Hanya bilik bambu pagar rumah kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan..
Beratap jerami, beralaskan tanah
Namun semua itu milik kita…
Suara
Ahmad Albar yang ditingkahi distorsi gitar elektrik sayup-sayup mengalun
dari radio sekaligus pemutar kaset usang
yang kupulung nyaris sepuluh tahun yang lalu, dan sudah menemaniku sejak itu. Aku
duduk diatas kursi kayu di halaman rumahku, menegak kopi yang nyaris dingin, berharap
segelas kafein tersebut mampu mengganti tidurku malam tadi yang kutukar dengan
menguli. Jam yang tergantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam, namun
matahari pagi ini masih terlihat enggan keluar, entah masih bersembunyi di
balik selimut awan, atau bahkan belum rela lepas dari sang malam. Anak-anakku
seharusnya sudah bangun, tapi kubiarkan tidur lebih lama pagi ini. Dengan cuaca
seperti ini, besar kemungkinan mereka pada akhirnya tidak masuk sekolah, karena
guru-guru di SD mereka mempunyai aturan sendiri yang tidak tertulis; jika
hujan, sekolah libur, karena kemungkinan besar sekolah akan banjir dan toh
murid-murid akhirnya hanya akan main air.
Hanya alang-alang pagar rumah kita
Tanpa anyelir tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh dihalaman,
Namun semua itu milik kita…
Aku menatap
gunungan sampah di dihalamanku dan menghirup nafas dalam-dalam. Orang-orang
yang datang berkunjung selalu menggunakan masker berlipat-lipat, tetapi aku;
kami semua yang tinggal disini, hanya menertawakan kelakuan mereka; datang
dengan mobil besar dengan pengeruk di ujungnya, bersarung tangan karet,
berseragam plastik aneh dan sepatu bot yang berwarna oranye cerah, mengomel
mengenai bagaimana kami semua tidak mau disuruh pindah, lingkungan ini sumber
penyakit, dan semua hal-hal lucu yang sering kami dengar namun kami abaikan. Kami
hanya tertawa. Kami tidak perlu menggunakan apapun untuk bernapas, kami hidup
dengan aroma ini hampir sepanjang hidup kami. Kami tidak perlu memakai karet
untuk melindungi tangan kami; kulit kami setebal karung goni. Kami tidak perlu
membungkus tubuh kami dengan plastik dan mengalasi kaki kami dengan sepatu
nyentrik; ini rumah kami.
Memang semua itu milik kita…
Bunyi
derit dipan membangunkan aku dari lamunanku. Si sulung rupanya sudah bangun. Ia
kemudian duduk diatas dipan sempit yang berfungsi sebagai meja makan, meja
belajar, sekaligus tempat tidur kami. Terkadang dikala malam sedang dingin, hal
ini aku syukuri; kami tidur bertiga berdampingan melawan dingin malam, namun
ketika musim pancaroba datang dan malam menjadi ganas, dan nyamuk-nyamuk tiba-tiba
menjadi selapar drakula…
“Ayah,
badan adek panas.”
Aku
menoleh kepada si sulung, dan mendapati ia memegang kening adiknya yang sedang
terlelap.
“Semalem
aku sudah mau bilang, tapi ayah belum pulang, terus aku ketiduran.”
Langit
bergemuruh, sepercik kilat terlihat menyambar di arah kiblat.
Aku
bergegas mendekati dipan dengan perasaan yang tak asing. Panik, kacau..namun
kali ini sekaligus pasrah. Seharusnya aku tahu kalau ini akan terulang lagi.
Seharusnya…aku punya cukup akal untuk tidak membiarkan hal ini terjadi lagi.
Lebih baik disini…
Rumah kita sendiri..
Segala nikmat dan anugerah yang kuasa
Semuanya ada disini..
Aku
berlari membawa si bungsu secepat yang aku bisa ke puskesmas terdekat. Badannya
sepanas bara, bibirnya membiru, dan kausnya yang tinggal setipis kertas telah
basah oleh keringat. Aku sudah tidak sanggup berpikir; tidak tidur semalaman,
rasa lelah dan perasaan panik bukanlah kombinasi yang baik.
Aku
membuka pintu puskesmas yang masih sepi, nyaris mendobrak, dan membuat
resepsionis yang sedang terkantuk-kantuk dengan spontan berdiri dan hampir menjatuhkan
vas bunga di mejanya. Ia berteriak memanggil dokter dan para karyawan, dan dengan
sekejap ruangan tersebut diisi orang-orang dengan seragam putih-putih dan
bersepatu runcing, mengambil si bungsu dari gendonganku, meletakkannya diatas
kasur beroda, lalu berderap pergi. Resepsionis menelepon ambulans, dan hujan
mulai mengguyur.
“Sudah
saya bilang, lebih baik anda segera pindah! Istri anda baru saja meninggal dua
bulan lalu karena malaria, sekarang anak anda terkena penyakit yang sama! Anda
itu hidup diantara sampah, pak! Apa yang
membuat anda berpikir bahwa hal itu merupakan sesuatu yang wajar? Mau sampai
kapan anda tinggal disana? Hingga semua anggota keluarga anda habis dilibas
penyakit karena lingkungan yang kumuh itu?!”
Racauan
dokter terdengar berlomba dengan curah hujan diatas genting puskesmas. Aku
tidak mendengarkan, dalam otakku hanya terngiang-ngiang suara Ahmad Albar yang sayup-sayup
mengalun dari radio sekaligus pemutar kaset usang yang kupulung nyaris sepuluh
tahun yang lalu. Kali ini, Ahmad Albar berulang-ulang menyanyikan sepotong
lagunya, mengejek aku yang terduduk bersandar di dinding puskesmas.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri...