbagi, kami akan mendengarkan.” Jonathan akhirnya berbicara setelah beberapa lama hanya terdiam mendengarkan aku sibuk membersit hidung dan mengusap air mata.
Aku tertawa pedih.
Bagaimana mungkin aku baik-baik saja? Tidak ada orang waras yang bisa mengatakan bahwa seorang gadis yang hamil di luar nikah dan keguguran sementara ia seharusnya bersikap dewasa dan mulai memikirkan masa depannya baik-baik saja.
Bulan Maret itu hidupku berputar-putar dalam angin topan yang tidak bermata; tidak ada ketenangan inti, tidak ada jalan keluar. Disekitarku semua pencapaian dalam hidupku ikut terseret, melewatiku setiap berganti orbit, menabrakku dengan keras, menghancurkan rusuk-rusukku, menggerus hasrat hidupku hingga menjadi debu. Cindy yang aktif, Cindy yang ceria, Cindy yang cerdas, Cindy yang sempurna. Tak kusangka predikat-predikat itu dapat berbalik menyerangku sedemikian rupa. Hidup memang tidak adil; hal-hal yang kau anggap sesuatu yang membanggakan dapat berbalik menjadi pengkhianat yang bersekutu dengan kesalahanmu dan menghujammu beribu-ribu kali lebih sadis.
“Siapa Adit ini? Dimana ia sekarang?” Jonathan menambah pertanyaannya ketika aku tidak menjawab.
Air mataku kembali meleleh. Air mataku yang kukira sudah kering.
Aditya Pradipta.
Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menyalahkannya atas semua yang terjadi setahun belakangan ini. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menampar wajahnya. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa menjambak rambutnya. Aku sungguh berharap bahwa ia akan ada disini, sehingga aku bisa mendengar suaranya.
Aku merindukannya. 
Sungguh, sungguh merindukannya.
“Ia sudah meninggal.”
Aku mengambil minumanku, menekuk sedotannya, dan menegak habis minuman tersebut langsung dari gelas. Kilasan balik malam itu kembali datang, berkelebat di benakku seperti tumpukan foto usang yang sengaja kusimpan dalam sudut terjauh pikiran.
Sore itu aku merasa tidak enak badan. Hal ini biasa terjadi saat-saat menjelang menstruasi, sehingga aku tidak ambil pusing. Terlebih, sudah dua bulan aku tidak mendapat tamu bulanan tersebut. Aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah, dan aku menghabiskan waktu dirumah, membaca novel-novel yang baru kubaca setengah. Sekitar pukul tiga, aku merasakan sesuatu mengalir dibawah sana, dan merasa lega ketika aku melihat bercak darah di celanaku, dan segera mandi.
Ketika aku berdiri dibawah pancuran air, rasa sakit semakin menjadi-jadi, dan aku menyadari bahwa darah yang mengalir tidak seperti biasanya; banyak, kehitaman, terlalu kental untuk ukuran menstruasi biasa. Darah tersebut tidak berhenti mengalir; aku merasa lemas, mataku berkunang-kunang, kepalaku mulai terasa ringan. Aku bergegas berpakaian dan menelepon dokter keluargaku untuk meminta preskripsi; aku masih tidak berpikiran macam-macam, karena menstruasiku memang selalu problematik. Setelah menceritakan keadaanku, dokter menyarankan aku untuk segera kerumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Aku, tanpa menaruh curiga, menelepon taksi, mengirim pesan singkat kepada Ibuku tentang keadaanku, dan menuju rumah sakit. Ditengah perjalanan, aku pingsan.
Aku sadar ketika aku berada diatas ranjang beroda; perawat berpakaian hijau mendorong ranjang tersebut, dan ibuku di samping kiriku, sedang menelepon, menyebut nama rumah sakit.
“Pendarahan, dit. Cindy sedang pendarahan hebat. Ini sedang dibawa ke ICU. Iya. Baiklah. Hati-hati dijalan, dit.”
Aku kembali tidak sadarkan diri.
Jam-jam berikutnya berlalu, kesadaranku hilang-timbul. Yang aku ingat saat detik-detik aku tersadar sebelum aku kembali pingsan adalah orang-orang bermasker berbaju hijau, sibuk melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti.
Aku baru benar-benar bangun beberapa jam setelah itu. Yang pertama aku sadari adalah aku berada di sebuah ruangan putih; ruangan rumah sakit. Rasa sakit menyengat tangan kiriku; aku terhubung dengan infus. Aku melihat sekelilingku, masih tidak bisa menyelaraskan antara motorik dan kognitifku. Otot mataku berdenyut, bekerja keras memfokuskan pandanganku.
“Cindy?”
Pintu terbuka dan Ibuku masuk dalam balutan kemeja putih dan blazer abu-abu, dengan celana panjang bewarna senada serta sepatu hak tinggi bewarna putih.
“Ma..” Bibirku kering dan tenggorokkanku sakit, aku butuh minum.
Seakan dapat membaca pikiranku, Ibuku menuangkan air ke gelas di meja samping ranjangku dan menyerahkannya padaku. Aku berusaha naik ke posisi duduk tapi rasa sakit seketika menghujam perut bagian bawahku. Ibuku cepat-cepat menekan tombol untuk menaikkan sandaran ranjang. 
Aku meraih gelas yang disodorkan ibuku dan menegak isinya hingga habis. Ibuku mendekat dan kini aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mukanya kusam, eyelinernya telah luntur dan membingkai kedua matanya seperti anak-anak band tahun 90an. Rautnya sulit kutebak; Ibu bukanlah orang yang wajahnya gampang ditebak bahkan saat aku sepenuhnya sadar, terlebih saat aku masih menyusun syaraf-syarafku seperti ini.
Setelah beberapa detik kuhabiskan untuk menatap kosong kearah gelas, suaraku memecah keheningan dalam ruangan.
“Aku kenapa Ma?” Suaraku parau.
Ibuku duduk di atas ranjang dan mengelus wajahku. Aku menatap wajahnya yang terlihat letih dan baru menyadari bahwa ia masih dalam balutan baju kerjanya. Aku melihat jam yang berada tepat di seberangku dan mendapati waktu menunjukkan pukul sembilan kurang.
“Mama benar-benar gak tau harus mulai darimana.”
Aku menatap ibuku dengan bingung. Ibuku tahu kalau menstruasiku selalu bermasalah. Ia juga mengalami hal itu. Lagipula, aku sudah mengabarinya bahwa aku tadi memang menuju ke rumah sakit. Lantas, kenapa harus bingung harus mulai darimana untuk menjawab pertanyaan itu?
“Kenapa sih, Ma? Menstruasiku, kan? Mama kan tahu?”
Ibuku menghela nafas dan menatap mataku lekat-lekat, tanpa berbicara. Kali ini aku cukup yakin ia sedang mempelajari omonganku barusan, mempertimbangkan kata-kata yang akan digunakannya untuk menjawab pertanyaanku. 
Nada dering handphoneku berbunyi dari dalam tas Mama yang diletakkan diatas meja di samping ranjangku. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Mama, aku mengulurkan tangan dan meraih tas tersebut. Aku kembali meringis karena merasakan sakit di bagian yang tadi, tapi aku berhasil meraih tas tersebut dan mendapati nama Bram tertera di layar handphoneku.
Aku menatap Ibuku yang sedari tadi hanya diam menatapku, dan menekan tombol terima.
“Halo?” Suaraku terdengar pelan. Terdengar bunyi helaan nafas yang tersendat-sendat di ujung telepon.
“Halo? Bram? Ada apa?” Kali ini aku mencoba membesarkan volume suaraku.
Bram menghela nafas dan mengatakan nama rumah sakit yang tadi aku tuju.
“Cepat kesini.” Dari nada suaranya aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.
“Ada apa? Ngapain lo di rumah sakit? Bram?” Panik menjalari seluruh tubuhku. Sesuatu benar-benar sedang tidak beres.
“Adit…adit.” Tangis Bram pecah, dan seketika aku kembali lemas. Handphoneku lepas dari genggamanku dan meluncur ke atas pangkuanku. Ibuku menekan tombol pemanggil perawat sambil mengusap wajahnya, tidak memperdulikan eyelinernya yang sudah coreng-moreng.
Aku menatap Ibuku. Aku yakin ia punya jawaban atas semua yang terjadi padaku. Ia menatapku dengan iba, dan air mata mulai menggenangi pandanganku, mengaburkan wajah ibuku.
“Anda memanggil saya?” Sesosok pria dalam balutan setelan bewarna biru memasukki ruangan dengan tergesa-gesa.
“Tolong antarkan anak saya pada penunggu pasien yang tadi kita bicarakan, ya. Ia barusan menelepon.”
Pasien? Penunggu pasien? Siapa?
“Bram? Pasien? Siapa yang pasien? Ma? Sebenarnya apa yang sedang terjadi sih?” Airmataku mengalir, dan aku mulai tersedu tanpa tahu jelas apa yang aku tangisi. Yang jelas rasanya perih, seperti mengetahui bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi dan kau benar-benar tidak tahu apa yang harus kau lakukan.
“Baiklah nyonya, tapi apakah…” Pria itu menatapku dengan segan, “anda yakin putri anda cukup kuat untuk mendapat berita tersebut?”
Berita? Berita apa? Apasih yang sedang mereka berdua bicarakan?
“Ma! Ada apasih? Kenapa? Apa yang terjadi? Bram kenapa? Adit kenapa? Seseorang tolong jawab pertanyaanku!” Aku histeris dan memukul ranjangku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan kepalaku terasa mau pecah. Ibuku mendekat dan memelukku, mengelus-elus punggungku.
“Kamu keguguran, Cin.”
Aku terkesiap dan dengan refleks melepaskan pelukan Ibuku. Keguguran?!
“Aku hamil?” Air mata masuk ke mulutku. Asin.
Ibuku menatapku dengan bingung.
“Mama kira kamu menyembunyikan ini dari mama. Kamu nggak tahu?”
Aku menangis semakin keras. Malu. Shock. Marah. Jelas aku tak tahu. Kami tidak cukup bodoh untuk tidak menggunakan pengaman, namun ternyata kami tidak cukup pintar mengakali nasib.
Ibuku menghela nafas.
“Tadi Adit menelepon saat kamu mau masuk ICU. Mama suruh dia kesini.”
Bom atom meledak di tengkorakku, mengalirkan rasa sakit ke seluruh bagian tubuhku.
“Trus, dimana Adit sekarang?” Suaraku pelan dan bergetar, berharap jawaban Ibuku tidak seperti yang aku harapkan.
“Ia..kecelakaan waktu menuju kesini.”
Seluruh duniaku hancur berkeping-keping dalam waktu lima menit.
Aku tidak sadar apa yang terjadi selanjutnya, semua kepingan memoriku saling bertabrakan dan merekam kejadian selanjutnya seperti potongan film yang direkatkan dengan selotip secara sembarangan; tidak rapi, saling tumpang tindih. Aku ingat berlari keluar ruangan, pria berbaju biru itu menarik lenganku, mengarahkanku ke suatu tempat, sekaligus menyuruhku untuk berhati-hati dan tidak berlari, suatu hal yang sudah pasti tidak bisa aku patuhi.
Aku tiba di ruangan satu-satunya yang tidak berdampingan dengan ruangan lain, dan samar-samar mendengar pria tadi berkata sesuatu yang sepertinya mengonfirmasi bahwa inilah ruangan yang kami tuju. Aku membuka pintu dengan kasar, dan mendapati Bram sedang terduduk di salah satu kursi, menghadap ke suatu layar. Aku langsung menghambur ke pelukannya dan tangisku pun pecah.
Kami berdua saling berpelukan tanpa berkata-kata. Aku tidak sanggup berkata-kata; satu-satunya hal yang sanggup aku lakukan dalam hati adalah memohon pada Tuhan untuk tidak menambah kemalanganku lebih dari ini, meski dari wajah Bram yang sepintas kulihat, aku sudah tahu bahwa berita yang akan kuterima bukanlah berita baik.
Setelah beberapa saat, aku melepas pelukanku dan terduduk menatap layar di hadapan kami. Di layar ditampilkan beberapa orang berdiri mengitari sesosok tubuh di atas ranjang yang ditutupi kain biru, dan aku tahu itu Adit. Aku hanya menatap kosong ke layar, terlalu lelah dan berat untuk bereaksi, hingga aku melihat dua orang mencabuti alat-alat yang menempel di badan Adit. Aku melihat indikator jantungnya tak lagi membentuk gelombang. Aku melihat orang-orang tersebut terdiam sebentar di depan Adit, kemudian mematikan monitor jantungnya. Otakku bekerja keras menerima dan memroses apa yang sedang terjadi, tetapi pandanganku menggelap.
 “Cin?”
Suara Paul mengembalikanku pada masa sekarang. Hujan di luar sudah agak mereda, dan sekarang suara Paul terdengar lebih jelas, hingga aku merasakan getaran kecemasan didalamnya.
Aku tidak bisa berpikir cepat untuk menceritakan apa yang sudah terjadi, jadi aku hanya menatap mereka bergantian. Paul menarik kursinya lebih dekat ke arahku dan duduk diatasnya.
“Kami turut berduka cita…”
Jonathan menatapku dengan pandangan iba.  
Aku tertawa kecil, karena tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Hidup memang penuh dengan lelucon. Satu detik kau mempunyai segalanya, dan detik berikutnya semuanya bisa dirampas darimu begitu saja. Satu detik aku mempunyai kehidupan yang sempurna, satu detik kemudian semuanya hilang sirna. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat suka mempermainkan manusia. Kalau memang Tuhan ada, tentunya dia sangat kreatif dalam menghukum orang yang telah berdosa.
Jonathan dan Paul saling melempar pandangan, semakin bingung dengan perempuan di hadapan mereka yang tertawa dengan muka sembab.
“Sori, Cin, Adit meninggal kenapa?”
“Kecelakaan, waktu mau menyusul aku ke rumah sakit. Dia bahkan gak tahu; dan gak akan pernah tahu, kalau aku hamil. Waktu dia mau datang, Mama cuma bilang kalau aku pendarahan.”
Aku mendengar Paul menghela nafas, dan Jonathan meraih minumannya di atas meja. Sedekat apapun kami, aku yakin semua informasi barusan butuh waktu untuk dicerna. Kami sudah lama tidak benar-benar berbicara seperti ini, dan tiba-tiba aku menceritakan suatu hal yang benar-benar tidak disangka akan terjadi.
“Terus..bagaimana dengan kuliahmu?”
“Aku tidak kuliah hampir sebulan. Dokter rumah sakit tersebut adalah dokter keluarga yang sudah lama menanganiku sejak kecil, jadi ia membuat surat keterangan yang tidak dengan jelas mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Aku juga kurang tahu, mamaku yang mengurus. Teman-temanku tahu bahwa Adit meninggal, jadi sepertinya mereka maklum. Yang tahu kejadian sebenarnya diantara teman-teman kuliahku adalah Bram.”
“Bram?”
“Ya, teman baikku dan Adit. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Dia pula yang berada di rumah sakit saat kejadian tersebut terjadi.”  
Kami kembali terdiam, sibuk mendengarkan rintik hujan yang makin lama makin jarang.
Empat bulan telah berlalu semenjak semua kejadian tersebut. Empat bulan bukan waktu yang lama, tapi semua kejadian tersebut sudah kumasukkan kedalam kardus-kardus berlabel memori di dalam pikiranku, namun masih kupertimbangkan untuk dibuang atau disimpan. Proses pertimbangan inilah, yang akan makan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Aku tidak ingin melupakan Adit; lebih tepatnya saat ini tidak sanggup. Bagaimanapun juga, kita semua tahu bahwa memaafkan lebih mudah daripada melupakan, dan berbicara lebih mudah daripada melakukan. Aku sudah tidak lagi menangis di kamarku setiap malam, tapi aku masih belum sanggup untuk naik ke lantai paling atas, tempat biasa aku, Adit dan Bram, berbagi kesunyian. Aku masih belum sanggup melihat foto-foto terakhir yang kami ambil, belum sanggup membuang kotak rokok terakhir yang bersama-sama kami nikmati, dan belum sanggup menahan diri untuk tidak mengingat pembicaraan-pembicaraan kami.
“Tuhan ada atau tidak sih?”
Aku memecah kesunyian dengan menanyakan hal terakhir yang kutanyakan pada Adit.
Adit tersenyum menatapku. “Menurutmu?”
Aku terdiam sejenak, menatap sorot mata Adit yang berbinar. “Aku tidak tahu. Terkadang aku berpikir dia ada, terkadang aku berpikir kalau dia hanya ilusi semata. Tidak pernah ada satu argumenpun yang bisa memvalidasi keberadaannya di alam semesta.”
“Tidak ada yang memvalidasi keberadaanmu terhadap, misalnya, orang-orang dari suku yang tinggal jauh di pedalaman. Mereka bisa berpikir kamu ada, dia juga bisa berpikir kalau kamu tidak nyata. Jadi sebenarnya, kamu ada atau tidak?”
“Apa maksudmu? Aku punya sertifikat lahir. Aku punya kartu identitas. Orang-orang mengenalku. Tentu saja aku ada. Aku disini, aku tidak butuh mereka untuk berpikir aku ada atau tidak untuk memastikan eksistensiku, karena aku memang ada.”
Adit tertawa sejenak. “Bagi mereka, kamu bisa ada, bisa tidak, tergantung mana yang mereka ingin percayai. Kecil kemungkinan kamu akan bertemu mereka, jadi kecil kemungkinan pula mereka bisa memastikan kalau kamu ada. Sertifikat lahir, kartu identitas, semua bisa saja cuma dongeng buat mereka. Afterall, your identifications are validated by others, not you. Same goes to God. Banyak orang yang mengakui mereka pernah bertemu dengannya. Transkrip-transkrip yang kamu kenal sebagai alkitab itu salah satunya, yang bisa benar, bisa tidak. Sampai kamu bisa bertemu langsung dengannya, kamu gak bisa membuktikan dia ada atau gak, kan? Semua kembali lagi ke keinginan mereka masing-masing. Nah, kamu ingin percaya dia ada atau gak?”
Aku terdiam.
Pertanyaan itu, sampai sekarang, masih belum bisa aku jawab.