Minggu, 17 November 2013

Sabarlah Tak Berujung. ( Terinspirasi dari lagu Sabar - Afgan)

               Aku membelai pipinya yang halus seperti pualam, tempat ciuman-ciuman yang sering tiba-tiba kuhujamkan dimana saja, kapan saja.  Kususuri rahang kokoh yang membarikade geligi rapih dan putihnya, yang menyinggungkan senyumnya yang biasanya mampu melunturkan semua emosi negatifku. Hidung laksana paruh elangnya menghembuskan nafasnya yang hangat di leherku. Kuletakkan kepalaku di dadanya yang bidang, kuciumi aroma tubuhnya, dan dengan egois mengharapkan keindahan ini boleh kubawa pulang.
            “Dala?”
            “Hmm?”
            Kuangkat kepalaku, kutatap matanya yang memabukkan.
            “Maaf.”
            Matanya menyipit.
            “Jangan sekarang, sayang. Kau tidak ingin merusak malam ini bukan?”
            Aku meringis. Ada sesuatu yang perih di dalam tubuhku. Menyiksa.
            “Mengapa kau menangis?”
            “Aku mungkin tidak hanya merusak malam ini, Dala. Aku merusak hidupmu.” Perih, perih. Sakit, tenggorokkanku sakit mengakui kenyataan yang terkutuk ini.
            Dala menarik nafas dan mengalihkan pandangan.
            “Dala....”
            Ia menangkup kepalaku, merangkul aku dalam pelukannya. Kembali dengan bodohnya aku bersandar di dadanya, berputar dalam keindahan yang, aku tahu, tak akan bisa bertahan lama.
            “Kau yang paling aku cinta. Hanya kau yang paling aku mau. Seribu kali kuulang, tak juga kah kau akan mengerti?”
            “Aku mengerti dal, aku mengerti...”  
            Dala menatapku dan menciumi pipiku, menelan air mataku. Mencintai aku.
             “Seandainya kita bertemu lebih cepat...”
Waktu, kau memang kurang ajar. Bermainkah kau?
Nasib, kau memang berengsek. Kenapa kau pertemukan kami?
Perasaan, kau memang bangsat. Perlukah kau timbul pada orang yang salah?
Semesta, semua salahmu.
“Sabar, sayang. Hanya sementara...” Dala melepaskan pandangannya dariku, menerawang jauh. Nada suaranya ragu.
Aku ingin menipu diriku sendiri. Ingin sekali. Menganggap semua baik-baik saja, mengakui pada dunia bahwa aku mencintai dan ingin memiliki orang yang salah, dan pada akhirnya mengunci Dala seutuhnya untukku sendiri. Sangat ingin, sampai-sampai ujung-ujung jariku sakit memikirkannya.
“Dala, jangan bohong. Kau tidak bisa melepas mereka, bodoh.” Aku tertawa getir. Kuusap air mataku dan menarik selimut, memutar badanku membelakanginya.
Kurasakan Dala menciumi punggungku, mengusap bahuku. Kurasakan punggungku basah.
“ Sampai kapan, Dal?” aku memutar kembali badanku menghadapnya dan mengusap air yang menggenang di pelupuk matanya.
Ia menggeleng, meraih tanganku dan menciuminya.
Ah, Dala.
“Kalau kau harus memilih; kalau aku menyuruhmu memilih, siapa yang akan kau pilih?”
Dala menatapku tepat di manik mata.
“Aku...”
Aku memeluknya erat, tidak membiarkannya menjawab. Aku takut.
Aku takut ia akan bilang bahwa ia tidak memilihku.
Lebih baik begini. Aku mencintainya, dia mencintaiku. Begitu saja, buatku sudah cukup. Cinta tidak harus memilikki, kan?

****
Dala melepaskan sentuhan tangannya dari tanganku dan turun dari mobil. Kupasang senyum palsu, yang karena seringnya kupakai, tidak ada yang tahu kalau itu palsu. Aku menyusulnya, menyamakan langkah dengan kakinya yang panjang.
Ia mengetuk pintu. Tak lama, Khalya membuka pintu dan melonjak girang.
“Papa sudah pulang!” Ia memeluknya erat. Dala tertawa dan mengacak rambut putrinya. Aku ikut tersenyum.
“Dala, kamu sudah pulang sayang!” Mereka berpelukan, Dala dan wanita itu. Dala dan istrinya. Ini bukan kali pertama aku bertemu mereka, dan kali ini hatiku bukan saja remuk, tapi tergerus dan tertiup angin.
“Hai, Yan! Apa kabar?” Intan mengulurkan tangannya dan tersenyum lebar. Ah, maafkan aku, Tan.
“Baik Tan, kamu gimana?”
“Baik dong, cuma kangen saja dengan Dala. Eh, ayo masuk yuk!”
Intan menggandeng Khalya masuk.
“Aku tidak sanggup, Dal. Bolehkah aku pulang sekarang?” bisikku, nyaris memohon. Bagaimanapun juga, aku tidak mampu menghadapi keluarga dari laki-laki yang kucintai. Tidak sekarang.
“Jangan, Yan. Masuklah.”
“Om Ryan, ayo masuk! Ngapain di sana?” Khalya menghampiriku dan menarik tanganku. Ia tertawa riang.
Aku menatap Dala dan mencoba tersenyum.
Perih, perih. Hatiku sakit.
Tidakkah kau rasakan itu, Dala?



****